Cerita ini mengikuti kehidupan Keisha, seorang remaja Gen Z yang sedang menghadapi berbagai tantangan dalam hidupnya. Ia terjebak di antara cinta, persahabatan, dan harapan keluarganya untuk masa depan yang lebih baik. Dengan karakter yang relatable dan situasi yang sering dihadapi oleh generasi muda saat ini, kisah ini menggambarkan perjalanan Keisha dalam menemukan jati diri dan pilihan hidup yang akan membentuk masa depannya. Ditemani sahabatnya, Naya, dan dua cowok yang terlibat dalam hidupnya, Bimo dan Dimas, Keisha harus berjuang untuk menemukan kebahagiaan sejati di tengah kebisingan dunia modern yang dipenuhi tekanan dari berbagai sisi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasyaaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjauh
Hari-hari setelah undangan Aria ke acara di rumahnya berlalu dengan cepat, tetapi suasana hati Keisha tidak membaik. Dia merasa seolah semua yang pernah dia bangun bersama Raka mulai runtuh. Raka semakin sering terlihat bersama Aria, sementara Keisha merasakan dirinya terpinggirkan. Bahkan, dalam beberapa kesempatan, dia mendapati Raka dan Aria tertawa bersama di sudut sekolah, dan itu membuat hatinya semakin sakit.
Pada satu siang, di kantin, Keisha duduk sendirian. Naya dan Dimas berusaha menghiburnya, tetapi suasana hati Keisha begitu suram.
“Keisha, kau harus berbicara dengan Raka. Ini tidak baik untukmu,” Naya berkata dengan khawatir. “Dia jelas tidak menyadari betapa perasaanku terhadapmu.”
“Aku sudah mencoba, Naya. Tapi setiap kali aku mengungkapkan perasaanku, seolah-olah dia tidak mendengarkan. Dia hanya melihat Aria,” balas Keisha, suaranya penuh kepedihan.
Dimas menatap Keisha. “Tapi kau tidak bisa terus menyakiti dirimu sendiri. Kadang-kadang, memberi jarak itu yang terbaik.”
Keisha mengangguk, merasa lelah. “Mungkin kamu benar. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.” Dia menatap ke arah Raka dan Aria yang sedang tertawa, dan hatinya teriris. “Aku harus pergi.”
Keisha berdiri, meninggalkan kantin tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan. Dia merasa sangat terluka, tetapi di saat bersamaan, dia merasa perlu untuk menjauh dari semua ini.
---
Di rumah, Keisha duduk di kamarnya, merenungkan semua yang terjadi. Dia mematikan ponselnya, berharap bisa menghindari pesan-pesan dari Raka. Dia tidak ingin mendengar alasan atau penjelasan yang hanya akan membuatnya semakin sakit hati.
Beberapa hari kemudian, saat Raka menghubunginya, Keisha memilih untuk tidak menjawab. Raka mulai merasa cemas. Dia merasa ada yang salah, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
“Keisha, kenapa kamu tidak menjawab?” Raka berkata pada diri sendiri sambil melihat layar ponselnya yang sepi. “Apa yang terjadi padamu?”
Dia memutuskan untuk berbicara dengan Naya dan Dimas tentang situasi ini. Dalam pertemuan itu, Raka mengeluh tentang ketidakhadiran Keisha.
“Naya, Dimas, aku khawatir. Keisha sudah beberapa hari ini tidak menjawab pesan-pesanku,” kata Raka dengan nada cemas. “Kau tahu kan, dia itu sangat berarti bagiku. Tapi sekarang, sepertinya dia menghindar.”
Dimas mengangguk. “Mungkin ada yang salah. Kami sempat berbicara, dan dia merasa terabaikan. Sepertinya Aria terlalu banyak mengambil perhatianmu.”
Naya menambahkan, “Raka, aku rasa kamu harus mencari cara untuk berbicara dengan Keisha. Jika kamu terus membiarkannya seperti ini, hubungan kalian akan semakin retak.”
Raka menghela napas dalam-dalam. “Aku tidak ingin kehilangan Keisha. Tapi bagaimana caranya? Dia tidak mau berbicara denganku.”
“Cobalah untuk mendatanginya secara langsung. Mungkin itu bisa membuka jalur komunikasi,” saran Dimas.
Tanpa ragu, Raka memutuskan untuk mendatangi rumah Keisha. Dia merasa harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.
---
Di sisi lain, Keisha menghabiskan waktu bersendirian di rumah, mencoba menemukan ketenangan. Namun, ketika mendengar ketukan di pintu, jantungnya berdebar. Dia tahu siapa yang ada di luar. Dengan enggan, dia membuka pintu.
“Raka?” Keisha terkejut melihatnya berdiri di depan pintunya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku perlu berbicara denganmu. Ini penting,” jawab Raka, terlihat gelisah. “Kau tidak menjawab pesanku. Aku khawatir.”
Keisha tidak tahu harus berkata apa. Dia merasa bingung antara ingin mendengarkan Raka dan keinginannya untuk melindungi hatinya. “Aku… aku tidak tahu jika aku siap untuk berbicara.”
“Tidak, kita harus. Aku tidak ingin kita terputus seperti ini,” Raka memohon, suaranya penuh harap.
“Apa kau bahkan menyadari bahwa aku merasa tersisih? Kau lebih memilih Aria ketimbang aku,” Keisha meluapkan perasaannya, matanya mulai berkaca-kaca.
“Keisha, itu tidak benar! Aku butuh waktu untuk mengenal Aria, tapi kamu tetap teman terbaikku!” Raka berkata, berusaha menjelaskan. “Aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Namun, kau sudah melakukannya,” Keisha menjawab, nada suaranya rendah. “Setiap kali kau bersama Aria, aku merasa terpinggirkan. Dan sekarang, aku merasa lebih baik menjauh.”
Raka terlihat bingung dan frustrasi. “Keisha, aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Kami bisa memperbaikinya. Beri aku kesempatan!”
“Kesempatan untuk apa? Agar kau bisa kembali ke Aria dan melupakan aku? Aku tidak mau hidup seperti itu,” Keisha bersikeras.
“Bukan itu yang aku inginkan! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu,” Raka menjawab, suara hatinya pecah.
Keisha menatap Raka dalam-dalam, hatinya bergejolak. “Raka, aku butuh waktu untuk diriku sendiri. Aku tidak ingin terjebak dalam persaingan ini. Mungkin kita perlu jarak.”
Raka terdiam, merasa hatinya hancur. “Keisha, jangan. Aku tidak ingin kehilanganmu.”
“Tapi aku tidak ingin terus merasa sakit,” Keisha berkata, air matanya jatuh. “Aku akan pergi dari sini dan mencoba untuk tidak berpikir tentang semuanya.”
Tanpa menunggu jawaban Raka, Keisha menutup pintu, meninggalkan Raka di luar dengan perasaan patah hati. Dalam hatinya, dia merasa keputusan ini adalah yang terbaik, meskipun itu berarti melukai orang yang paling dia sayangi.
Raka berdiri terpaku, hatinya terasa remuk. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari cara untuk memperbaiki semuanya, meskipun itu tampak semakin sulit dengan kemunculan Aria yang terus mengganggu hubungan mereka.
Dalam keheningan malam, Raka merasakan ketidakpastian. Apakah Aria benar-benar berharga untuk mengorbankan persahabatannya dengan Keisha? Dia merasa bingung, dan untuk pertama kalinya, dia meragukan pilihannya.
---
Sementara itu, Keisha berusaha untuk mengalihkan pikirannya dengan aktivitas baru. Dia mulai lebih sering berkumpul dengan Alex, teman laki-laki barunya, yang memberinya dukungan emosional. Setiap kali mereka bertemu, Alex bisa membuat Keisha tertawa dan merasa lebih baik tentang dirinya sendiri. Keisha merasa nyaman dengan kehadiran Alex, tetapi dia juga menyadari bahwa dia tidak ingin berlarut-larut dalam hubungan baru saat perasaannya terhadap Raka belum sepenuhnya teratasi.
---
Hari berikutnya, di sekolah, Keisha merasakan kehadiran Raka dan Aria di sekitar, tetapi dia mencoba untuk tetap fokus pada dirinya sendiri. Saat Raka berjalan menuju grupnya, dia merasa hatinya berdebar. Dia harus bisa mengatasi semua ini.
“Keisha!” suara Raka memanggilnya, tetapi Keisha mengabaikannya dan pergi.
Aria melihat Raka dengan penasaran. “Kenapa dia menghindar? Apa yang terjadi di antara kalian?”
Raka menghela napas berat. “Dia merasa terabaikan. Aku harus berusaha memperbaiki semuanya.”
“Jangan khawatir, Raka. Aku di sini untuk mendukungmu,” Aria menjawab dengan senyuman manis, tetapi dalam hati, dia tahu bahwa persaingan ini baru saja dimulai.
Keisha berusaha mencari jalan keluar dari situasi ini, tetapi dia tahu bahwa langkah berikutnya akan menentukan arah hidupnya. Ketika kehadiran Alex semakin mendekat, dia merasa seolah-olah dia harus memilih antara dua dunia—dunia yang lama bersama Raka dan dunia baru yang mulai terbuka untuknya.
Dengan segala perasaan yang campur aduk, Keisha bersumpah untuk menemukan kebahagiaannya sendiri, terlepas dari apa yang terjadi dengan Raka dan Aria.
---
Hari-hari berlalu, dan Keisha merasa semakin nyaman dengan Alex. Setiap kali mereka bersama, dia bisa merasakan tekanan yang selama ini menghantuinya mulai berkurang. Di kantin sekolah, mereka duduk berdua, berbagi cerita dan tawa.
“Jadi, Keisha, ada rencana untuk akhir pekan?” tanya Alex sambil menggigit burgernya. “Mungkin kita bisa pergi ke bioskop atau sesuatu.”
Keisha tersenyum. “Sepertinya itu ide yang bagus! Aku sudah lama tidak menonton film. Apa ada film baru yang menarik?”
“Banyak! Tapi aku lebih suka jika kita menonton film horor. Aku ingin melihat reaksimu saat menonton,” jawab Alex dengan nada menggoda.
Keisha tertawa. “Horor? Hmm, aku mungkin akan menjerit, tetapi itu bisa jadi menyenangkan!”
Saat mereka tertawa, Raka masuk ke kantin dengan Aria di sampingnya. Keisha merasa jantungnya berdebar, tetapi dia berusaha untuk tidak mengalihkan pandangannya. Dia ingin menunjukkan bahwa dia baik-baik saja, bahkan jika Raka tidak melihat ke arahnya.
“Lihat, itu Keisha dan Alex,” kata Aria sambil menyenggol Raka. “Kau tidak ingin bicara dengan Keisha?”
Raka menatap Keisha, tetapi Keisha dengan cepat membalikkan tubuhnya, berusaha tetap fokus pada obrolan dengan Alex. “Jadi, bagaimana jika kita membeli popcorn juga? Itu harus ada untuk menonton film horor,” ucapnya, mengalihkan perhatian Alex.
“Keisha, tunggu!” Raka memanggil, tetapi Keisha tidak menghiraukannya.
“Sepertinya mereka tidak seharusnya mengganggu kita, kan?” Alex berkata dengan nada bercanda, menyadari ketegangan di sekitar mereka.
Keisha hanya menggelengkan kepala. “Aku tidak ingin membahas mereka. Yang penting, kita harus bersenang-senang.”
Setelah mereka selesai makan, Alex mengajak Keisha berjalan-jalan di taman dekat sekolah. Saat mereka duduk di bangku, Alex melihat Keisha yang terlihat lebih santai.
“Keisha, aku senang kau mulai terbuka. Apa yang kau rasakan tentang Raka?” tanya Alex, sedikit serius.
Keisha menghela napas. “Aku bingung. Aku ingin melupakan semuanya, tetapi ada saat-saat aku masih merasa sakit. Sepertinya Raka lebih memilih Aria sekarang.”
“Dia tidak layak untukmu jika dia memperlakukanmu seperti itu. Kamu seharusnya menjadi prioritasnya,” balas Alex, menatap Keisha dengan perhatian.
“Aku tahu, tetapi kita sudah berteman lama. Rasanya sulit untuk melupakan semua kenangan kita,” jawab Keisha, merenung.
Alex tersenyum lembut. “Kadang kita harus melepaskan sesuatu untuk mendapatkan yang lebih baik. Dan aku di sini jika kamu butuh teman.”
Keisha merasa hangat di dalam hatinya. “Terima kasih, Alex. Kau selalu bisa membuatku merasa lebih baik.”
“Selama kita bersenang-senang, aku tidak akan membiarkanmu merasa sendirian,” kata Alex, sedikit bercanda. “Tapi jika Raka datang lagi, beritahu aku. Aku akan menjagamu.”
Keisha tertawa. “Berani sekali! Tapi aku rasa aku sudah cukup baik tanpa drama itu untuk sementara.”
---
Di sisi lain, Raka merasakan kesedihan mendalam saat melihat Keisha dengan Alex. “Apa kau yakin tidak ingin membicarakan ini dengan Keisha?” tanya Aria ketika mereka berjalan menjauh.
“Aku sudah mencoba, tetapi dia menghindariku,” Raka menjawab frustrasi. “Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi.”
“Kenapa tidak kau katakan saja padanya betapa pentingnya dia bagimu?” saran Aria.
Raka menggelengkan kepala. “Dia sudah terlalu jauh. Mungkin aku sudah kehilangan dia.”
Aria menjelaskan, “Atau mungkin dia hanya butuh waktu. Cobalah untuk lebih peka terhadap perasaannya.”
“Dia berhak merasakan apa pun yang dia inginkan, tapi aku tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut,” Raka berkata penuh tekad.
Kembali ke tempat Keisha dan Alex, suasana hati Keisha semakin cerah. Saat Alex membuat lelucon, Keisha tidak bisa menahan tawanya. “Kau tahu, mungkin aku seharusnya memanggilmu penghiburku,” katanya sambil tersenyum.
“Sebagai penghibur, aku harus memastikan kau tidak merindukan Raka,” jawab Alex, menepuk bahunya.
Keisha menundukkan kepala. “Raka dan Aria terlihat bahagia. Aku harus menerima kenyataan ini.”
“Jangan berpikir seperti itu. Dia harus tahu kalau kamu jauh lebih berharga,” Alex berusaha menguatkan Keisha. “Kau pantas mendapatkan yang lebih baik.”
“Terima kasih, Alex. Kadang aku merasa bersalah, tetapi di sisi lain, aku merasa lebih bebas tanpa drama itu,” jawab Keisha, mencoba untuk memahami perasaannya.
---
Hari-hari berlalu, dan Raka merasa semakin frustrasi. Dia berusaha mencari cara untuk berbicara dengan Keisha, tetapi semua upayanya selalu gagal. Dia melihat Keisha semakin dekat dengan Alex, dan perasaan cemburunya semakin menyiksa.
“Raka, kau tidak bisa terus membiarkan ini berlarut-larut. Bicaralah dengan Keisha!” Aria menasihati.
“Dia tidak mau mendengarkanku. Aku sudah berusaha, tapi dia terus menjauh,” Raka mengakui.
“Jika kau tidak melakukan sesuatu, dia mungkin tidak akan ada di sisimu lagi,” Aria berkata tegas. “Dia berhak untuk bahagia.”
Sementara itu, Keisha merasa semakin kuat berkat dukungan Alex. Dia mulai berani mengambil langkah baru dalam hidupnya, dan itu membuatnya merasa hidup kembali. Namun, di sudut hatinya, masih ada kerinduan untuk hubungan yang pernah ia miliki dengan Raka, meskipun ia tahu bahwa mengabaikannya adalah hal terbaik untuk saat ini.
---
Satu sore, saat Keisha dan Alex sedang berjalan-jalan, mereka tidak menyadari Raka yang memperhatikan mereka dari kejauhan. Raka merasakan hatinya sakit, tetapi dia juga merasa bahwa jika Keisha bahagia, itu adalah yang terpenting.
“Keisha!” Raka akhirnya berteriak, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghampiri mereka.
Keisha berbalik, dan detak jantungnya mulai berpacu. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan ketika melihat Raka. “Raka,” jawabnya dengan nada yang datar.
“Bisa kita bicara sebentar?” Raka meminta, berharap dia bisa mengubah keadaan.
“Aku tidak tahu, Raka. Aku sedang bersama Alex,” Keisha menjawab, menatap Alex.
“Ini penting. Aku hanya ingin menjelaskan,” Raka berkata, menahan rasa cemas.
Alex menatap Raka. “Mungkin kita bisa bicara di lain waktu. Keisha tidak ingin terjebak dalam drama sekarang.”
“Tidak, ini juga melibatkan Keisha. Tolong, beri aku kesempatan,” Raka memohon, menatap Keisha dengan penuh harap.
Keisha melihat ke arah Raka dan merasa bingung. Dia tahu bahwa mereka perlu berbicara, tetapi saat ini, dia tidak ingin mengganggu kebahagiaannya yang baru ditemukan. “Raka, kita bisa bicara nanti. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”
Raka merasa hatinya hancur, tetapi dia mengangguk. “Baiklah, tapi jangan terus menjauh. Aku akan selalu menunggu.”
Keisha mengangguk perlahan, tetapi di dalam hatinya, dia merasakan pertarungan antara harapan dan ketidakpastian. Saat dia melanjutkan berjalan bersama Alex, dia merasa campur aduk antara rasa sakit yang ditinggalkan oleh Raka dan harapan baru yang datang bersamaan dengan kehadiran Alex.