Ariella, seorang wanita muda yang dipilih untuk menjadi pemimpin organisasi pembunuh terkemuka setelah kematian sang mentor. Kejadian tersebut memaksanya untuk mengambil alih tahta yang penuh darah dan kekuasaan.
Sebagai seorang wanita di dunia yang dipenuhi pria-pria berbahaya, Ariella harus berjuang mempertahankan kekuasaannya sambil menghadapi persaingan internal, pengkhianatan, dan ancaman dari musuh luar yang berusaha merebut takhta darinya. Dikenal sebagai "Queen of Assassins," ia memiliki reputasi sebagai sosok yang tak terkalahkan, namun dalam dirinya tersembunyi keraguan tentang apakah ia masih bisa mempertahankan kemanusiaannya di tengah dunia yang penuh manipulasi dan kekerasan.
Dalam perjalanannya, Ariella dipaksa untuk membuat pilihan sulit—antara kekuasaan yang sudah dipegangnya dan kesempatan untuk mencari kehidupan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang dunia pembunuh bayaran. Di saat yang sama, sebuah konspirasi besar mulai terungkap, yang mengancam tidak hanya ker
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Dalam Kejaran Maut
Malam itu, angin dingin menerpa rumah persembunyian Ariella dan timnya. Mereka baru saja lolos dari serangan brutal Akasha, namun luka yang mereka bawa—baik fisik maupun mental—terasa lebih dalam dari sebelumnya. Ariella duduk di tepi tempat tidur, bahunya yang terluka dibalut kain kasa seadanya. Alex berada di sudut ruangan, mencoba memperbaiki senjatanya, sementara Liana dan Rael berbicara dengan nada rendah di depan monitor.
"Ini hanya masalah waktu sebelum dia menemukan kita lagi," kata Liana, suaranya nyaris berbisik namun tegas. "Akasha tidak seperti musuh sebelumnya. Dia tidak hanya memburu kita, dia memburu dengan obsesi."
Rael mengetik cepat di laptopnya, mencoba menembus jaringan yang sebelumnya mereka temukan. "Kita punya sedikit waktu, tapi itu tidak cukup. Jika dia benar-benar menggunakan semua sumber dayanya, kita tidak akan punya tempat untuk bersembunyi."
Ariella menghela napas panjang. "Kita tidak bisa terus lari," katanya akhirnya. "Jika kita ingin tetap hidup, kita harus menghadapi dia secara langsung."
Alex, yang duduk dengan ekspresi frustrasi, mengangkat kepala. "Menghadapi Akasha? Dalam kondisi kita sekarang? Kau tahu dia punya lebih banyak orang, lebih banyak senjata, dan lebih banyak alasan untuk membunuh kita."
"Kita tidak punya pilihan lain," jawab Ariella dengan suara tegas. "Ini dia atau kita. Dan aku tidak berniat mati di tangannya."
Ketegangan di ruangan itu terpecah oleh suara bip tajam dari komputer Rael. Semua orang langsung waspada, senjata mereka sudah siap mengarah ke pintu dan jendela.
Rael menatap layar dengan alis berkerut. "Ada yang mencoba menghubungi kita," katanya, jari-jarinya menari di atas keyboard. "Mereka menggunakan protokol yang sangat aman. Ini bukan pekerjaan amatir."
"Siapa itu?" tanya Liana.
Pesan akhirnya muncul di layar. Hanya satu kalimat: "Jika kau ingin tahu kebenaran, temui aku di Terminal 7 pukul 3 pagi."
"Ini jebakan," kata Alex tanpa ragu.
"Tentu saja," balas Ariella, matanya menyipit saat membaca pesan itu. "Tapi jika ada kemungkinan ini bukan jebakan, kita harus mengeceknya. Kita butuh informasi tentang Akasha, dan ini mungkin satu-satunya jalan."
Keberangkatan ke Terminal 7
Pukul 3 pagi, mereka tiba di Terminal 7, sebuah gudang tua yang sudah lama ditinggalkan di pinggiran kota. Tempat itu sunyi, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang samar. Ariella memimpin, dengan Alex, Liana, dan Rael mengikuti di belakang.
Gudang itu tampak kosong, hanya ada tumpukan kontainer berkarat dan beberapa alat berat yang sudah tidak terpakai.
"Ini tidak terlihat baik," bisik Alex sambil menggenggam pistolnya erat-erat.
Rael memeriksa sekeliling dengan alat pemindai kecilnya. "Aku tidak mendeteksi siapa pun di dekat sini," katanya.
Namun, sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari balik salah satu kontainer. Mereka langsung mengarahkan senjata ke arah suara itu.
"Santai," kata seorang pria yang muncul dari bayangan. Wajahnya tersembunyi di balik topeng hitam, hanya matanya yang terlihat. "Aku bukan musuhmu."
"Siapa kau?" tanya Ariella dengan nada dingin, tetap mengarahkan pistolnya.
Pria itu membuka topengnya, memperlihatkan wajah penuh bekas luka. "Namaku Ezra. Aku mantan anggota The Obsidian Circle. Dan aku di sini untuk membantumu."
Rahasia Akasha
Ezra duduk bersama mereka di tengah gudang, memberikan penjelasan yang mengejutkan. "Akasha tidak seperti The Shadow King. Dia tidak hanya berkuasa dengan kekuatan, tetapi dengan ketakutan. Dia telah membangun jaringan pembunuh bayaran yang paling kejam di dunia, dan dia menggunakan sumber daya yang kalian bahkan tidak bisa bayangkan."
"Kenapa kau memberitahu kami ini?" tanya Rael curiga.
Ezra menatap langsung ke arah Ariella. "Karena aku ingin dia mati. Akasha membunuh keluargaku, menghancurkan hidupku. Aku tahu dia tidak bisa dihentikan oleh orang biasa, tapi kalian—kalian punya kesempatan."
Dia kemudian mengeluarkan peta kecil dan menyerahkannya kepada Ariella. "Ini adalah lokasi laboratorium rahasia tempat dia mengembangkan senjata biologis. Jika dia berhasil menyelesaikan proyek ini, dia bisa menghancurkan satu kota dalam hitungan jam."
Ariella memandang peta itu dengan ekspresi serius. "Senjata biologis?"
Ezra mengangguk. "Ya. Dan dia tidak ragu untuk menggunakannya. Aku tahu dia berencana mengujinya dalam waktu dekat."
Sebelum mereka bisa membahas lebih lanjut, suara helikopter terdengar dari luar gudang.
"Dia menemukan kita!" teriak Ezra, wajahnya penuh kepanikan.
Penyergapan di Gudang
Pasukan bersenjata lengkap menyerbu masuk ke gudang, membawa senjata otomatis dan granat asap. Ariella dan timnya langsung bergerak mencari perlindungan, sementara Ezra membantu mereka melawan musuh.
Pertempuran berlangsung brutal. Tembakan dan ledakan menggema di seluruh ruangan, membuat kontainer-kontainer berkarat bergoyang.
Liana menembak dengan presisi, menjatuhkan beberapa musuh, tetapi dia akhirnya terluka oleh pecahan granat. Alex mencoba menahannya, tetapi musuh terus mendekat.
"Kita harus keluar dari sini!" teriak Alex.
Ariella memimpin mereka ke saluran pembuangan di bawah gudang, tempat mereka berhasil melarikan diri meskipun musuh terus mengejar. Namun, mereka semua tahu bahwa ini hanya sementara.
Rencana Baru
Setelah mencapai tempat persembunyian baru, Ariella menatap peta yang diberikan Ezra dengan mata penuh tekad.
"Kita tidak bisa menunggu lagi," katanya akhirnya. "Kita harus menghentikan proyek ini sebelum terlambat."
Namun, dalam hatinya, Ariella tahu bahwa ini bukan hanya misi melawan Akasha. Ini adalah pertarungan untuk menebus masa lalunya, untuk mengalahkan bayangan gelap yang selama ini menghantui dirinya.
Dan untuk itu, dia siap mempertaruhkan segalanya.