“Kuberi kau dua ratus juta satu bulan sekali, asal kau mau menjadi istri kontrakku!” tiba-tiba saja Alvin mengatakan hal yang tidak masuk akal.
“Ha? A-apa? Apa maksudmu!” Tiara benar-benar syok mendengar ucapan CEO aneh ini.
“Bukankah kau mencari pekerjaan? Aku sedang membutuhkan seorang wanita, bukankah aku ini sangat baik hati padamu? Kau adalah wanita yang sangat beruntung! Bagaimana tidak? Ini adalah penawaran yang spesial, bukan? Kau akan menjadi istri seorang CEO!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irna Mahda Rianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Lihat Saja Nanti!
"Selepas kepergian ibunda Alvin, Tiara hanya bisa terdiam tanpa kata. Begitupun juga Alvin. Ia terjebak dengan permainannya sendiri. Jika sudah seperti ini, Alvin harus bagaimana? Tak akan mudah baginya untuk mewujudkan keinginan ibundanya.
“Tuan, apa yang akan kau lakukan? Bukankah permintaan ibumu sangat tak mungkin bagi kita? Aku bingung,” ucap Tiara tiba-tiba.
“Jika dia sudah meminta sesuatu, tak akan ada yang bisa membantahnya, sekalipun itu ayah dan kakekku. Aku juga tak tahu harus bagaimana,”
“Jadi aku harus tetap hamil? Apa aku pura-pura hamil saja?”
“Dia yang akan mengantarmu pergi ke dokter kandungan! Kau tak bisa berpura-pura!”
“Lalu bagaimana? Aku tak mau hamil!” ujar Tiara.
“Diam, aku juga sedang berpikir, apa yang harus kita lakukan!” Alvin mengacak-acak rambutnya.
“Tuan, kita bercerai saja!”
“Apa? Bercerai?” Alvin sedikit melotot.
“Ya, jika kita bercerai, bukankah semua itu akan berakhir? Termasuk dengan perjanjian kita pun akan berakhir,“ ungkap Tiara.
"Oh, jadi kau memang menginginkan perjanjian kita berakhir?" Tanya Alvin serius.
“Lalu kita harus bagaimana? Memangnya Apa yang kau inginkan? Aku sudah tidak bisa lagi berpikir dengan jernih, aku sendiri juga bingung dengan permintaan mamamu!”
“Oh, kau ingin bercerai rupanya!” Alvin menyindir Tiara.
“Memangnya kau mau melanjutkan hubungan rekayasa ini?”
“Kenapa tidak?” Alvin menantang.
“Oke kalau begitu!” Tiara membalas.
“Hah? Apa? Kau bilang apa barusan?”
“Eh? Memangnya aku bilang apa barusan?” Tiara jadi kikuk.
Mereka terjebak dengan ucapan mereka masing-masing. Kata yang keluar dengan spontan, dan tidak dipikirkan terlebih dahulu. Mungkinkah kata itu keluar dari hati mereka? Atau hanya sebatas kata saja?
.
Kediaman Hardy Satria ….
Syafika kini sudah berusia satu minggu. Sisil tak mau menyusuinya, dan ia tentu saja meminta Hardy untuk membelikan semua perlengkapan susu formula beserta yang lainnya.
Sisil seperti tak menginginkan kehadiran bayi itu, karena ia kerap kali membiarkannya dan malah lebih fokus untuk mempercantik dirinya sendiri.
“Sil, ini baru satu minggu kamu melahirkan. Kenapa harus memakai baju yang terbuka?” tanya Hardy.
“Sayang, aku harus menghadiri podcast di Seru-Seru Happy! Karena mereka pasti akan membuat namaku naik! Setelah menikah denganmu, karierku jadi redup, ‘kan!”
“Ya tapi tunggu dulu sebulan, lah, Sil. Kamu gak sayang sama badanmu?”
“Sayang, kok. Ini cuma sebentar aja, Mas. Tenang aja, aku gak akan lama …”
“Ya sudah, terserah.” Hardy tak mau ambil pusing.
Setelah melahirkan, sepertinya Hardy baru tahu sifat asli Sisil yang sebenarnya. Entahlah, Hardy pun bingung harus bagaimana. Untungnya, sang baby sitter selalu siaga dua puluh empat jam menemani Syafika.
“Sus, apakah Ibu dan Ayah sudah pulang?”
“Sudah, Tuan. Sepertinya mereka sedang beristirahat.” Jawab sang baby sitter.
“Berikan Syafika padaku, aku akan membawanya ke kamar Ibu,”
“Ah, iya, Baik Tuan.”
Hardy menggendong Syafika menuju ke kamar utama ayah dan ibunya. Hardy masih tinggal bersama kedua orang tuanya, karena sesuai dengan permintaannya sebelum menikah, Hardy tak ingin meninggalkan kedua orang tuanya.
Akhirnya Sisil mengalah, setelah sebulan berada di luar negeri, Hardy langsung memboyong Sisil menuju rumah orang tuanya. Entah apa yang menyebabkan Hardy enggan berpisah dengan orang tuanya.
Hardy mengetuk pintu, sambil memangku Syafika. Pintu pun terbuka dan ia melihat jika kedua orang tuanya tengah bersantai. Mereka nampak bahagia, karena Hardy membawa sang cucu ke kamar mereka.
“Halo sayang, cucuku tersayang, sini-sini, biar Oma gendong kamu!” Fitri, ibunda Hardy pun langsung memangku Syafika begitu Hardy masuk ke dalam kamarnya.
“Halo, Dy, kamu tak ada acara?” tanya Herman.
“Enggak, aku lelah. Aku ingin beristirahat saja dengannya,” tutur Hardy.
“Sisil baru saja pergi,” tutur Hardy lagi.
“Pergi? Pergi ke mana dia?” Fitri penasaran.
“Dia mulai aktif kembali mengisi podcast dan beberapa acara,”
“Hmm, ya sudah tak apa. Mungkin dia juga merindukan kariernya yang dulu sempat tertunda!”
“Ayah, Ibu, aku ingin berbicara sesuatu yang penting pada kalian!” tutur Hardy, membuat kedua orang tuanya melirik ke arahnya.
“Penting? Apa itu?”
“Aku sudah muak selalu menurut dan mengikuti apa kata kalian. Hidupku sudah seperti robot, dan kali ini, izinkan aku menemukan jalanku sendiri.”
“Jalan apa? Jalan seperti apa maksudmu? Hardy, jangan aneh-aneh! Hidup kita sudah tenang, kita sudah bahagia! Jangan membuat semuanya hancur, Dy!” tukas Fitri, seolah tahu apa maksud perkataan anak sulungnya itu.
“Mama, apakah kalian pikir selama ini aku tenang? Apa kalian pikir selama ini aku bahagia? Tak melihat kah jika batinku tersiksa selama ini? Kurasa, kini aku tak bisa lagi menahan semua ini. Aku harus mengeluarkan semuanya, dan melakukan apa yang seharusnya aku lakukan dari dulu!” ujar Hardy.
“Hardy, kenapa kau ini? Apa lagi yang kau inginkan?” Herman sang Ayah pun angkat bicara.
“Tahukah kalian, selama ini kalian telah merenggut kebahagiaanku. Selama Ini, sudah berapa tombak yang menghujam jantungku? Kini, rasanya aku sudah muak. Aku juga sudah menemukan alasan kuat untuk semuanya!”
“Hardy, bicara apa kau ini? Kau baru saja diberikan kebahagiaan oleh Tuhan lewat istri dan kehadiran bayimu! Mau apa lagi kau ini?” Fitri menggelengkan kepala.
“Hmm, bayiku? Mungkinkah itu bayiku? Kurasa tidak! Aku sudah melakukan tes DNA untuk Syafika! Karena aku sungguh tak yakin jika dia adalah anakku!”
“Hardy! Kenapa kau harus melakukan itu? Bayi ini adalah anakmu!”
“Lihat saja nanti, pokoknya, jika memang tes DNA itu menunjukkan bahwa dia adalah anakku, maka aku pastikan tak akan ada yang berubah sedikitpun! Aku akan tetap bersama Sisil dan membesarkan Syafika. Akan tetapi, jika tes DNA itu menunjukkan kalau dia bukan anakku, maka aku akan mengejar wanitaku! Aku akan kembali pada Tiara, dan merebut dia dari pria brengsek yang memperalatnya! Akan kupastikan jika semuanya akan kembali seperti dulu! Aku tak peduli lagi dengan perusahaan bodoh ini! Sekalipun aku jatuh miskin, aku tidak takut! Selama aku bisa hidup bersama dengan wanitaku yang sesungguhnya!”
“Hardy! Kau tak boleh seperti itu!”
Aku tak peduli, jika aku harus kehilangan keluarga dan jabatanku. Kini aku sadar, selama ini hatiku kosong! Semua karena Tiara. Tiara, tunggu aku, tunggu aku mengumpulkan semua bukti-bukti itu! Lalu aku akan membuatmu menjadi wanitaku, seperti dulu lagi, Ti! Aku janji itu!