Alana, seorang gadis yang harus tinggal bersama keluarga Zayn setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan tragis, merasa terasing karena diperlakukan dengan diskriminasi oleh keluarga tersebut. Namun, Alana menemukan kenyamanan dalam sosok tetangga baru yang selalu mendengarkan keluh kesahnya, hingga kemudian ia menyadari bahwa tetangga tersebut ternyata adalah guru barunya di sekolah.
Di sisi lain, Zayn, sahabat terdekat Alana sejak kecil, mulai menyadari bahwa perasaannya terhadap Alana telah berkembang menjadi lebih dari sekadar persahabatan. Kini, Alana dihadapkan pada dilema besar: apakah ia akan membuka hati untuk Zayn yang selalu ada di sisinya, atau justru untuk guru barunya yang penuh perhatian?
Temukan kisah penuh emosi dan cinta dalam Novel "Dilema Cinta". Siapakah yang akan dipilih oleh Alana? Saksikan kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nungaida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Siang harinya...
Alana baru saja pulang dari mini market bersama Zayn, membawa beberapa snack dan susu di tangannya. Matahari sudah terik di atas, tapi angin siang yang berhembus membuat suasana sedikit lebih nyaman.
"Ah, seger banget, cuacanya pas banget buat minum susu coklat dingin kan Zayn?" Alana menyedot minumannya dengan puas. matanya melirik ke arah Zayn yang juga sedang menikmati susu stroberinya dengan sangat nikmat.
"Heh, Zayn, aku mau nyobain punyamu dong sesedooot... aja, ya?" Mohon Alana sambil menunjukan jarinya membentuk angka satu. Membuat Zayn tak tega dan menyerahkan miliknya.
Dengan sekali tarikan napas panjang, Alana menyedot susu itu hingga pipinya mengembung seperti tupai yang mulutnya penuh buah kenari.
Zayn hanya bisa menatap heran saat susunya hampir tandas. "Katanya cuma mau sesedot aja..." ucapnya pelan, masih tak percaya melihat kotak susunya yang mengempis.
"Punyamu enak juga," balas Alana santai.
"Iya, habisin aja... kan udah kamu minum juga semuanya."
"Beneran? makasih ya hehe," ucap Alana yang melanjutkan meminum sisa susu stroberi itu.
Zayn tersenyum kecil menatap alana. "Kamu tu kayak anak kecil banget minumnya," ucap Zayn sambil mengelap bibir Alana yang tertempel noda susu. "Pelan-pelan aja minumnya nggk ada yang minta kok?!"
" Hei Zayn, ini kan weekend main yuk, kemana gitu?" ajak alana.
" Nggak bisa, aku masih harus bimbel...
"Serius?! Yahh... Alana menyayangkan itu tapi mau bagaimana lagi, Alana tahu orang tua Zayn sangat ketat dengan nilai.
Dari kejauhan, Zidan menatap Alana dan Zayn yang tampak asyik berbincang. Belakangan ini aku jadi sering melihatnya. Walaupun kami memang tetangga, tapi hebat juga ya? pikirnya sambil menghisap rokoknya dalam-dalam. Matanya sesekali melirik ke arah mereka, seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya, namun ia tak faham mengapa begitu.
Om Zidan?!" teriak Lana tiba-tiba, membuat Zidan terkejut.
"Eh, astaga! Lana?! Bukannya tadi kamu udah masuk ke dalam?" jawab Zidan, menetralkan rasa kagetnya.
"Iya, ini aku mau buang sampah," sahut Lana sambil mendekat ke arah Zidan yang berada tak jauh dari tempat sampah. "Tadi pagi kita ketemu..., sekarang ketemu lagi ya," lanjutnya dengan senyum kecil, merasa lucu dengan kebetulan itu.
"Ahahaha iya, ya... Menghabiskan waktu di rumah saat weekend yang seperti emas tuh paling enak, iya kan?" jawab Zidan tersenyum canggung. Saking asyiknya ngobrol, ia tidak sadar rokok di tangannya sudah hampir habis terbakar.
"Cess... ah, panas! panas! panas!" Teriak Zidan panik, refleks melemparkan puntung rokok dari tangannya—tanpa sengaja ke arah Lana.
"Cess..., Huaa! Bajuku terbakar!" teriak Lana panik sambil mengibaskan bajunya.
Zidan ikut panik. "Maaf! Maaf! Diam dulu! Nanti kamu terluka! Biar aku ambilkan!"
"Maaf ya Lana, gara-gara aku bajumu jadi bolong.... Sebagai permintaan maaf, gimana kalo besok ku belikan yang baru?"
"Ng..nggak usah om, cuman satu baju aja kok?! aku masih punya banyak di lemari." Jawab Alana.
"Nggak! Pokoknya aku bakalan beliin, nggk ada penolakan! besok kita belanja ya?" Ucap Zidan mantap, sehingga Lana tak enak menolaknya.
*
*
Keesokannya
Lana melangkah keluar dari kereta menuju peron stasiun. Ia melirik jam di ponselnya, pukul 16:55.
Lima menit lagi, katanya dalam hati.
Matanya lalu tertuju pada pantulan dirinya di kaca stasiun. Semua terlihat perfect, kecuali bibirnya yang terlihat pucat. Dengan cepat, ia merogoh tasnya dan mengambil lipstik berwarna coral peach dan mengoleskannya.
Zidan muncul dari belakang Lana saat ia sibuk mengoles lipstik "Kamu udah lama nunggu aku ya?"
Lana tersentak cepat-cepat ia kembali memasukan lipstiknya "Ah!! Aku juga baru nyampe kok!"
Zidan tertegun menatap Lana yang tampak sangat cantik dengan balutan sweater hijau toska yang dipadukan dengan rok berwarna krem. Lipstik coral peach yang baru saja ia pakai semakin menonjolkan kesan imut pada penampilannya.
"Eh, kamu ganti lipstik ya? Warnanya cantik, cocok banget sama kamu," pujinya sambil tersenyum, matanya tak lepas menatap Alana.
"Eh iya makasih...,"Jawab Alana tersipu, ia kembali merapikan ujung lengan sweater nya yang tak kusut itu.
Zidan tersenyum sedikit gemas melihat Lana sedikit gugup. "Ayo La..."
Lana mengikuti Zidan dari belakang dengan sedikit berlari, berusaha mengejar langkahnya yang terasa terlalu cepat. Zidan, yang menyadari usahanya, perlahan memperlambat langkahnya dan menyesuaikan pacenya.
"Maaf, aku jalannya terlalu cepat, ya?" tanyanya sambil melirik ke belakang.
Lana tersenyum kaku dan mengangguk. "Iya, sedikit," jawabnya sambil tertawa kecil. "langkah om terlalu lebar sih."
Zidan tersenyum. "Oh ya, walaupun aku nggak bisa beliin kamu barang mahal, setidaknya aku masih mampu beliin satu sweater buat kamu. Lagian, aku udah bolongin sweater-mu kemarin, hehe."
"Padahal aku udah bilang nggak papa...," kata Lana dalam hati.
Zidan berjalan sambil melihat keramaian pengunjung yang berlalu lalang. Pandangannya kemudian beralih ke Alana, yang terlihat terpikat oleh booth gorengan di pinggir jalan.
mata Alana berbinar, menatap gorengan dan meneguk salifanya. "Uwahh... baunya enak." gumamnya.
"Dia kayak anak kecil yang excited melihat makanan enak," pikir Zidan, tersenyum kecil melihat tingkahnya.
Tiba-tiba, seorang yang lewat menyenggol bahu Alana dengan keras, membuatnya terdorong ke belakang dan terpisah dari Zidan.
Alana panik. Celingukan mencari Zidan di antara kerumunan orang "Astaga, kenapa ramai sekali, O...om! Dimana?!" teriaknya.
"Phak! Ah..., Alana menjerit ketika kembali tersenggol orang lewat. Lalu sebuah tangan besar berusaha menariknya menjauh dari kerumunan.
"Aku disini!" ucap Zidan yang menarik Alana, membuat Alana kaget dan mendongak.
"Kamu pendek sih, jadi aku lama nyariin kamu. Pegang ini aja, biar kamu nggak ilang lagi," ujar Zidan tersenyum, sambil menyodorkan lengannya.
Lana menatap Zidan sejenak dengan ragu, namun akhirnya ia memegang lengan bajunya. Mereka berjalan menyusuri jalan yang ramai, hingga tiba di sebuah toko pakaian.
"Selamat datang~," sambut pelayan toko tersebut.
"Pilih baju yang kamu suka, kamu juga bisa cobain kalau mau." kata Zidan.
"Iya, makasih Om" Alana, kemudian berlari mendekati deretan baju yang tergantung rapi. "Wahh... banyak baju bagus," gumamnya.
Alana terus memilah-milah baju-baju di gantungan itu hingga pandangannya teralihkan pada sebuah dress kembang-kembang warna hitam yang terpasang di sebuah manekin. Ekspresi wajahnya berubah sendu saat melihatnya. “Padahal... dulu Ibu selalu memakaikan baju corak bunga,” katanya lirih.
Zidan yang sedang memilih baju di sebelahnya, samar-samar mendengar suara kecil itu. “Kamu ngomong apa tadi, Lana?”
"Ng... nggak kok!! Aku tadi cuma bilang kalau banyak baju bagus," jawab Alana panik.
Apa ibunya memang orang yang perhatian dan berhati lembut? pikir Zidan, karena setahunya ibunya selalu bersikap dingin pada Alana.
"Lana, coba lihat sini deh," panggil Zidan.
Lana menoleh, "Ya?"
Lana mengerutkan alisnya melihat zidan yang tersenyum sedang mengangkat sweater warna navy di tangannya.
Zidan melangkah mendekat dan menyodorkan sweater itu pada Alana yang masih keheranan. "Ini juga ada gambar kembangnya, hehe." katanya, sambil menunjuk detail bunga mawar kecil berwarna merah di tengah baju.
Ia kemudian mencocokkannya dengan menempelkan sweater itu ke tubuh Alana. "Wah... cantiknya," ucapnya sambil tersenyum lebar.
Deg...deg... Jantung Alana berdebar kencang, wajahnya memerah hingga ke telinga. Ia merasa malu karena Zidan berdiri begitu dekat, namun di sisi lain, ia juga merasa senang dengan sikap Zidan yang selalu peka terhadapnya.
Ini hadiah pertama yang hangat... yang diberikan orang lain selain keluargaku, batinnya. Alana tersenyum, merasakan kehangatan yang mengalir dari perhatian Zidan.
"Gimana? Suka sweternya?" tanya Zidan, mendapatkan anggukan malu dari Alana. Senyumnya semakin lebar saat melihat reaksi bahagia Alana.
Setelah itu, Zidan melangkah menuju kasir untuk membayar.
"Anda sudah membayar sebesar 120.000 rupiah. Selamat memakai dan selamat jalan~" ucap kasir dengan ramah.
Zidan mengambil kantong belanja dan kembali menghampiri Alana, yang menunggu di luar pintu toko.
"Waktunya cepat sekali berlalu, ya," kata Zidan sambil melirik jam tangannya.
Alana mengangguk, namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit menyesal. Seharusnya tadi aku memilih bajunya agak lama...
"Sekarang kita pasti akan pulang, kan?" batinnya dengan enggan, tak ingin momen berharga bersama Zidan segera berakhir. Senyumnya mulai memudar.
Zidan melirik Lana, seakan tahu bahwa dia masih belum ingin pulang. "Kamu pasti laper, kan? Ada tempat yang ingin aku datangi... kamu mau ke sana?" ajaknya yang di jawab anggukan cepat oleh Lana.
Ternyata, Zidan mendatangi booth gorengan yang tadi dilihat Alana. “Bi, aku pesan dua mangkuk bakso sama gorengannya sepuluh,” ucap Zidan sambil tersenyum, kemudian menoleh ke Alana. “Kamu doyan makan bakaran jeroan?”
“Iya!!” jawab Alana cepat, matanya berbinar seakan sudah menunggu momen itu.
“Oh iya, Bi, tambahkan bakaran hati dan kulit juga ya,” kata Zidan dengan senyum kecil, melihat semangat Lana yang tak terbendung.
Alana menyantap makanannya dengan nikmat sambil sesekali curi-curi pandang ke arah zidan
Zidan yang menyadari dirinya diperhatikan tersenyum sambil berkata, "Kenapa? Aku ganteng, ya? Haha... Jangan lihatin aku terus, nanti keselek, lho..."
Alana mendengus kesal, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat, mencoba menahan tawa. "Siapa juga yang lihatin om!" balasnya, meski wajahnya masih bersemu malu karena tertangkap basah.
"Lha, itu apa? Kalau mau lihat, nggak usah sembunyi-sembunyi. Lihat langsung aja, nggak papa kok," kata Zidan sambil tersenyum meledek.
"Eng... nggak kok! Orang lihat sana tuh banyak yang lewat," Alana membela diri, sambil menunjuk ke arah jalan di sebelahnya, berusaha mengalihkan perhatian dari dirinya yang merasa semakin canggung. Namun, hatinya berdebar mendengar ledekan Zidan yang semakin menggoda.
Zidan tersenyum, "Iya deh, percaya. Oh ya, kamu udah selesai belum makannya? Pulang yuk, udah malam."
"Seharian ini kayaknya aku dibayarin terus. Lain kali, biar aku yang traktir deh," kata Alana sambil berjalan pulang.
"Enggak usah lah. Memangnya seorang siswa punya uang banyak?!" balas Zidan bercanda.
Alana melirik Zidan, "Aku kan bukan pengangguran seperti... Om," ucapnya dalam hati, lalu pandangannya beralih ke jalanan yang mulai sepi.
"Ah, gawat! Kayaknya aku harus jalan lagi deh," ucap Zidan sambil menepuk-nepuk perutnya yang begah.
"Sekarang?" tanya Alana heran.
"Hih... Emang kamu nggak jalan dulu setelah makan sebanyak itu?" Zidan bertanya balik.
Alana menatap Zidan heran seakan nggak percaya. "Emang aku makan sebanyak apa? Sampai harus kayak gitu?"
Zidan malah tertawa melihat ekspresinya kayak gitu. Lalu melanjutkan jalannya.
Alana merasa bahwa jalan yang mereka lewati saat ini bukanlah jalan yang biasa ia lalui. Rutenya terasa lebih jauh dan memutar. Ia melirik Zidan. Sepertinya dia tak mau mengambil jalan pintas yang mengarah ke rumah, batinnya. Tapi, berjalan seperti ini juga terasa menyenangkan.
"Oh iya," Alana tiba-tiba teringat, "aku dari kemarin tuh penasaran, umur om berapa sih?"
Zidan melirik "Tebak kira-kira umurku berapa?"
"35 tahun!" jawab Lana percaya diri.
Zidan mengerutkan kening. "Kamu nggak mau pura-pura mikir dulu, gitu? Waktu itu aku kan udah bilang, aku masih 20-an."
"Lihat nih! Dilihat dari mana umurku udah 35 tahun?!" gerutu Zidan sambil mengeluarkan KTP-nya.
Lana mengambil KTP itu dan membacanya, "Kartu Tanda Penduduk Zidan Mahendra, tanggal lahir **–**–1998." Lana tertegun. "Wah... hasil foto KTP Om bagus, ya. Kalau foto KTP-ku unyu gitu."
"KTP?" Tanya Zidan penasaran.
"Aduh!" Seru Lana keceplosan
Zidan tersenyum seakan menemukan hal yang menarik "Hee...coba lihat KTP mu.
Lana dengan ragu menyerahkan KTP-nya
Zidan mengamati foto Alana yang tampak melotot. “Pfftt! Hahaha… ekspresi apa itu? Kamu terlihat semangat, ya!”
Kalau dia lahir tanggal 15-10-2006, berarti sekarang umurnya 18 tahun dong? gumam Zidan dalam hati.
Tiba-tiba, terdengar suara bising dari motor yang melaju kencang. “Brem… brem…”
Eh, jalannya sempit, tapi kenapa dia ngebut? batin Zidan, melihat motor yang hampir menyerempet Alana.
“Hei!!” teriak Zidan, refleks menarik Alana yang masih bengong ke dalam dekapannya. Jantungnya berdebar, merasa lega Alana selamat, tetapi juga bingung dengan perasaannya yang mendadak bergetar.
Zidan menatap tajam motor yang mulai menjauh. "Dasar orang gila!!" umpatnya kesal.
"Kamu nggak apa-apa kan, Alana?!" tanya Zidan panik, saat melihat ekspresi kaget Alana ia segera melepaskan pelukannya.
"Hampir aja! Gawat!" aduh... jantungku, gumam Zidan dalam hati. Ia berusaha menetralkan detak jantungnya yang berpacu agar tak terdengar oleh Alana.
"Eh, Om..." panggil Lana, membuat Zidan segera menoleh.
"Apa... aku boleh minta nomor HP Om?"
"Deg..."
Zidan terkejut mendengar permintaannya, tapi segera tersenyum lebar, menyembunyikan rasa kikuknya. "Lain kali, ya? masuk sana, biar orang rumah nggak khawatir."
Lana mengangguk dan berjalan masuk ke rumah dengan pikiran yang masih melayang. Begitu sampai di kamar, ia langsung menjatuhkan diri di atas kasur, wajahnya merah merona.
"Kenapa kamu menanyakannya, Alana?! Kenapa tiba-tiba nanyain nomor teleponnya?!" pikirnya panik, memeluk bantal erat-erat.
"Malu banget! Malu banget! Malu banget!"
"Bugh... bugh... bugh..." ia menendang kasur dan bantalnya, mencoba melampiaskan rasa malunya yang semakin memuncak.