"Apa yang kamu tahu?" tanya Aditya pada pria yang kepalanya berlumuran darah.
"Aku hanya lihat ada tiga orang pria datang lalu dia menyuntikkan sesuatu pada wanita itu. Setelah wanita itu tidak berdaya, mereka menggantungnya seolah dia bunuh diri."
Usai mengatakan itu, pria tersebut menghilang tanpa bekas.
Sebagai seorang polisi, terkadang Aditya menemui kesulitan ketika mengungkap sebuah kasus. Dan tak jarang dia sering meminta informasi dari makhluk tak kasat mata yang ada di sekitar lokasi kejadian.
Aditya memanfaatkan indra keenamnya untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Tak sendiri, dia ditemani jin cantik bernama Suzy yang rela membantunya melakukan apapun, kecuali mencarikan jodoh untuknya.
"Haiissshh.. Tante Suzy.. yang benar dong kalau kasih info. Nyasar lagi nih kita!" kesal Adita.
"Kalau mau nanya alamat tuh ke Mbah Gugel! Bukan ke aku!"
Aditya hanya menepuk keningnya saja.
"Percuma ngajak jin dongo," gumam Aditya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tukar Posisi
"Zahi lagi di rumah temannya. Sekarang kan udah jam tujuh malam, Tante khawatir kalau dia pulang sendiri. Razan juga belum pulang ke rumah. Kamu bisa kan jemput Zahi di rumah temannya?"
Untuk sesaat Tristan terdiam. Kalau ditanya maunya, sudah pasti dia ingin segera pulang ke kost-an, mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lelah. Baik menjemput Zahira atau mengantar Jiya ke kost-an sama sekali tidak menjadi agendanya. Dua gadis itu sama-sama menyebalkan di matanya. Terhadap jiya, dia memang lebih berusaha untuk sabar, semata-mata karena Jiya adalah saksi dari kasus yang ditanganinya.
"Bagaimana Tris? Bisa?"
"Ehm.. begini Bu, bukannya saya tidak mau. Tapi saya ada tugas mengantar saksi pulang."
Dibanding menjemput Zahira, Tristan lebih memilih mengantar Jiya, karena tujuan mereka sama, kost-an tempatnya tinggal. Setelah Jiya mendapatkan kost-an, maka tugasnya selesai dan dia bisa melakukan yang diinginkannya, makan dan tidur.
"Adit ada?"
"Ada, Tante. Mau saya bilang ke Adit untuk jemput Zahi."
"Ngga, kamu tetap jemput Zahi. Biar Adit yang antar saksinya."
"Hah?"
"Gimana? Bisa kan? Tante telepon Adit sekarang. Tante bakal kirim alamat rumah teman Zahi ke kamu."
Tanpa menunggu jawaban Tristan, Stella segera mengakhiri panggilan. Tak lama kemudian ponselnya berdenting. Sebuah pesan dan Stella masuk. Wanita itu membagikan lokasi di mana Zahira berada sekarang. Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil melihat pada Aditya. Nampak rekannya itu menjawab panggilan di ponselnya yang diyakini Tristan kalau itu adalah Stella.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Dit, Zahi lagi di rumah temannya."
"Biar aku yang jemput, Ma. Zahi di rumah Lala kan?"
"Ngga usah. Zahi biar dijemput Tristan."
"Tristan mau antar saksi kasus yang aku tangani."
"Kamu aja yang antar saksi itu. Pokoknya Tristan tetap jemput Zahi. Mama telepon kamu cuma mau bilang ini. Tristan juga udah setuju. Udah ya, assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Terdengar hembusan nafas Aditya. Belum sempat mengatakan apapun, sang Mama sudah mengakhiri panggilannya. Pria itu kemudian melihat pada Tristan kemudian menghampirinya.
"Udah ngobrol sama Mama kamu?" tanya Tristan.
"Udah. Kamu disuruh jemput Zahi?"
"Iya, jadi gimana? Aku sih terserah kamu aja."
"Ya udah, kamu jemput Zahi aja. Biar aku yang antar si kriwil."
"Kriwil?" kening Tristan berkerut.
"Iya, saksi yang tadi. Kan rambutnya kriwil udah kaya mie."
"Hahahaha.."
Pandangan Tristan sontak melihat pada Jiya yang setia masih menunggu orang yang mau mengantarnya ke kost-an. Penampilan Jiya memang unik. Rambut keriting sebahu, kaca mata tebal dan tahi lalat di atas bibir. Bentuk tahi lalatnya cukup besar jadi bisa terlihat jika mereka berdiri dekat dengannya.
"Nanti kamu langsung ketemu sama penjaga kost-nya. Namanya Bu Ina. Aku udah bilang kalau ada yang mau nge-kost. Ketemuin aja Jiya sama Bu Ina, nanti biar mereka nego sendiri."
"Oke deh."
Keduanya sepakat untuk bertukar posisi. Aditya mengantar Jiya dan Tristan menjemput Zahira. Melihat Tristan yang mendekat ke arahnya, Jiya berdiri dari duduknya. Dia bersiap untuk pergi dengan pria itu.
"Jiya, aku mendadak ada perlu. Jadi kamu diantar Adit aja ya. Dia udah tahu kok kost-an ku."
"Terserah siapa yang antar, yang penting aku dapat kost-an."
"Ayo," ajak Aditya seraya keluar dari kantor.
Tristan bantu membawakan barang bawaan Jiya sampai ke dekat mobil Aditya. Setelah menaruh barang Jiya di dekat pintu mobil, Tristan segera menuju motornya. Pria itu menaiki kendaraan roda duanya, memakai helmnya, baru kemudian menjalankan kuda besinya.
Sementara itu, Aditya yang sudah masuk ke dalam mobilnya, terpaksa keluar lagi dan melihat pada Jiya yang masih terpaku di tempatnya.
"Mau pergi ngga?"
"Mau. Terus barang aku gimana?"
Jiya bingung bagaimana cara memasukkan koper dan ranselnya karena mobil Aditya hanya memiliki dua pintu. Pria itu segera mendekati Jiya. Dia membuka pintu mobil, menundukkan jok bagian depan kemudian memasukkan koper dan ransel Jiya ke jok belakang. Dia membenarkan kembali posisi jok depan lalu melihat pada gadis di dekatnya.
"Bisa masuk sendiri kan? Atau aku aku panggil orang buat pangku kamu masuk ke dalam mobil?"
Tanpa menjawab pertanyaan Aditya, Jiya segera masuk ke dalam mobil. Gadis itu langsung memakai sabuk pengamannya. Bersamaan dengan itu Aditya duduk di belakang kemudi. Usai memakai seat belt-nya, Aditya segera menjalankan kendaraan roda empatnya.
Hanya butuh waktu lima belas menit saja bagi Aditya untuk sampai ke kost-an Tristan. Dia kembali mengambilkan koper dan ransel dari jok belakang. Jiya memandangi bangunan besar di depannya. Bangunan tersebut terdiri dari tiga lantai. Kamar kost sengaja berada di lantai dua dan tiga, karena lahan di lantai dasar lebih banyak dipakai untuk parkir kendaraan. Di lantai bawah hanya ada ruang tamu, dapur, kamar mandi dan kamar tidur penjaga kost-an.
Lamunan Jiya buyar ketika Aditya melewatinya sambil membawakan barang bawaannya. Kedatangan pria itu disambut oleh Bu Ina, sang penjaga kost-an. Wanita berusia empat puluhan itu melemparkan senyum manisnya pada Aditya.
"Akang yang mau kost di sini?" tanya Ina.
"Bukan saya, Bu. Tapi ini, si kriwil."
Jari Aditya menunjuk pada Jiya yang berdiri di sebelahnya. Mata Jiya membulat mendengar sebutan Aditya untuknya. Ina memandangi Jiya dari atas sampai bawah. Penampilan Jiya sudah seperti cewek cupu saja karena kacamata tebal yang digunakannya.
"Sembarangan nyebut kriwil. Nama gue Jiya!" protes Jiya.
"Kan rambut kamu keriting kaya mie. Pantas aja dong kalau dipanggil kriwil."
Wajah Jiya memerah menahan kekesalannya. Tapi dia juga tidak bisa protes karena salahnya juga mengenakan wig rambut keriting yang bentuknya seperti mie.
"Tugas gue udah selesai ya. Soal kost-an,obrolin aja langsung ke Ibu ini."
Merasa tugasnya sudah selesai, Aditya bermaksud langsung pulang. Dia sudah sangat merindukan rumahnya, terutama kasur empuknya. Sudah terbayang di kepalanya begitu pulang, mengguyur tubuhnya dengan air hangat lalu tidur di kasur empuknya. Namun baru saja melangkah, terdengar suara Jiya menahannya.
"Tunggu.. besok aku ada wawancara kerja. Bagaimana caraku ke Jalan R.E. Martadinata?"
"Kamu punya hape?"
"Punya."
"Ada kuotanya?"
"Ada."
"Download aplikasi ojek online. Terus masukin alamat tujuan, gitu aja repot."
Setelah mengatakan itu, Aditya segera meninggalkan Jiya dengan sejuta kedongkolannya. Untuk sesaat dia lupa kalau sekarang ada aplikasi ojek online yang bisa mengantarkan dia kemana saja hanya dengan memasukkan alamat tujuan. Gadis itu menatap kesal pada Aditya yang sedang memasuki mobilnya. Setiap ucapan yang keluar dari mulut pria itu selalu sukses membuatnya kesal.
Kesadaran Jiya kembali ke tempatnya ketika mendengar panggilan Ina. Gadis itu segera mendekati Ina. Dia langsung menyetujui saja harga kamar yang ditawarkan wanita itu. Ina bantu membawakan tas ransel Jiya dan mengantarnya ke lantai dua. Jiya mendapat kamar di bagian ujung. Penghuni kost lama sudah kembali ke kota asal setelah menyelesaikan kuliahnya.
"Semoga betah ya, Teh."
"Iya, Bu. Makasih."
Jiya memasuki kamar yang disewanya. Ternyata kamar kost ini cukup mewah juga. Kamar mandi sudah tersedia di dalam kamar. Sudah ada kasur jenis double bed, lemari pakaian, meja rias, meja persegi panjang dan kursi di dalam kamarnya. Selain itu, kamar ini juga dilengkapi oleh udara pendingin atau air conditioner. Harga sewa dua juta rupiah per bulan adalah harga yang pantas. Harga tersebut sudah termasuk wifi dan laundry.
***
Tristan menghentikan kendaraan roda duanya di depan sebuah rumah bercat hijau. Tak lama kemudian keluar Zahira ditemani oleh temannya. Stella memang sudah mengatakan kalau ada yang menjemputnya. Gadis itu pikir Razan yang akan menjemputnya. Kening gadis itu berkerut ketika melihat Tristan yang menjemputnya.
"Itu yang jemput kamu siapa?" tanya Lala.
"Temannya Bang Adit."
"Polisi juga?"
"Iya."
"Ganteng ya."
"Ganteng tapi nyebelin."
Zahira masih mengingat bagaimana tingkah Tristan ketika menemaninya ke kamar mandi. Pria itu sengaja mengganti lirik lagu yang semakin membuatnya takut. Gadis itu segera mendekati Tristan. Lala menatap Tristan tanpa berkedip. Wajah tampan Tristan sukses menyihir dirinya. Tidak bisa dapat Aditya, mendapatkan Tristan juga tidak ada ruginya. Lala memang menyukai kakak dari sahabatnya ini. Namun Aditya tidak pernah menanggapi perasaannya.
"Gue balik dulu ya," pamit Zahira pada Lala.
"Iya. Tolong jagain teman saya ya."
Tristan hanya menganggukkan kepalanya. Dia memberikan helm pada Zahira. Setelah memakai helm, Zahira duduk di belakang Tristan. Roda kendaraan tersebut segera bergerak meninggalkan Lala yang masih terpaku di tempatnya.
Lebih dulu Tristan mampir ke pom bensin untuk mengisi motornya. Pria itu turun saat gilirannya tiba. Zahira pun ikut turun. Ketika Tristan sedang membuka penutup tangki bensin, terdengar suara yang sukses menarik perhatian Zahira.
KRIUK
gading udh melebarkan sayap nya ke bangdung juga..
makin deket ni teka teki ke bongkar😁🤭🤭 dan cheryl giliran mu selanjut nya🤭🤭🙏✌️