Ketika cinta harus terpatahkan oleh maut, hati Ryan dipenuhi oleh rasa kalut. Dia baru menyadari perasaannya dan merasa menyesal setelah kehilangan kekasihnya. Ryan pun membuat permohonan, andai semuanya bisa terulang ....
Keajaiban pun berlaku. Sebuah kecelakaan membuat lelaki itu bisa kembali ke masa lalu. Seperti dejavu, lalu Ryan berpikir jika dirinya harus melakukan sesuatu. Mungkin dia bisa mengubah takdir kematian kekasihnya itu.
Akan tetapi, hal itu tak semudah membalikkan telapak tangan, lalu bagaimanakah kisah perjuangan Ryan untuk mengubah keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amih_amy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Panggil Aku Abang!
...----------------...
"Permisi, Pak. Kalau boleh tahu orang-orang tadi masuk ke dalam mau ngapain, ya?" Ryan yang penasaran bertanya kepada penjaga yang berdiri di depan pintu gedung yang dimasuki Rara.
"Mereka mau jadi penonton bayaran di acara variety show. Kenapa? Kamu mau ikutan?"
Ryan berpikir sejenak lalu helaan napas lega pun terlontar ke udara. Lelaki itu lega karena setidaknya di dalam sana Rara tidak berurusan dengan si Sutradara.
"Kalau mau ikutan, masuk aja! Sebentar lagi acaranya dimulai." Penjaga itu berkata lagi membuat Ryan sejenak berpikir.
"Ehm ... kira-kira acaranya selesai jam berapa, Pak?" tanya Ryan. Dia harus mengambil kuliahnya sekarang.
"Sekitar dua jam dari sekarang."
"Sial! Lama banget!" Ryan berdecak karena dia tidak mungkin bolos kuliah. Satu jam lagi akan ada ujian penting yang tidak boleh dia tinggalkan.
Di waktu bersamaan, Danang—si sutradara nakal itu terlihat sedang berjalan bersama dengan seorang gadis cantik berpakaian casual. Mereka berjalan ke arah parkiran. Sepertinya mereka akan pergi. Ternyata kepergian Danang bersama dengan perempuan itu menyita perhatian banyak orang. Terutama si penjaga pintu dan Ryan.
"Heran, zaman sekarang masih ada aja yang mau ke naik puncak tertinggi dengan cara jalur langit."
Celetukan si penjaga itu membuat perhatian Ryan sontak tertuju kepadanya. "Bapak ngomong apa?"
"Tuh, si Danang. Udah dapat mangsa baru aja. Gadis itu pasti artis pendatang baru." Penjaga yang diketahui bernama Faisal dari nametag yang dipakai di seragamnya itu menunjuk Danang dengan memakai dagu. Kening Ryan mengernyit mendengar ucapan Faisal. Dia juga kenal perempuan itu yang merupakan rekan kerjanya yang sama-sama pemula. "Maksud Bapak apa?" tanyanya semakin penasaran.
"Eh, bukannya kamu juga artis baru yang suka main film di kru-nya dia?" Faisal mengingat wajah Ryan karena sering melihatnya di area itu.
Ryan mengangguk ragu. "Iya," jawabnya bujur.
Sebenarnya Ryan tidak ingin jujur. Jika dia jujur apakah penjaga itu akan melanjutkan ceritanya. Sungguh, dia harus mendapatkan informasi yang lebih detail tentang kelakuan Danang saat ini. Namun, untuk berbohong rasanya tidak mungkin karena sepertinya penjaga itu mengenalnya dengan yakin.
"Ck, bahaya kalau gitu. Lupain aja!"
Sudah diduga jika Faisal tidak ingin pekerjaannya jadi taruhan jika dia berkata sembarangan. Ryan menggigit bibirnya sambil memikirkan cara untuk mendapatkan informasi dari si penjaga.
"Bapak nggak usah khawatir. Saya orangnya nggak bocor, kok. Lagipula, saya kan laki-laki, jadi nggak mungkin saya bersaing dengan perempuan tadi," ucap Ryan sedikit berkelakar. Penjaga itu pun tertawa menggelegar.
"Iya juga, ya. Sini saya bisikin kamu."
Ryan memasang telinganya lebar-lebar ketika penjaga itu mendekatkan mulutnya lalu berkata pelan. Kepalanya mengangguk mengerti ketika si pria itu sudah selesai menjelaskan.
"Saya nggak nyangka Pak Danang orang yang kayak gitu," ucap Ryan pura-pura terkejut dan tidak tahu sebelumnya. Padahal dia tahu nasib Danang di masa depan akan berakhir seperti apa. Semoga saat ini nasibnya juga sama.
"Sebenarnya itu sudah menjadi rahasia umum buat semua kru di sini, tapi saya takut juga kalau ketahuan mengumbar kelakuan dia sama anak baru kayak kamu. Bisa-bisa saya dituntut karena pencemaran nama baik. Namanya wong cilik pasti ujung-ujungnya nggak bisa berkutik."
Ryan bisa mengerti dengan ketakutan Faisal. Dahulu, Rara juga dalam posisi yang serupa. Jika saja tidak ada keluarga Lilis yang membantu mereka, tentu Danang tidak akan mendapatkan balasannya. Yang membuat Ryan menyesal adalah kenapa dia tidak tahu apa-apa sebelumnya.
Itu karena di masa sebelum Ryan mengalami distorsi waktu, lelaki itu terlalu cuek dengan masalah seperti itu. Seolah tidak mau tahu dengan masalah orang lain, Ryan hanya mementingkan dirinya sendiri.
Kali ini, Ryan harus serba tahu. Dia harus bisa memisahkan Rara dari lelaki itu. Kalau perlu jangan sampai mereka bertemu.
*****
Sore harinya, Ryan sudah berada di rumah ketika Rara baru kembali dari sekolah. Ryan duduk di teras rumah sambil memberi makan kucing peliharaan Rara.
"Halo, Cingu. Apa kabar kamu hari ini?" Rara menyapa kucingnya terlebih dahulu seolah tidak ada Ryan di sana. Perempuan itu mengabaikannya.
"Cingu? Namanya Cingu?"
"Ayo, kita pulang!" Tanpa menghiraukan pertanyaan Ryan, Rara langsung meraih kucingnya yang sedang makan. Namun, dengan cepat Ryan menahan.
"Tunggu! Kamu mengabaikan aku walaupun aku sudah membantu kamu merawat kucing itu?"
Rara mendengkus. Kedua matanya melirik tajam pada Ryan. "Makasih!" ucapnya ketus. Sangat terdengar tidak tulus.
Walaupun terdengar tidak menyenangkan, tetapi Ryan berusaha mengerti dan tidak marah kepada Rara. "Aku mau bicara, boleh duduk sebentar?" pintanya yang membuat tubuh Rara berbalik menghadapnya.
"Mau bicara apa? Nggak usah duduk, bisa kan? Gue nggak mau deket-deket sama orang messum kayak lo."
Kedua bola mata Ryan berotasi diiringi embusan napas penuh rasa frustrasi. Sebisanya dia menahan emosi. Sejelek itukah reputasinya di mata gadis ini?
"Oke. Aku cuma mau nanya ngapain kamu di lokasi syuting saat jam sekolah tadi? Kamu bolos, ya?"
Pertanyaan itu sukses membuat kedua mata Rara terbelalak sempurna. Dia lupa perkataan Mita tentang Ryan yang seorang artis pemula. Mita juga tidak mengingatkannya karena tidak tahu jika Ryan tinggal di sebelah rumah Rara.
"Ehm ... lo salah lihat kali. Gue sekolah, kok." Rara berkilah dengan menunjukkan sikap salah tingkah. Tentu saja Ryan tidak mempercayainya.
"Bohong! Kamu ke lokasi syuting sama temen kamu rambutnya keriting itu, kan? Mana mungkin aku salah. Aku juga tadi ke sekolah dan kamu memang nggak ada di sana."
Rara meneguk saliva. Jika Ryan membeberkan hal itu kepada ibunya. Habislah dia!
"Kamu bolos sekolah, kan?"
"Ssst! Lo bisa diem nggak, sih! Nanti kedengeran sama ibu." Secepat kilat tangan Rara mendarat di mulut Ryan karena suara lelaki itu terdengar begitu lantang. Kepalanya celingukan takut ada keluarganya yang mendengar.
Di balik tangan Rara, bibir Ryan mengulas senyuman tipis. Sepertinya, lelaki itu sudah mempunyai alasan yang bagus untuk bernegosiasi dengan Rara. Ryan yakin jika hal itu akan membuat hubungan mereka akan semakin dekat saja.
"Oke, aku akan diam dan nggak akan bocorin hal itu sama ibu kamu, tapi dengan syarat." Ryan berkata sambil melepaskan tangan Rara dari bibirnya. Tanpa disadari jarak wajah mereka terlalu dekat sehingga Rara bisa merasakan embusan napas Ryan yang menyentuh kulit wajahnya.
Untuk beberapa detik, momen itu terlihat begitu romantis, hingga Rara sadar dan langsung menepis tangan Ryan dengan kasar. Tubuhnya pun kembali tegak, lalu mengusap kepala kucing yang masih digendong dengan tangan satu tangannya. Rara berusaha memenangkan jantungnya yang berdebar tidak biasa.
"Apa syaratnya?" tanya Rara tanpa melihat wajah Ryan.
Seulas senyuman masih melengkung di bibir Ryan. Sambil duduk menopang kaki, lelaki itu terlihat begitu percaya diri. "Aku mau kamu bersikap sopan sama aku. Berhenti menggunakan panggilan 'lo gue'! Dan panggil aku 'abang'!"
Sorotan tajam langsung membidik wajah Ryan. Tentu saja Rara tidak suka dengan syarat yang dia lontarkan. "Gue nggak ma—"
"Bu ...."
"Eh, eh ... oke. Gue setuju!" Rara langsung panik ketika Ryan setengah berteriak memanggil ibunya Rara.
"Masih pake 'gue'. I—"
"Iya. Aku ... aku setuju!"
Ryan tersenyum lebar karena rencananya telah berjalan lancar. Wajah Rara terlihat lucu ketika takut dimarahi ibunya. Walaupun begitu, Ryan merasa sedikit kasihan. Namun, hal itu adalah satu-satunya cara agar Rara tidak lagi jutek terhadapnya.
"Satu lagi! Aku nggak mau denger lagi kamu bilang aku lelaki messum karena aku bukan lelaki seperti itu. Sakit, tau, dikatain kayak gitu!" Bibir Ryan memberenggut pura-pura memelas sambil menyentuh dadanya. Wajah sedihnya terlihat menggelikan di mata Rara. Perempuan itu sampai bergidik karenanya.
...----------------...
...To be continued ...