Di jantung kota Yogyakarta, yang dikenal dengan seni dan budayanya yang kaya, tinggal seorang wanita muda bernama Amara. Dia adalah guru seni di sebuah sekolah menengah, dan setiap harinya, Amara mengabdikan dirinya untuk menginspirasi siswa-siswanya melalui lukisan dan karya seni lainnya. Meski memiliki karir yang memuaskan, hati Amara justru terjebak dalam dilema yang rumit: dia dicintai oleh dua pria yang sangat berbeda.
Rian, sahabat masa kecil Amara, adalah sosok yang selalu ada untuknya. Dia adalah pemuda yang sederhana, tetapi penuh perhatian. Dengan gitar di tangannya, Rian sering menghabiskan malam di kafe-kafe kecil, memainkan lagu-lagu yang menggetarkan hati. Amara tahu bahwa Rian mencintainya tanpa syarat, dan kehadirannya memberikan rasa nyaman yang sulit dia temukan di tempat lain.
Di sisi lain, Darren adalah seorang seniman baru yang pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan tatapan yang tajam dan senyuman yang memikat, Darren membawa semangat baru dalam hidup Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon All Yovaldi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22_Dilema Tanpa Akhir
Amara mulai merasa kelelahan dengan segala drama yang terjadi. Setiap langkah ke depan bersama Rian, selalu saja ada sesuatu yang menariknya kembali ke masa penuh keraguan. Namun, dia belum siap untuk menyerah. Bagaimanapun, dia masih mencintai Rian—meski kini hatinya semakin ragu.
Malam itu, Amara duduk sendirian di balkon apartemennya, memandangi langit malam Jakarta yang penuh dengan gemerlap lampu kota. Udara terasa hangat, tapi hatinya malah terasa dingin. Pikirannya terus berputar pada satu hal: apa benar dia sudah membuat pilihan yang tepat bersama Rian?
Sinta tiba-tiba menelepon, suaranya ceria di ujung sana.
“Mar, lagi ngapain lo? Gue ada gosip baru nih!”
Amara tertawa kecil, meski hatinya belum sepenuhnya plong. “Gue lagi galau, Sin. Cuma lo yang selalu bikin otak gue nggak mumet.”
Sinta terkekeh. “Ya udah, sini gue tumpahin cerita biar lo nggak kebanyakan mikir. Gue abis kepoin Nina di sosmed, dan lo tau nggak? Dia kayaknya lagi deket sama cowok lain!”
Amara langsung duduk lebih tegak. “Serius lo?”
“Serius banget. Gue liat story dia, ada cowok yang nggak pernah gue liat sebelumnya. Kayaknya Nina lagi main di Bali, dan cowok itu kayak deket banget sama dia.”
Amara merasa sedikit lega, tapi tetap ada pertanyaan yang mengganggu. Kalau Nina memang sudah punya gebetan lain, kenapa dia masih sibuk urusin Rian?
Keesokan harinya, Amara memutuskan untuk mengajak Rian bertemu di kafe tempat mereka biasa nongkrong. Dia butuh jawaban lebih dari sekadar janji manis.
Saat Rian datang, Amara langsung menatapnya dengan serius. “Gue mau lo jujur sama gue, Rian. Gue udah dengar banyak cerita, tapi gue butuh lo yang jelasin semuanya.”
Rian terlihat bingung, tapi dia menarik napas dalam dan mulai bicara. “Amara, gue ngerti kenapa lo ngerasa gini. Tapi, gue udah bilang berkali-kali, Nina itu cuma teman lama. Gue nggak punya hubungan apa-apa sama dia.”
Amara masih belum puas. “Kalau lo nggak ada hubungan apa-apa, kenapa dia selalu muncul di antara kita?”
Rian menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya lagi. “Gue juga bingung, Mar. Tapi gue nggak pernah nyari dia. Mungkin dia masih nganggap gue teman baik, tapi gue nggak punya perasaan apa-apa ke dia.”
Amara menatap Rian dengan mata berkaca-kaca. “Lo tau nggak betapa sulitnya buat gue percaya lagi? Gue takut, Rian. Takut kalau akhirnya gue cuma jadi pilihan kedua di hidup lo.”
Rian meraih tangan Amara dan menggenggamnya erat. “Mar, gue janji. Lo bukan pilihan kedua. Lo satu-satunya yang gue mau.”
Amara terdiam sejenak, hatinya mulai luluh. Dia ingin percaya pada kata-kata Rian, tapi kali ini dia juga ingin lebih berhati-hati.
“Gue kasih satu kesempatan lagi, Rian. Tapi tolong jangan sia-siain ini.”
Rian tersenyum tipis dan mengangguk. “Gue nggak akan bikin lo kecewa lagi, Mar.”
Beberapa hari berlalu, hubungan Amara dan Rian mulai kembali seperti biasa. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, pergi ke tempat-tempat favorit, dan bercanda seperti dulu. Amara merasa sedikit lebih tenang—tapi di sudut hatinya, dia tahu bahwa badai belum benar-benar berlalu.
Sampai akhirnya, satu pesan dari Kayla menghancurkan segalanya.
Kayla:
“Gimana? Lo udah yakin mau ninggalin dia?”
Amara membaca pesan itu dengan tangan gemetar. Ini bukan pesan yang dia harapkan—dan jelas bukan sesuatu yang bisa dia abaikan.
Amara langsung menelepon Rian, suaranya dingin dan tegas. “Kita harus bicara sekarang.”
Rian terkejut dengan nada suara Amara, tapi dia setuju untuk bertemu malam itu juga. Mereka bertemu di taman dekat apartemen Amara, tempat mereka sering menghabiskan waktu berdua.
Amara menatap Rian dengan mata yang penuh kekecewaan. “Gue nemuin pesan dari Kayla. Lo mau jelasin apa maksudnya?”
Rian tampak kaget. “Pesan apa? Gue nggak tau apa-apa tentang itu, Mar.”
Amara menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan pesan dari Kayla. “Gue capek, Rian. Gue udah coba percaya sama lo, tapi selalu ada sesuatu yang bikin gue ragu.”
Rian menatap pesan itu dengan mata terbelalak. “Gue beneran nggak ngerti kenapa Kayla kirim pesan itu. Gue nggak ada niat buat ninggalin lo, Mar.”
Amara menggeleng pelan. “Gue cuma butuh lo jujur. Gue nggak peduli apa yang lo pikirin tentang Kayla atau Nina. Gue cuma mau tau, apa gue bener-bener orang yang lo pilih?”
Rian menunduk, wajahnya terlihat lelah dan penuh penyesalan. “Mar, gue minta maaf. Gue sadar gue nggak sempurna, tapi gue serius sama lo. Gue cuma butuh waktu buat nyelesain semua ini.”
Amara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. “Oke, gue kasih lo waktu. Tapi kalau lo nggak bisa kasih gue kepastian, gue akan pergi.”
Rian mengangguk pelan, matanya penuh dengan rasa bersalah. “Gue ngerti, Mar. Gue nggak akan sia-siain kesempatan ini.”
Malam itu, Amara pulang dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia ingin percaya bahwa Rian bisa berubah. Tapi di sisi lain, dia sadar bahwa hubungan ini butuh lebih dari sekadar janji dan kata-kata manis.
Badai belum berlalu—dan Amara tahu, perjuangannya baru saja dimulai.
To be continued...
semangat berkarya../Determined//Determined//Determined/