"Dewa Penghancur"
Kisah ini bermula dari seorang pemuda bernama Zhi Hao, yang sepanjang hidupnya selalu menjadi korban penghinaan dan pelecehan. Hidup di pinggiran masyarakat, Zhi Hao dianggap rendah—baik oleh keluarganya sendiri, lingkungan, maupun rekan-rekan sejawat. Setiap harinya, ia menanggung perlakuan kasar dan direndahkan hingga tubuh dan jiwanya lelah. Semua impian dan harga dirinya hancur, meninggalkan kehampaan mendalam.
Namun, dalam keputusasaan itu, lahir tekad baru. Bukan lagi untuk bertahan atau mencari penerimaan, melainkan untuk membalas dendam dan menghancurkan siapa saja yang pernah merendahkannya. Zhi Hao bertekad meninggalkan semua ketidakberdayaannya dan bersumpah: ia tak akan lagi menjadi orang terhina. Dalam pencarian kekuatan ini, ia menemukan cara untuk mengubah dirinya—tidak hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam jiwa dan sikap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jajajuba, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Aksi Zhi Hao
Fu Tao terpental beberapa langkah mundur, wajahnya menyiratkan kejut yang mendalam seraya keriput ketegangan memenuhi dahinya. Dalam ketidakpercayaan, dia menyaksikan kekuatan mengejutkan dari Zhi Hao, bocah yang datang menolong Wi Lung.
Di sisi lain, Zhi Hao, tidak menyangka bahwa serangannya tidak hanya berhasil menyelamatkan Wi Lung tetapi juga membuat musuh mundur terdorong. "Apakah aku sebegitu kuatnya?" gumamnya, hatinya berdebar kencang.
Di dalam kepala Zhi Hao, Qianlong berkata dengan bangga, "Teknik Dewa Penghancur mana mungkin bisa diadu dengan teknik lain? Pastinya, jauh lebih superior!"
Mendengar kata-kata itu, Zhi Hao menyahut, "Siapakah sebenarnya kamu? Jika kamu memiliki petunjuk untukku, beritahukanlah, aku siap menerima." Namun, tidak ada jawaban yang datang.
Dengan gerak yang sigap dan penuh kewaspadaan, Zhi Hao mendekat ke arah Fu Tao yang masih bingung dengan realitas yang baru saja menampar wajahnya.
Menangkap kesempatan emas ini, Zhi Hao bersiap menguji teknik lainnya. "Teknik Pedang Kilat Tingkat Kedua - Amarah Dewa!"
Sesaat sebelum Zhi Hao melepaskan serangannya, Fu Tao melihat kilat tajam yang menyilaukan menuju padanya, namun tubuhnya tak mampu merespons cukup cepat untuk menghindar.
Bomb!
Detik berikutnya, serangan itu menghantam, memaksa dia bertekuk lutut di tanah.
Udara berdesir dengan sisa-sisa pertempuran sengit. Debu berputar-putar dalam cahaya matahari yang memudar, memperlihatkan sisa-sisa pertempuran antara dua raksasa.
Fu Tao, kepala keluarga Fu Clan yang tangguh, terbaring di tanah, wajahnya mengerut dalam topeng ketidakpercayaan dan rasa sakit. Lengan kanannya, terputus bersih oleh satu serangan cepat, telah hilang, lenyap ke dalam kehampaan seolah ditelan oleh jurang yang lapar.
Di seberang, berdiri Zhi Hao, seorang pemuda yang baru menginjak usia remaja, matanya melebar karena kaget dan sedikit rasa ngeri. Dia tidak pernah membayangkan pedangnya bisa memiliki kekuatan yang begitu dahsyat, kemampuan yang mengerikan untuk melenyapkan daging dan tulang. Dia menurunkan senjatanya, beban tindakannya menimpanya seperti jubah timah.
"Anak Muda, sudah cukup, aku mengaku kalah!" Fu Tao terengah-engah, suaranya serak karena rasa sakit dan permohonan yang putus asa. Dia adalah ahli manipulasi, ahli strategi yang licik, tetapi rencananya yang telah dirancang dengan cermat telah runtuh di hadapannya.
Para prajurit Clan Fu, yang telah terlibat dalam pertempuran putus asa melawan sekutu Zhi Hao, membeku saat melihat kekalahan kepala keluarga mereka. Mereka bergerak untuk membantunya, tetapi Fu Tao mengangkat tangannya, menghentikan mereka dengan tatapan penuh tekad. Dia belum selesai. Dia memiliki satu langkah terakhir, yang putus asa, untuk dimainkan.
Tetapi sebelum dia bisa berbicara, kilatan perak yang menyilaukan menyayat udara. Sebuah sayatan cepat dan tepat, ditujukan ke sisi kanannya yang tidak terlindungi.
Slash!
Fu Tao menjerit kesakitan saat pedang itu merobek dagingnya, mengeluarkan darah.
"Kamu!" dia menggeram, suaranya dipenuhi amarah dan kebencian. Dia menggenggam lukanya dengan tangan kirinya, wajahnya pucat karena terkejut.
"Kamu sudah merajalela, Fu Tao, aku tahu kamu mencoba untuk memainkan drama disini dengan Anak Muda itu sebagai korbannya. kamu pikir aku tidak tahu siapa dirimu yang begitu licik itu." Wi Lung, seorang Patriark yang tua dengan mata setajam pedangnya, melangkah maju, suaranya dingin dan tak tergoyahkan.
Dia telah mengamati pertempuran, indra tajamnya mendeteksi arus tipu daya yang telah ditenun Fu Tao ke dalam pertempuran.
Zhi Hao, yang masih terhuyung-huyung karena peristiwa yang terjadi, merasakan gelombang kelegaan membasahi dirinya. Dia telah terperangkap dalam jaring Skenario, pion dalam permainan mematikan yang diatur oleh seorang manipulator ulung.
"Aku memang kurang berpengalaman," gumam Zhi Hao, suaranya hampir tak terdengar. Dia telah naif, mempercayai penampilan luar dari penyerahan Fu Tao yang seharusnya. Dia telah meremehkan kedalaman kecerdasan pria itu, ambisinya yang kejam.
Wi Lung, dengan gerakan tangannya, memberi isyarat kepada para prajurit Fu Clan untuk mundur. Dia sudah cukup melihat. Pertempuran telah berakhir.
Fu Tao, yang berdarah deras, berusaha berdiri, matanya menyala dengan kebencian. Dia telah dikalahkan, dikalahkan, rencananya yang telah dirancang dengan cermat menjadi abu.
"Kamu akan menyesali ini, Wi Lung," dia mendesis, suaranya berbisik beracun. "Kamu akan menyesali ini."
Wi Lung hanya tersenyum, senyuman dingin dan penuh perhitungan yang tidak mengandung sedikit pun penyesalan. "Mungkin," katanya, suaranya tenang dan terukur. "Tapi untuk saat ini, Clan Fu telah jatuh."
Wi Lung mengayunkan pedangnya lagi, menebas leher Fu Tao untuk mengakhiri semuanya.
Pada saat itu Wi Lung berkata, “Jika kalian tidak menyerah, kalian juga akan bernasib sama dengannya.” jarinya mengarah pada Fu Tao yang tergeletak tak bernyawa.
Semangat mereka, berubah menjadi dilema dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk menyerah. Mereka melempar semua senjata ke tanah.
Halaman klan Wi yang dulunya cerah kini tergeletak dalam reruntuhan, dipenuhi dengan pedang-pedang yang patah dan tubuh-tubuh yang jatuh. Seorang sosok tunggal, Wi Lung, patriark klan Wi, berdiri di tengah kekacauan, wajahnya yang keriput terukir dengan kelelahan dan kemenangan.
“Terima kasih anak muda, kamu sudah membantuku,” kata Wi Lung, suaranya serak, saat ia meletakkan tangan di bahu Zhi Hao, “Meskipun kamu bukan berasal dari Bangsa kami, tapi tingkat kepedulianmu begitu besar.”
“Saya juga berhutang banyak pada Klan Wi yang sudah membantu sejak kedatangan saya kesini,” jawab Zhi Hao, suaranya tenang dan tegas. Ia menolak untuk mengambil kredit atas kemenangan tersebut, mengakui pengorbanan yang dilakukan oleh para pejuang klan Wi.
Sebuah sosok muncul dari bayangan, Wi Dur, sesepuh klan, langkahnya lambat dan hati-hati, didukung oleh tongkatnya. “Patriark, selamat, kamu sudah memenangkan pertempuran ini yang sudah berjalan bertahun-tahun.”
Wi Lung tersenyum, sekilas kebanggaan terlihat di matanya. “Ini berkat Anak Muda ini yang memiliki kekuatan luar biasa. Kalau saja ia tidak memotong tangan Fu Tao, mana mungkin aku bisa membunuhnya.” Ia mengakui peran penting Zhi Hao dalam pertempuran, mengakui bahwa ia hanya menyelesaikan apa yang telah dimulai oleh Zhi Hao.
Zhi Hao hanya tersenyum, tidak dapat menemukan kata-kata untuk mengungkapkan rasa syukurnya. Beban pertempuran, kehilangan nyawa, dan tanggung jawab yang ia bawa terasa berat di hatinya.
“Ayo kita lakukan pembersihan,” perintah Wi Lung, suaranya kembali mendapatkan otoritas. “Kumpulkan semua mayat yang telah jatuh.” Ia berbalik kepada para pejuang klan Wi yang tersisa, wajah mereka terukir dengan kesedihan dan kelelahan.
Halaman itu terdiam, hanya dipenuhi dengan keluhan para yang terluka dan desiran daun di angin. Pertempuran mungkin telah berakhir, tetapi bekas luka yang ditinggalkannya akan tetap ada, sebagai bukti pengorbanan yang dilakukan dan ikatan yang terjalin di tengah kesulitan.