DASAR, SUAMI DAN ISTRI SAMA-SAMA PEMBAWA SIAL!
Hinaan yang tak pernah henti disematkan pada Alana dan sang suami.
Entah masa lalu seperti apa yang terjadi pada keluarga sang suami, sampai-sampai mereka tega mengatai Alana dan Rama merupakan manusia pembawa sial.
Perselisihan yang kerap terjadi, akhirnya membuat Alana dan sang suami terpaksa angkat kaki dari rumah mertua.
Alana bertekad, akan mematahkan semua hinaan-hinaan yang mereka tuduhkan.
Dapatkah Alana membuktikan dan menunjukkan keberhasilannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon V E X A N A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PAM26
"Halo, Pak? --- Rama? Lagi di cafe sama Alana dan Bian. Tadi Alana ngajakin buat nyoba menu baru."
Mas Rama menganggukkan kepala meski lawan bicaranya tak dapat melihat. "Baik, Pak. Besok Rama ke sana."
Mas Rana menatapku setelah mengakhiri teleponnya.
"Bapak minta kita ke rumah besok. Mbak Raya dan keluarganya juga akan datang."
"Ada acara apa, Mas?" Aku sambil membantu Bian menghabiskan kentang gorengnya.
"Kumpul-kumpul aja, mumpung hari minggu."
"Perlu menyiapakan makanan berarti? Tidak mungkin kita minta Ibu masak kan? Ku tanya Mbak Raya aja ya. Kalau misalnya kita yang mesti bawa, ya biar kusiapkan."
Aku lekas menghubungi Mbak Raya.
"Mbak, untuk kumpul-kumpul besok ... Alana perlu nyiapin apa?"
"Bawa kue-kue mu aja, Na. Makan beratnya nanti Mbak yang bawa."
"Ok, Mbak. Ntar kubawain cemilan cepuluhnya."
"Risol sama pie buah jangan lupa dimasukkan dalam daftar ya, Na. Kangen juga sama risolmu. Anak-anak ini juga doyan banget ama pie buahnya."
"Beres, Mbak. Ntar ku bawain."
...****************...
Mbak Raya sudah ada di rumah bapak ketika kami sampai. Bian girang sekali melihat Doni dan Dio. Mungkin karena jarang bertemu teman sebayanya di rumah. Mereka bertiga langsung lengket bermain bersama, setelah Bian salim sama kakek nenek, bude dan pakde nya.
"Banyak banget bawaanmu, Na. Ini sih buat ngasih makan 1 RT cukup." Mbak Raya takjub melihat aku dan Mas Rama menurunkan bawaan kami.
"Ada yang memang untuk dibagi ke tetangga, Mbak." Kemudian aku mendekati Bapak dan Ibu untuk mencium punggung tangannya. Gantian dengan Mas Rama.
"Sepertinya kumpul keluarga begini dibikin rutin ya, Pak. Sebulan sekali gitu." Saran Mbak Raya sambil memperhatikan para bocil bermain.
"Bener itu. Rumah ini jadi rame."
"Ayo kita makan dulu aja. Habis itu baru ngobrol-ngobrol sambil ngemil kue. Pie buahnya Alana sudah manggil-manggil minta dimakan!" ajak Mbak Raya.
"Liurnya diusap dulu, Ma. Malu sama Bapak Ibu, dan yang lain!" goda Mas Budi ke istrinya.
Mas Budi dihadiahi lirikan tajam dan cubitan kepiting di lengannya. "Enak aja. Mana ada aku ileran!"
Kulihat Bapak, Ibu, dan Mas Rama senyum-senyum saja. Hatiku menghangat merasakan kerukunan ini. Meski ibu belum mengajak suamiku bicara, paling tidak sudah tidak ketus dan menghindar lagi seperti sebelum bapak sakit.
Mbak Raya membawa soto kudus, lengkap dengan perkedel dan sate-satenya.
Pas sekali menunya, segar-segar di cuaca cetar begini. Bocil-bocil makan dengan lahap. Mungkin karena berkuah, jadi makannya lebih mudah.
"Kerjaanmu bagaimana Bud? Lancar?" tanya bapak saat kami bercengkrama di ruang tamu setelah makan. Anak-anak di ruang tengah menonton kartun kesukaan mereka.
"Lancar, Pak, syukurlah. Kalau jadi, 2 minggu lagi Budi akan keluar kota. Ada seminar 3 hari dari kantor."
"Syukurlah kalau begitu, Bud. Hati-hati di luar kota, jauh dari keluarga. Meski cuma sebentar, tetap waspada, jaga hati dan jaga pandangan ya ...," pesan Bapak. "Kamu gimana, Ram? Ada kesulitan dengan posisi baru?"
"Rama baik-baik saja, Pak. Tantangan pasti ada, tapi, sejauh ini masih bisa di atasi."
"Bisnis kuliner Alana sepertinya lancar jaya tuh, Pak. Cafe nya jadi inceran anak-anak muda. Apalagi yang ulang tahun. Kayaknya harus banget gitu dirayakan di cafenya Alana!" celetuk Mbak Raya penuh semangat.
"Memangnya kenapa, sampai diincar ama yang ulang tahun?" tanya ibu penasaran.
"Karena ada kue gratis, Bu. Asal menunjukkan buktinya. Buat promo, Bu. Kalau ulang tahun kan biasanya traktir-traktir. Pesannya banyak. Jadi, untuk tanda terima kasihnya, Alana kasih kue." Aku memberi penjelasan ke ibu.
"Kepikiran aja idemu, Na. Bagus itu promosinya," puji Bapak. Aku hanya tersenyum.
"Mumpung kita kumpul semua, Bapak ingin menyampaikan sesuatu yang mengganjal ke Raya dan Rama. Kalian ingat kalian masih punya kakak yang hidup di perantauan sana?"
"Ingat, Pak," jawab Mbak Raya dan Mas Rama hampir bersamaan.
"Syukurlah kalau masih ingat. Jadi ... sejak kakakmu itu kecelakaan 2 tahunan lalu, kondisinya tidak pernah sama. Karena sudah tidak selincah dulu, dia dipindahkan ke bagian kantor. Otomatis gaji dan semua tunjangannya disesuaikan menjadi lebih kecil. Bertepatan dengan itu, 2 keponakan kalian masuk sekolah. Tahun lalu masih 1, hanya Nanda yang di TK. Tahun ini Nanda masuk SD, Nindi masuk TK. Awalnya kakakmu tidak mau ngasih tahu Ibu dan Bapak kalau dia berhutang ke kantornya. Tapi, akhirnya dilakukan juga sekarang," jelas Bapak.
"Kalian ingat yang beberapa bulan lalu Bapak masuk rumah sakit karena Ibumu mau menggadaikan sertifikat kebun?" sambung Bapak.
Kami semua mengangguk, ibu hanya tertunduk.
"Raga memberitahu Ibumu bahwa mereka mau buka toko yang akan dijaga Mbakmu, sementara kakak kalian masih tetap kerja di kantor itu. Saat Bapak nanya nanti siapa yang akan bayar cicilan plus bunganya, dia tidak bisa jawab. Lalu, kakakmu ini membatalkan niatnya tanpa ada penjelasan apapun. Bahkan pertanyaan Bapak itu juga belum juga dijawabnya. Tau-tau beberapa hari yang lalu telepon lagi."
Bapak menghela napas dengan berat.
Aku menatap Mas Rama, kemudian Mbak Raya.
"Raga mau balik ke sini, tapi, harus menyelesaikan hutangnya dulu di perusahaan. Dan, tidak hanya itu ...." Bapak menjeda perkataannya dan mengambil napas dalam lagi.
"Raga juga tidak punya ongkos balik."
Kami semua terdiam.
"Jadi sekarang Bapak mau mengajak kita semua bermusyawarah. Bapak mohon, tolonglah kakakmu ini. Kasian keponakan kalian di sana. Kita di sini bisa makan enak, melimpah. Bahkan kita bisa berbagi ke tetangga sekitar. Apa tidak keterlaluan kita biarkan saudara kita di sana malah kekurangan?"
Hati ku sedikit tercubit mendengar perkataan bapak, karena sejujurnya kami sudah memikirkan hal ini. Aku yakin Mbak Raya juga kepikiran hal yang sama. Namun, karena hubungan mereka yang kurang dekat sejak kecil, sehingga terlihat tidak ada empati kepada saudara sendiri.
"Lalu rencananya Bapak bagaimana?" tanya Mbak Raya.
"Kalau kalian tidak keberatan, Bapak minta tolong kalian untuk melunasi pinjaman Raga ke kantornya dan juga membiayai kepindahan mereka kemari. Nanti, hitunglah sebagai hutang yang harus dibayar Raga kalau kalian merasa uangnya terlalu besar. Yang penting, kakak kalian dan keluarganya tidak terlunta-lunta di sana."
"Berapa memangnya hutang Mas Raga, Pak?" tanya suami ku.
"Jumlah pastinya kami tidak tahu," jawab Bapak.
"Bagaimana kalau kita telepon Mas Raga sekarang, Pak? Hari libur begini, masih sore pula. Mestinya mereka ada di rumah kan?" usul Mbak Raya.
"Ya, sana coba telepon. Biar kita bicarakan bersama dia sekalian."
Mbak Raya melakukan video call dengan Mas Raga melalui aplikasi pesan.
Tak berselang lama, wajah Mas Raga terlihat di layar ponsel Mbak Raya.
"Halo, Ray."
"Halo, Mas. Kami lagi ngumpul semua di rumah Bapak sekarang." Mbak Raya memutar ponsel ke arah kami semua. "Itu keponakanmu di sana tuh, Mas."
"Ada acara apa, Ray? Tumben?"
"Tidak ada acara apa-apa. Ngumpul aja, mumpung ada kesempatan. Mbak Utami dan anak-anak ke mana, Mas?"
"Lagi ke warung ngambil setoran kerupuk sama Nindi. Nanda lagi tidur di kamar. Mbak mu bikin kerupuk di sini, dititip ke warung-warung dekat rumah. Lumayan buat nambah-nambah."
Bapak meminta ponsel Mbak Raya.
"Mas, Bapak mau bicara," ujar Mbak Raya.
"Raga, Bapak sudah bicarakan keinginanmu dengan Budi, Raya, Rama, dan Alana. Cuma kan, ada yang Bapak tidak bisa menjawabnya sendiri. Tolong kamu yang kasih tahu mereka dengan jelas, bagaimana kondisimu."
Ku lihat Mas Raga tertunduk. Setelah menghela napas bebeberapa kali, akhirnya Mas Raga buka suara.
"Jadi begini, sebenarnya aku malu menceritakan ini semua. Raga pinjam ke kantor 5 juta untuk biaya sekolah Nanda dan Nindi. Tapi sebelumnya Raga juga ada pinjaman kantor untuk kontrol dan terapi kaki. Ada yang tidak bisa pakai BPJS, jadinya mesti bayar lagi. Sudah dipotong dari gaji, tapi masih tersisa sekitar 3 jutaan lagi. Total hutang yang tersisa 8 jutaan ...."
"Telepon siapa, Mas?" terdengar suara wanita. Pasti Mbak Utami.
"Bapak dan yang lain, Ma. Mereka lagi kumpul di rumah Bapak."
Tak lama, wajah Mbak Utami tampil di layar ponsel.
"Bapak sehat, Pak?" sapa Mbak Utami.
"Alhamdulillah sehat, Nak. Sekalian kamu ada, kita lagi bahas rencana kepulangan kalian kemari. Tentang hutang yang harus kalian lunasi sebelum pulang."
"Anggap aja hutang, Pak. Nanti akan kucicil saat sudah ada pemasukan di sana." Mas Raga langsung menambahkan.
Lalu Bapak melihat ke arah kami. "Apa kalian bersedia membantu kakak kalian sekeluarga?"
Mbak Raya melihat ke arah Mas Budi.
Mas Budi terlihat mengangguk. Mas Rama juga mengodeku. Aku juga mengangguk.
"Adik-adikmu mau bantu kalian. Segeralah diurus kepulangannya."
"Syukurlah. Terima kasih banyak Bapak, Ibu, Raya, Budi, Rama dan juga Alana. Kami lega sekali. Kalau kepulangan kami 2 minggu depan setelah Nanda terima rapot, bagaimana, Pak? Biar diurus kepindahannya sekalian."
Mbak Utami mengusap wajahnya.
"Raga juga harus serah terima kerjaan, Pak." tambah Mas Raga.
"Begitu juga boleh. Kalian atur saja bersama, bagaimana baiknya. Yang penting balik secepat mungkin. Jangan ditunda lagi," saran Bapak.
Setelah Nanda dan Nindi ikutan dalam obrolan, kami mengakhiri video call itu.
Akhirnya kami sepakat untuk mentransfer 15 juta ke Mas Raga, 8 juta dari Mas Rama dan 7 juta dari Mbak Raya dengan izin Mas Budi tentunya. Nanti setelah balik di rumah, untuk sementara Mas Raga akan membantu bapak mengurus kebun selama belum dapat kerjaan.
1 beban pikiran sudah teratasi. Hanya tinggal menunggu Mas Raga sekeluarga tiba di kampung.
...****************...
Di ruang tamu, aku sedang mengawasi Bian bermain. Anak ku itu terlihat seperti kesepian.
Sambil mengawasi Bian, aku sesekali memeriksa ponsel. Kali saja ada laporan dari toko.
Tok!
Tok!
Tok!
"Permisi ...." Ada yang mengetuk pintu rumah ku.
Bola mata ku sontak membulat. Aku kenal betul siapa pemilik suara itu.
*
*
Bersambung~
akhirnya ya rama 😭