Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Senyum Penuh Arti
Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, hari ini Raina diizinkan pulang. Kondisi kesehatannya sudah membaik. Bahkan, lemasnya pun sudah banyak berkurang. Namun, luka hati masih tetap menganga. Terlebih saat dirinya kembali menginjakkan kaki di kamar yang kemarin menjadi saksi bisu atas tangisnya.
Suara langkah Nero yang ada di belakangnya, lantas bunyi pintu yang menutup, ibarat sirine yang menandakan terjadinya bencana. Sangat mengerikan.
Ya, dua hari yang penuh dengan sikap manis telah berakhir. Di rumah megah ini tak ada Yeni, tak ada Raksa, tak ada pula alasan bagi Nero untuk berpura-pura. Pasti dia akan bersikap angkuh dan kejam seperti sebelumnya.
"Jangan bertingkah bodoh lagi! Aku tidak akan memaafkan Raksa jika kamu mati," ucap Nero dengan sinis. Itu pun sambil melewati Raina yang baru saja duduk di tepi ranjang.
"Maaf." Satu kata lirih terucap dari bibir Raina.
"Tidur sana! Aku tidak punya waktu lagi untuk berjaga di rumah sakit."
"Baik."
Menurut. Hanya menurut yang bisa Raina lakukan. Setidaknya, itulah yang bisa meredam emosi Nero.
Tanpa memedulikan Raina yang mulai berbaring di ranjang, Nero pergi ke kamar mandi.
Sembari menatap pintu yang kembali menutup, Raina mengembuskan napas panjang. Entah sampai kapan semua itu akan berakhir. Sekilas Raina bermimpi suatu saat hati Nero akan melunak. Kalaupun tak cinta, setidaknya bisa sedikit menerima kehadirannya. Namun, sesaat kemudian Raina tersadar bahwa itu hampir mustahil. Siapa dirinya, sampai mampu membuat Nero luluh? Cantik tidak, kaya tidak, pintar pun tidak, mana mungkin Nero akan mempertimbangkan dia?
"Kenapa aku masih bodoh, bermimpi setinggi itu, memangnya pantas?" batin Raina, menertawakan dirinya sendiri yang menyimpan cinta buta. Benar-benar gila.
Cukup lama berbantahan dengan perasaannya sendiri, pikiran Raina kembali tersadar pada sekitar. Nero sudah keluar dari kamar mandi. Rupanya lelaki itu baru saja membersihkan diri, terbukti dari rambutnya yang basah dan setelan baju formal yang kini berganti celana selutut. Ahh, bukan rambut saja yang basah, melainkan juga wajah dan separuh.
Ya, separuh tubuh. Nero membiarkan dada bidang dan perut sixpack-nya terpampang tanpa sehelai benang. Tak dipungkiri, Raina juga menatap ke arah sana. Meski hanya sekejap karena langsung berpaling, tetapi jantungnya mendadak berdetak cepat, juga seolah ada hawa panas dingin yang merambat tanpa tahu tempat.
Memang, ini adalah pertama kalinya Raina melihat dada dan perut Nero secara jelas. Waktu malam itu, tubuh Nero tertutup selimut, menyisakan leher dan kepala saja. Saat lelaki itu bangkit dan mengenakan kembali pakaian, Raina memejam takut, tak berani mengintip sedikit pun. Maklum, sebelumnya dia tak pernah mengenal cinta atau dekat dengan lelaki, apalagi yang menjurus pada hal vul-gar.
"Udah nggak ngelihat, tapi rasanya kok tetap gini ya," batin Raina sembari beralih posisi dan memunggungi Nero.
Dia tak mau lagi melihat dada bidang tadi, yang mungkin itulah definisi tubuh sempurna dan menggoda. Sekejap menatap saja bayangannya seperti melekat di ingatan, apalagi menatap sampai berulang-ulang. Lebih parah lagi nanti.
Sementara itu, Nero masih asyik berdiri di depan cermin. Sesekali kali dia menyisir rambut basahnya dengan jemari, di sela-sela aktivitasnya mengenakan lotion dan parfume.
Namun selain itu, Nero juga sempat beberapa kali melirik Raina lewat pantulan cermin. Wajah canggung dan salah tingkah barusan, sedikit pun tak terlewat dari pandangan Nero, walau kini yang terlihat hanya punggung dan rambut panjangnya.
Masih dengan lirikan yang tertuju pada Raina, Nero mengulas senyum penuh arti. Sebuah senyum yang tak pudar meski dirinya sudah beralih dari depan cermin. Bahkan, sampai dirinya sudah mengenakan baju dan menyulut rokok di balkon kamar, senyum itu masih sesekali tersungging di bibirnya.
Barulah ketika ponsel di tangannya bergetar, senyum itu lenyap beserta pikiran-pikiran yang berkaitan dengannya.
Ava, satu nama yang terpampang dalam kolom pengirim pesan.
'Miss you, Nero. Are you still there for long time?'
Nero tak langsung membalas pesan tersebut, justru mengisap kuat rokoknya sambil menatap awan yang berarak di atas sana.
Bersambung...