Niat hati memberikan kejutan kepada sang kembaran atas kepulangannya ke Jakarta, Aqilla justru dibuat sangat terkejut dengan fakta menghilangnya sang kembaran.
“Jalang kecentilan ini masih hidup? Memangnya kamu punya berapa nyawa?” ucap seorang perempuan muda yang dipanggil Liara, dan tak segan meludahi wajah cantik Aqilla yang ia cengkeram rahangnya. Ucapan yang sukses membuat perempuan sebaya bersamanya, tertawa.
Selanjutnya, yang terjadi ialah perudungan. Aqilla yang dikira sebagai Asyilla kembarannya, diperlakukan layaknya binatang oleh mereka. Namun karena fakta tersebut pula, Aqilla akan membalaskan dendam kembarannya!
Akan tetapi, apa jadinya jika di waktu yang sama, kekasih Chilla justru jauh lebih mencintai Aqilla padahal alasan kedatangan Aqilla, murni untuk membalaskan dendam kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Kamu Sangat Kesepian, Aqilla!
“Sudah berapa lama aku di sini? Kenapa rasanya, sudah terlalu banyak kejadian yang aku lewati?” pikir Aqilla yang tiba-tiba saja merasa tersiksa karena sepi yang ia rasa.
Keputusannya tak mau sembarang menjadikan orang lain teman, memang membuatnya terhindar dari iblis berkedok teman toxic seperti Rumi. Namun di beberapa kesempatan layaknya sekarang, Aqilla merasakan dampak yang sangat dahsyat.
Ketika harusnya ada teman untuk berbagi, Aqilla tak memilikinya. Padahal andai ada teman yang menemani walau sosok tersebut hanya menjadi penyimak, dipikir Aqilla, akan membuat suasana hatinya jadi lebih baik.
“Mbah Akala lagi kurang enak badan, makanya sekarang sedang dirawat di klinik Onty Binar. Sementara mbah uti Nina jaga mbah Akala. Opa Devano dan oma Zee, urus ketiga adikku. Di sini, aku bareng sekaligus dijaga oleh sopir. Terus sekarang sopirku lagi izin keluar buat beli makan,” batin Aqilla yang perlahan mencoba duduk selonjor.
“Terus, alasan Stevan tak rusuh kepadaku karena selain semua misi balas dendamku dianggap sudah selesai. Kalau enggak salah, hari ini dia juga terbang ke Singapura buat jaga sekaligus jemput Chilla.”
“Rencananya, lusa itu Chilla pulang. Pakai heli pribadi sih. Tentu lebih cepat.”
“Syukurlah, alhamdullilah, meski Liara belum ada kabar terbarunya. Aku yakin, keputusannya minggat dari kejaran, hanya akan membuatnya makin sengsara."
Aqilla yang masih berbicara dalam hati, juga tengah berusaha menghibur dirinya sendiri. Ia mencoba belajar berdiri, sebab baginya apa pun yang terjadi padanya juga hanya dirinya yang akan menentukan sekaligus merasakannya.
“Aku harus cepat sembuh. Masa enggak guna begini?” lirih Aqilla mengecam keadaannya sendiri.
Mengambil napas kemudian membuangnya pelan, Aqilla jalani penuh kesabaran. Ia baru berhasil duduk menyamping di pinggir ranjang rawat yang pegangannya sudah sengaja ia turunkan. Belum sempat Aqilla membuat kaki kanannya menapak di lantai yang terasa sangat dingin karena ia tak memakai alas kaki, seseorang membuka pintu.
Terbengong-bengong Aqilla dibuatnya. Sebab yang datang justru Stevan. Pria itu membawa dua kantong. Satu kantong Aqilla yakini berisi rantang, sementara satunya lagi, Aqilla kurang paham. Namun jika Aqilla perhatikan, itu seperti pakaian.
“Mau ke mana? Mau ke kamar mandi?” sergah Stevan bergegas menaruh bawaannya di meja tak jauh dari ranjang rawat Aqilla.
“Bukankah kamu mau ke Chilla?” tanya Aqilla kepada Stevan yang mendekatinya.
“Penerbangannya sore. Aku masih punya waktu untuk menemanimu,” santai Stevan dan hendak meraih lengan kanan Aqilla, tetapi gadis itu menolaknya.
“Enggak apa-apa. Aku hanya sedang belajar berdiri,” ucap Aqilla sungkan.
“I—ini, kamu benar-benar sendiri?” heran Stevan yang jadi mengkhawatirkan Aqilla.
“Nanti malam mereka baru akan datang. Semua orang di keluargaku akan sibuk dari pagi hingga malam. Jadi, mereka baru bisa ke sini ketika malam,” jelas Aqilla. “Enggak apa-apa, aku sudah terbiasa. Yang penting adik-adik enggak tantrum karena mereka belum terbiasa tanpa mama papa.”
“Kamu menyakiti dirimu lagi. Sepele, tetapi sebenarnya sangat menyakitkan,” ucap Stevan prihatin. Ia masih menatap wajah Aqilla, meski karena kata-katanya barusan, Aqilla jadi tidak lagi mau menatapnya.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan. Hingga ketika ada manusia rame super ceria seperti Chilla, duniaku mendadak terasa berwarna,” ucap Stevan. Di hadapannya, Aqilla yang tetap menunduk, ia yakini tengah menerka-nerka maksudnya. Dahi Aqilla jadi berkerut.
“Aku pikir itu cinta, tetapi ternyata hanya pelarian saja karena ia terlalu pandai berbagi bahagia dan membuat setiap orang di sekitarnya termasuk aku, memperhatikannya,” batin Stevan.
“Jadi, apa rencanamu setelah ini? Masih akan mencari Liara?” tanya Stevan.
“Aku akan kembali dan melanjutkan sekolahku. Namun saat kelas dua nanti, aku akan pindah ke kampung saja. Aku akan menemani mbah. Menemani mbah lebih harus aku lakukan, meski di luar negeri membuatku mendapat banyak pembelajaran,” ucap Aqilla masih menunduk.
“Kenapa kamu terus mengorbankan hidupmu? Kenapa kamu terkesan sengaja menghindari Chilla? Iya, kan, memang itu yang kamu lakukan?” komentar Stevan.
“Bersama selalu membuat kami dibanding-bandingkan. Itu sangat tidak baik untuk kelangsungan hubungan kami,” ucap Aqilla.
“Jika kamu terus menghindarinya, kapan kalian bersama?” balas Stevan.
“Di hari-hari besar, kami akan bersama!” yakin Aqilla.
“Apakah pertanyaanku melukaimu?” balas Stevan mendadak jadi putus asa.
Steven paham apa yang Aqilla rasakan. Sebab dirinya juga sudah berulang kali merasakannya. Walau selalu menegaskan bisa karena terbiasa berkorban, tetap saja, luka hati dan mental akan didapatkan, di setiap sedang harus berkorban.
Menghela napas dalam demi meredam rasa sesak yang mendadak memenuhi dadanya, Setevan berkata, “Jika kamu butuh teman, jangan sungkan. Langsung hubungi aku saja.”
“Aku tidak akan pernah melakukannya karena kamu pacar Chilla. Aku tahu betul, adik sekaligus kembaranku, sangat menyayangi kamu. Bisa cemburu dia, andai kita dekat, apalagi melebihi kedekatan kalian,” ucap Aqilla.
Balasan Aqilla sudah langsung menampar Stevan. Padahal belum apa-apa, tetapi Aqilla sudah memberinya wanti-wanti yang terdengar sangat keramat.
“Aku gantikan seprai dan selimutnya ya. Sarung bantalnya juga,” sergah Stevan sengaja beres-beres.
Seperti yang Aqilla yakini, satu kantong yang bukan berisi makanan berisi mirip pakaian. Bed cover warna abu-abu dan jaket bomber masih berwarna senada, menjadi isinya.
“Itu punya siapa?” heran Aqilla.
“Punyamu ... titipan. Bisa pakai jaketnya?” balas Stevan yang mulai mengganti seprai dari ranjang rawat Aqilla.
“Titipan dari siapa?” Aqilla tetap mencari tahu.
“Dari orang tua kamu,” ucap Stevan. Padahal dalam hatinya ia berkata, “Tentu itu dariku. Sori, aku terpaksa berbohong agar kamu mau menerimanya.”
Karena kebohongan Stevan juga, Aqilla mau memakai semua itu. Meski untuk jaket bomber, hanya Aqilla jadikan sebagai selimut.
“Makin kamu menghargai pemberian orang tua kamu. Makin jelas pula kenyataan, bahwa kamu sangat mengharapkan kehadiran mereka! Kamu sangat kesepian, Aqilla. Sudahilah semua ini!” batin Stevan. Ia menyaksikan Aqilla tidur pulas memakai semua pemberiannya, yang ia katakan sebagai titipan dari orang tua gadis itu.
Apakah maharaja akan mencintai Aqilla secara ugal ugalan seperti mama elra kepada papa syukur 😍
Penasaran.......
amin🤲