Antara Dua Sisi

Antara Dua Sisi

Bayangan yang terpahat cahaya

Di pojok kamar asrama yang luas dan tenang, Libelle Talitha duduk di meja belajarnya. Dihadapkan oleh jendela besar, pemandangan taman sekolah yang sempurna menghampiri pandangannya; dengan rumput hijau yang terawat dengan baik, seolah-olah menyembunyikan segala keburukan.

Sinar matahari pagi memasuki ruangan, menyampaikan kehangatan dan kedamaian, mempesona banyak remaja sebayanya yang mengidamkan citra ideal. Bagi Belle, namun, cahaya tersebut terasa terpencil dan jauh, menyerupai kehidupan yang teramat jauh dan tak pernah tergapai.

Belle telah memasuki sekolah elit di Inggris yang menawan dua tahun yang lalu. Selama dua tahun terakhir, ia telah menikmati gaya hidup yang mewah, memanfaatkan semua fasilitas yang telah disediakan, dan menikmati status sosial yang tinggi. Setiap harinya, ia bergaul dengan teman-teman dari keluarga terkemuka di seluruh dunia.

Meskipun semua orang terlihat hidup dengan sederhana tanpa ada rahasia atau beban tersembunyi, Belle merasa hampa di lubuk hatinya, meski senyumnya terhampar tipis. Belle sadar betul bahwa kehidupan yang tampak sempurna baginya hanyalah ilusi.

Belle pindah dari jendela ke mejanya yang berisi buku-buku pelajarannya. Di meja itu terdapat foto potret Rina, ibunya, yang sudah mulai pudar. Melalui bingkai yang sederhana itu, Belle melihat wajah lembut ibunya, dengan ekspresi ketenangan yang selalu terpancar meski diselimuti kesedihan.

Belle sadar bahwa di balik senyumannya yang lembut itu terdapat luka yang tak kunjung sembuh. Dalam keheningan, pikiran Belle melayang, "Ibu selalu bisa menerima segala hal. Mengapa aku tak bisa melakukannya?"

Dia merasakan seperti langkahnya mengantarkannya kembali ke Indonesia, ke kediamannya yang terpencil di pedesaan, yang damai dan menjauh dari keramaian kota. Di sana, dia dan ibunya pernah hidup dalam ketenangan, hampir seperti bayangan yang terselip dari pandangan dunia luar.

Keluarganya teramat rahasia, hanya sedikit orang yang mengetahui tentang eksistensi mereka. Ayah Belle, seorang figur berpengaruh, sering tampil di media bersama istri pertamanya beserta anak-anaknya yang terlihat sempurna. Senantiasa tersenyum bahagia di depan publik.

Belle menghela napas panjang. Pada awalnya, dia tidak memahami alasan di balik keputusan ibunya untuk menerima situasi tersebut. Mengapa mereka perlu menyembunyikan identitas mereka? Mengapa harus rela meninggalkan kehidupan yang lebih baik? Tapi lama kelamaan, Belle mulai menyadari bahwa menjadi bagian dari dunia ayahnya meskipun sebagai figur yang terpinggirkan dalam kegelapan adalah sebuah pengorbanan yang tak terhindarkan.

Saat berjalan perlahan melalui koridor sekolah yang sepi, pikiran Belle terperangkap dalam kenangan yang terus menghantuinya. Buku-buku pelajaran yang seharusnya menjadi fokusnya saat ini terasa ringan dan tidak penting dalam genggamannya, dibandingkan dengan beban pikirannya yang berputar-putar dalam mencari arti dari posisinya dalam keluarga yang rumit.

"Hey, Belle!" Suara gembira menghentikan lamunannya. Belle menoleh dan dengan senyum lebar melihat teman sekamarnya, Emily, mendekatinya.

“Hai, Em,” kata Belle dengan senyum tipis. Emily adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Belle tenang—dia ceria, penuh semangat, dan selalu mampu membuatnya tertawa di tengah pikirannya yang tenang.

“Kamu baik-baik saja? Tadi kelihatan agak melamun,” tanya Emily, nada suaranya penuh perhatian.

Belle mengangguk pelan, mengalihkan pandangan sejenak. “Aku baik-baik saja. Hanya sedang memikirkan ujian besok,” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan.

Namun, Emily tidak begitu saja percaya. “Kamu tahu, Belle, kamu selalu tampak punya banyak hal yang mengganggu pikiranmu. Jika ada yang ingin dibicarakan, aku di sini untukmu,” ujarnya dengan lembut.

Senyum Belle kali ini lebih tulus, meski masih menyimpan kesedihan. “Terima kasih, Em. Aku akan ingat itu.”

Emily memberikan Belle pelukan singkat sebelum pergi, meninggalkan Belle menyendiri di koridor yang kembali sepi. Saat Emily mencapai ujung koridor, Belle merasakan getaran lembut dari tasnya. Belle mengambil ponselnya dan menemukan pesan singkat dari ayahnya, yang jarang berkomunikasi dengannya.

Pesan tersebut singkat namun penuh makna, "Semoga semuanya baik-baik saja di sana."Jaga dirimu. "Setelah menatap layar ponselnya untuk waktu yang lama, Belle akhirnya membalas singkat, "Baik-baik saja, Pa. Terima kasih."

Pesan yang dia sampaikan kepada ayahnya selalu singkat, formal, dan terasa jauh, tidak mencerminkan kehangatan atau perhatian sejati di antara mereka. Hubungan mereka terasa lebih seperti rutinitas daripada ikatan batin antara seorang ayah dan anak.

Setiap pesan yang pendek yang diterimanya semakin menegaskan bahwa, meskipun dikelilingi oleh kemewahan dan pengakuan, tetapi kasih sayang yang tulus selalu terasa jauh, seolah-olah sulit untuk ditemukan."Saat senja berganti malam, Belle kembali ke kamarnya.

Cahaya redup dari lampu-lampu koridor mulai mengisi ruangan dengan keheningan, menggantikan hiruk-pikuk kesibukan siang hari di sekolah. Belle menyalakan lampu meja di kamarnya, menatap foto ibunya yang terletak di atas meja. Di dalam hatinya, tumbuh rasa rindu yang mendalam, mengingatkannya pada rumah yang kini terasa begitu jauh.

"Jangan khawatir, Bu. Di sini aku baik-baik saja meski hari-hariku terasa berat, "tulis Belle, pena di tangannya bergerak perlahan. Tak pernah kutahu kapan hal ini akan kutemui, tapi aku berusaha. Ia kemudian berkata, "Selalu kusimpan kerinduanku padamu."

"Semoga Ibu di rumah juga sehat dan baik."Tulisan itu berakhir. Belle menutup matanya, menghela napas panjang, membiarkan perasaan yang menekan dadanya meluap. Dia kerap lelah hidup dalam bayang-bayang. Setiap hari terasa mengambang tanpa arah yang jelas, dihantui keinginan untuk sembunyi dari kenyataan.

"Apakah ada jalan keluar dari semua ini? Belle menatap bayangannya di cermin sambil menggumam. Di Inggris, ia bisa menjadi siapa pun, namun di dalam hatinya, ia tetap gadis terbelenggu oleh rahasia keluarga yang tak pernah dipilihnya.

Malam semakin larut. Belle berdiri di jendela di bawah langit Inggris yang kelam, sementara bulan bersinar lembut di langit.

Ia mengamati bulan tersebut sambil merenungkan kemungkinan ibunya turut memandang bulan yang sama di desa kecil Indonesia yang jauh. Pada saat yang bersamaan, ayahnya tengah menjalani kehidupan yang tampak begitu indah dengan keluarga pertamanya di sebuah kota besar yang ramai. Bagi Belle, dirinya terasa terpisah di antara dua dunia yang berbeda.

"Di satu sisi, dia adalah Libelle Talitha, seorang gadis yang bersekolah di lingkungan elite di Inggris yang megah. Namun, di sisi lain, dia hanya sebuah anak yang tidak pernah diakui, tersembunyi di balik citra sebuah keluarga besar yang sempurna besutan ayahnya.

Meskipun Belle hidup dalam kemewahan, dia merasa kekurangan sesuatu yang amat penting baginya, yakni pengakuan dan kasih sayang yang tulus.

Terpopuler

Comments

Leviathan

Leviathan

sedikit saran, perhatikan lagi struk katanya iya Thor.

ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..

contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.

jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam

atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.

intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus

2024-10-15

0

Vandelist_

Vandelist_

halo kak aku udah mampir di cerita kakak, dan juga sedikit saran dari aku untuk memperhatikan tanda kapital dan juga tanda bacanya.

serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️

2024-10-26

1

safea

safea

suka banget sama tata bahasanya, keren kak! oh iya sedikit saran dari aku, tolong penempatan tanda bacanya diperhatikan lagi yaa

2024-10-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!