Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan yang mengalir
Di dalam kafe yang hangat, suara hujan yang masih berderai di luar terasa seperti latar belakang yang jauh. Aroma kopi yang hangat memenuhi udara, menciptakan suasana yang nyaman dan intim. Belle dan Draven duduk di meja sudut, dengan cangkir-cangkir mereka mengeluarkan uap tipis.
Belle mulai bercerita, mengalir begitu saja tanpa perlu berpikir terlalu keras. Ia merasa nyaman, mungkin karena keheningan yang hangat di antara mereka atau mungkin karena perasaan terbebas dari beban yang sudah lama ia pendam.
"Aku ingat waktu pertama kali tiba di Inggris," Belle mulai dengan nada pelan, matanya menerawang seolah kembali ke saat itu. "Aku merasa benar-benar asing di sini. Semuanya begitu berbeda dari rumah. Bukan cuma karena bahasa atau cuaca, tapi... rasanya seperti aku menjalani hidup yang bukan hidupku."
Draven mendengarkan dengan seksama. Matanya terfokus pada wajah Belle, mempelajari setiap ekspresi dan gerakan kecil yang ia buat. Bibirnya bergerak, matanya sedikit berkabut saat berbicara tentang masa lalunya. Dia terlihat begitu dalam, seolah menggali sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya. Draven tidak menyela, hanya membiarkan Belle terus bicara, menikmati setiap detik saat dia mengungkapkan isi hatinya.
"Ayahku mengirimku ke sini bukan untuk pendidikan terbaik," lanjut Belle, sedikit senyum getir terlintas di wajahnya. "Dia hanya ingin aku jauh dari hidupnya yang rumit di Indonesia. Seolah-olah aku ini masalah yang harus disingkirkan. Ibu selalu berkata padaku untuk sabar, tapi sulit rasanya... Kau tahu? Ketika satu-satunya hal yang ingin kau lakukan adalah diterima oleh keluargamu, tapi malah harus hidup di tempat yang begitu jauh dari mereka."
Belle mengaduk-aduk cokelat panas di depannya, matanya terarah ke cairan cokelat yang bergerak di dalam cangkir. Draven tetap diam, tetapi tatapannya semakin dalam, seolah bisa memahami perasaan Belle meski ia tidak mengungkapkannya dengan kata-kata.
"Kau pernah merasa begitu?" tanya Belle, menatap Draven. “Rasanya seperti terjebak di antara dua dunia yang tidak bisa kau miliki? Tidak pernah benar-benar merasa diinginkan di satu tempat pun?"
Draven menarik napas dalam-dalam, lalu akhirnya bicara. "Ya, mungkin aku tahu rasanya... lebih dari yang kau kira." Suaranya mengalun dalam, membuat Belle merasakan sesuatu yang berbeda, seolah olah Draven memahami setiap makna dari kata kata yang Belle ucapkan
"Terkadang aku juga merasa hidupku seperti dei setir untuk memenuhi ekspetasi orang lain," lanjut Draven, nadanya berat, penuh rahasia yang belum terungkap.
Belle memperhatikan Draven lebih lekat sekarang. Ada sesuatu yang misterius di balik ketenangan pria ini. Mungkin ia tidak banyak bicara, tetapi caranya menatap Belle dengan intensitas yang sulit diabaikan membuatnya merasa seolah-olah Draven menyembunyikan banyak hal di balik sikap tenangnya.
“Ayahku… dia mengatur semuanya,” kata Draven setelah jeda yang panjang, suaranya terdengar sedikit pahit. "Dia berpikir dia tahu apa yang terbaik untukku. Tunangan yang dia pilihkan, jalur hidup yang dia tentukan... semuanya terencana, seolah-olah aku ini bagian dari rencana besar yang tidak pernah kutahu."
Belle terkejut mendengar Draven akhirnya terbuka tentang hidupnya. Dalam sekejap, ia merasa mereka berdua lebih mirip dari yang pernah ia duga. Meskipun jalan hidup mereka berbeda, ada persamaan dalam beban yang mereka bawa. Keduanya terjebak dalam harapan dan keinginan orang lain, jauh dari apa yang mereka inginkan sendiri.
"Jadi, Paula..." Belle akhirnya berani menanyakan sesuatu yang dari tadi ia pikirkan. "Kau benar-benar... mencintainya?"
Draven tidak langsung menjawab. Ia hanya memandang Belle dengan tatapan yang sulit diartikan. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap itu, Belle merasa ada sesuatu yang jauh lebih rumit di dalam diri Draven daripada yang terlihat di permukaan.
"Aku bahkan tidak yakin apa arti cinta lagi," Draven akhirnya berkata, suaranya rendah. "Aku tahu Paula baik, dan kami memiliki sejarah bersama, tapi... semua ini terasa begitu... dipaksakan. Seperti semuanya sudah diatur bahkan sebelum aku sempat berpikir tentang apa yang sebenarnya kuinginkan."
Belle terdiam. Ia merasakan beban serupa, tentang bagaimana hidupnya juga sudah diatur oleh orang lain. Ayahnya, dengan kekuasaan dan pengaruhnya, selalu menentukan segalanya untuknya. Namun, saat mendengar Draven berbicara, Belle menyadari bahwa mereka tidak sendirian dalam perasaan ini. Ada orang lain yang juga terjebak dalam takdir yang tidak mereka pilih.
“Kita sangat mirip, ya?” Belle tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana. "Mungkin... itulah sebabnya kita terus bertemu secara tidak sengaja. Seperti alam semesta ingin kita memahami sesuatu."
Draven tertawa kecil, senyuman akhirnya terlintas di wajahnya. “Mungkin. Atau mungkin ini hanya kebetulan yang aneh.”
Setelah itu, percakapan mereka menjadi lebih mudah. Belle terus berbicara tentang masa kecilnya di Inggris, kenangan masa kecilnya di Indonesia, dan keinginan dia untuk suatu hari bisa hidup tanpa nama keluarganya yang besar. Draven mendengarkan dengan hati-hati, matanya tetap tertuju pada Belle, seolah ingin mengambil setiap kata yang dia katakan.
Belle menyadari bahwa waktu telah berlalu tanpa ia sadari saat langit mulai gelap dan hujan mulai reda di luar. Mereka telah berbicara selama berjam-jam. Meskipun banyak yang telah mereka katakan, Belle merasa masih ada banyak hal yang tersisa di antara mereka.
"Kita seharusnya pulang," kata Belle akhirnya, menatap ke jendela yang hujan masih turun.
“Ya,” jawab Draven, meskipun Belle bisa merasakan keengganan di balik ucapan itu.
Mereka meninggalkan kafe dengan langkah yang lebih lambat, seolah-olah mereka tidak ingin malam itu berakhir. Hujan telah berhenti, dan udara malam dingin tetapi menyegarkan. Ketika Belle merapatkan jaketnya, Draven menyentuh bahu Belle tanpa sadar, memberikan kehangatan yang lebih nyata daripada kata-kata.
"Terima kasih untuk malam ini," kata Belle, tersenyum tulus. "Aku merasa lebih baik."
Draven mengangguk, matanya masih terpaku pada Belle. "Aku juga."
Di tengah kesendirian malam yang baru saja dipenuhi dengan percakapan panjang, keduanya merasakan bahwa ada perubahan. Mereka bukan lagi dua orang asing yang bertemu secara kebetulan; lebih dari itu, mereka adalah dua jiwa yang terhubung secara tidak terduga.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus