Undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah terpajang dalam kamar, persiapan hampir rampung. Tapi, pernikahan yang sudah didepan mata, lenyap seketika.
Sebuah fitnah, yang membuat hidup Maya jatuh, kedalam jurang yang dalam. Anak dalam kandungan tidak diakui dan dia campakkan begitu saja. Bahkan, kursi pengantin yang menjadi miliknya, diganti oleh orang lain.
Bagaimana, Maya menjalani hidup? Apalagi, hadirnya malaikat kecil.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Mindset
Ruangan yang didominasi warna putih dan bau obat yang samar di indra penciuman. Bubur yang masih panas ditemani, sebutir telur rebus diatasnya. Segelas susu hangat dan potongan buah, ikut melengkapi nampan diatas meja.
Maya tampak berbeda hari ini. Lebih banyak senyum, seolah tidak memiliki beban berat dipundaknya. Jarum infus, masih menancap diurat nadinya, dengan satu tangan, ia menikmati sarapan.
"Suster, kapan bisa saya pulang?"
"Tunggu dokter, Kak. Mungkin, siang."
Sepiring bubur, tinggal menyisakan setengah, begitu juga dengan segelas susu. Didekat bantal, ada sebuah buku tulis, lengkap dengan pulpen yang terselip di dalam.
Buku yang diberikan Ansel padanya. Dia berkata, sebaiknya Maya mencatat hal-hal yang perlu ia lakukan, sekarang hingga nanti. Rencana, yang perlu ia susun, untuk masa depan dua malaikatnya. Mulai dari keuangan, rencana tempat tinggal hingga masa depan yang entah bagaimana nanti.
Hal sekecil ini, membuat Maya merasa bersemangat. Bahkan buku catatan yang baru diterimanya kemarin, sudah terisi hampir setengah. Mungkin, dia perlu menambah beberapa buku lagi.
Dengan hal ini, Maya juga antusias untuk menambah ide-ide dalam mencari pemasukan. Ia perlu, merubah mindset nya selama ini.
"Sudah sarapan?"
"Baru selesai." Maya menunjukkan piringnya, pada Ansel yang baru tiba lengkap dengan jas putihnya.
"Ini untukmu." Buku bacaan bergambar ibu hamil dan anak. Ansel memberikan tiga buah dan satu buku catatan yang cukup tebal. "Pelajari. Kau kan mahasiswa, jadi masih harus belajar."
"Baik, dokter. Terima kasih."
Hubungan pertemanan yang semakin erat. Perhatian Ansel layaknya seorang kakak pada adiknya. Begitu, kata Ansel saat memberikan buku dan makanan, pada Maya. Dan wanita itu, yang tidak mau berutang budi, terpaksa menerimanya, dengan catatan sebagai hutang, yang harus ia lunasi, suatu hari nanti.
"Aku ada jadwal operasi sampai siang. Kau harus patuh dan minum obat. Di tas itu, aku membawa bajumu yang sudah dicuci."
Yah, seperti biasa. Ansel akan berceramah panjang lebar, sebelum pergi. Ia juga akan berpamitan pada keponakan kecilnya, dengan mengelus perut Maya.
"Paman, pergi dulu. Jangan nakal, ya!"
Semua piring diatas nampan, sudah kosong. Segelas susu hangat, jadi penutup. Maya membaca judul buku, yang baru saja diterimanya. Sembari bersandar, ia membaca buku pertama. Buku tentang hal-hal yang harus ia lakukan, di tri semester kehamilannya. Ia mencatat hal penting dari buku tersebut, agar tidak melupakannya.
"Selamat pagi."
Maya menoleh. Dokter cantik, yang memeriksa kehamilannya dari kemarin. Sosoknya yang ramah dan juga lembut. Ia memberikan banyak wejangan padanya.
"Sudah sarapan?"
"Sudah dokter."
Sang dokter menempelkan stetoskop diperut Maya. Ia juga memeriksa denyut nadi.
"Sus, bisa tinggalkan kami?" pinta dokter Marsya pada tiga asisten dibelakangnya.
"Baik, dokter."
Maya memiliki firasat buruk. Apa terjadi sesuatu pada bayinya? Kenapa dokter ini, meminta untuk bicara berdua dengannya?
"Ada apa, dokter? Apa ada sesuatu dengan bayiku?"
"Maaf, Nona. Aku hanya ingin memastikan. Apa Anda mantan tunangan presdir Zamar Abidsatya?"
Deg. Ternyata, Dokter ini, hanya ingin menanyakan status dirinya.
"Benar. Aku Maya, mantan tunangannya. Tapi, kenapa dokter menanyakan hal pribadi?"
"Maaf. Aku hanya ingin memberikan beberapa saran, demi kebaikan Anda dan dokter Ansel. Di rumah sakit, sudah banyak desas desus tentang Anda. Meski, mereka tidak yakin. Tapi, mulut yang sudah terlanjur berucap, tidak bisa dikendalikan dengan mudah."
"Maksud, dokter?"
"Nona sedang hamil sekarang, tentu akan banyak tanda tanya dihati mereka. Rumah sakit ini, milik keluarga Abram, istri dari presdir Zamar. Anda mesti tahu, kemana arah pembicaraan saya."
Maya membisu, dengan pikiran yang sudah menebak.
"Jadi, apa saran dokter?"
"Tolong jauhi, dokter Ansel. Dan sebaiknya, Anda melakukan pemeriksaan kehamilan di klinik atau rumah sakit lain. Maaf, jangan tersinggung. Anda tahu pasti, bagaimana pikiran orang-orang tentang kehamilan Anda, yang pernah berstatus sebagai tunangan. Hadirnya, dokter Ansel bersama Anda, akan berdampak buruk padanya. Tolong maafkan saya, harus mengatakan ini."
"Tidak apa. Dokter memang benar. Kalau begitu, tolong beri tahu, klinik atau rumah sakit, yang tidak dikelola oleh dua keluarga ini."
Dokter Marsya memberikan catatan dan resep obat kepada Maya. Ia juga meminta maaf, karena terlalu ikut campur. Tapi, ia merasa ini lebih baik, untuk mengatakannya secara langsung. Daripada berspekulasi, hingga menimbulkan fitnah.
"Nona, sudah bisa keluar siang nanti. Sebagai, permintaan maaf, saya akan meminta para petugas untuk tidak membicarakan ini lagi."
"Terima kasih, banyak dokter."
Salah satu perawat, masuk untuk melepaskan infus. Setelah dokter Marsya pergi, Maya kembali tidak bersemangat. Buku yang baru satu halaman ia baca, kini tergeletak begitu saja.
Ada benarnya, dokter berbicara seperti itu. Ia hamil, tanpa status jelas. Apalagi, Zamar telah menikah dengan orang lain. Ansel yang tiba-tiba hadir, tentu bisa berdampak padanya.
Maya bangkit, memungut semua buku diatas bed, memasukkan dalam tas. Ia mengambil pakaian yang dibawa Ansel untuknya. Mengganti, sebelum pergi.
Tapi, bagaimana ia akan menjauhi Ansel? Pria yang sudah banyak membantunya selama ini. Pergi begitu saja, itu hal yang tidak benar. Utang budi yang menggunung, tidak mungkin ia tak membalasnya.
Maya mengirim pesan singkat, agar pria itu tidak mencarinya. Ia harus pulang dan berbenah. Rencana ia susun, akan ia jalankan. Masalah Ansel, ia cukup menjauhinya ditempat umum. Bukan meninggalkannya.
Dengan satu tangan, Maya Menjinjing tasnya keluar. Wajahnya, tertutupi masker, dengan rambut tergerai panjang. Kenyataan, bahwa rumah sakit ini milik keluarga Sandra. Ia tidak mau mengambil resiko, dengan bertemu orang-orang yang mengenalinya.
Ia sudah seperti seorang buronan. Bersembunyi dan menjauh dari lingkungannya. Seolah pernah berbuat kesalahan besar, yang merugikan banyak orang. Padahal, kesalahannya hanyalah jatuh cinta pada orang yang salah dan tak tergapai. Selama ini, ia berusaha untuk mensejajarkan dirinya dengan Zamar. Mungkin gelar sarjana, dibelakang namanya, bisa membuatnya berdiri dengan layak disamping Zamar. Namun, semuanya sudah hilang dalam sekejap.
Ojek online, mengantar Maya menuju terminal bus. Ia menikmati perjalanan ini, dengan memperhatikan semua keramaian hingga sudut jalan. Hiruk pikuk ini, tidak ada dipantai. Disana, hanya ada ketenangan, yang membuatnya selalu teringat akan masa suram.
Kadang rasa tenang, justru membuat kesedihan dan terpuruk. Sebab, ketenangan akan mengingatkannya pada masa lalu.
Maya mengambil posisi duduk dekat jendela. Memperhatikan, bus-bus lain yang terparkir. Ada juga para penumpang, dengan tujuan berbeda, yang mulai menaikki bus. Disana, mereka berpamitan satu sama lain. Berpelukan, seolah tidak akan bertemu lagi. Maya pergi tanpa diantar, oleh siapapun. Tidak ada yang memeluk atau melambaikan tangan untuknya. Maya hanya berpamitan pada kota yang menjadi tempat tinggal, sekaligus kenangan untuknya. Ia juga berpamitan dalam hati, untuk seseorang yang telah menorehkan luka.
🍋 Bersambung
karya yg sungguh bagus.
sebagai orangtua memang hrs bijak menyikapi pilihan anak
tidak seperti ibunya Za dan ibunya Sandra
tanpa mrk sadari, kedua orgtua tsb sdh merusak mental dan karakter anak
sy Tidak menyalakan sepenuhnya Za
mungkin klw kita berada diposisi Za akan mengalami hal yg sama
Buat May,hrs juga bijaksana,dan mengalahkan ego
di bab ini sy suka peran Kel.dr.Ansel.
Terimakasih Thor,sy suka dgn karyamu
banyak pesan moral yg Thor sampaikan.
Terimakasih.👍👍❤️