Cintanya pada almarhumah ibu membuat dendam tersendiri pada ayah kandungnya membuatnya samam sekali tidak percaya akan adanya cinta. Baginya wanita adalah sosok makhluk yang begitu merepotkan dan patut untuk di singkirkan jauh dalam kehidupannya.
Suatu ketika dirinya bertemu dengan seorang gadis namun sayangnya gadis tersebut adalah kekasih kakaknya. Kakak yang selalu serius dalam segala hal dan kesalah pahaman terjadi hingga akhirnya.........
KONFLIK, Harap SKIP jika tidak biasa dengan KONFLIK.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Tanda tanya.
Bang Rama melihat penampilan barunya pada cermin di sebuah salon ternama. Kumis dan jambang sudah tidak menghias wajahnya, rambut pun sudah di cukur rapi.
"Ganteng begini, wanita mana yang tidak akan terpikat. Pesonaku ini memang mengerikan." Gumam Bang Rama memuji dirinya sendiri.
Petugas salon terkikik geli mendengar ocehan seorang pria gagah yang seratus delapan puluh derajat begitu berbeda dengan penampilan awal tadi.
Tak lama Nadila keluar dari sebuah ruangan. Bang Rama yang sedang membenahi jambul kebanggaannya sampai ternganga melihat dari cermin kemudian menoleh ke belakang.
"Masya Allah." Gumamnya kemudian dirinya menunduk hingga salah tingkah.
Nadila yang tidak terbiasa memakai rok sebatas lutut pun akhirnya ikut salah tingkah.
"Bagaimana, Om??" Tanya Nadila masih merasa risih.
"Eheem.." Bang Rama berdehem melonggarkan jalan nafasnya yang terasa tercekat. "Lumayan." Jawab Bang Rama singkat.
"Lumayan bagus atau lumayan buruk?" Tanya Nadila lagi.
"Can_tik, bajunya." Bang Rama pun mengalihkan pandangannya dengan kilas senyum tipis.
:
"Oomm.. sudah..!! Nanti kita di jebloskan ke penjara sama yang punya toko baju ini. Kalaupun aku memohon, lima tahun pun saya tidak bisa membayar semua harga baju ini." Pekik Nadila panik saat Bang Rama membawanya ke sebuah butik ternama di kota. Ram's store dan merk sandal serta sepatu dengan brand Qhi_ma.
"Nggak apa-apa, kalau mereka berani memenjarakanmu, akan saya patahkan lehernya." Kata Bang Rama.
"Saya paham Om ini preman pasar, tapi tolong jangan menyusahkan orang. Mereka yang ada disini juga untuk bekerja."
Bang Rama mengusap wajahnya. Beberapa saat yang lalu Nadila mengatakan bahwa dirinya adalah seorang gelandangan, kini dirinya bisa berubah menjadi preman hanya dalam hitungan jam.
"Ibu.. kalau ibu suka silakan ambil saja." Ucap salah seorang pramuniaga dengan sopan.
"Tuh kan, ini semua karena wajah Om Rama tidak welcome pada semua orang. Lama-lama toko ini jadi bangkrut." Nadila pun keluar dari toko dengan wajah kesal sampai akhirnya seorang pramuniaga pria mengejar dan menghampiri Nadila.
"Ibuuu.. mohon ambil bajunya. Kalau bisa satu toko ini ibu borong. Kalau sampai ibu tidak ambil barang disini, kami semua bisa kena SP dari pemilik butik."
"Oohh begitu, apa butik ini sedang sedekah?" Tanya Nadila.
"Benar Bu. Hanya untuk pemilik nama Dila."
"Oohh.. kalau begitu bukan saya targetnya. Sebab nama asli saya Arnadilan." Jawab gadis itu sambil menunjukan KTPnya pada pramuniaga.
Bang Rama ikut meliriknya, ternyata usia Nadila masih delapan belas tahun dan nama yang tertera pada KTP memang sungguh ARNADILAN. Pramuniaga tersebut tersenyum menahan tangis bingung sendiri menjawab.
"Tidak apa-apa ibu. Ibu adalah pembeli ke seratus untuk hari ini." Sambar salah seorang pramuniaga wanita.
Bang Rama menyentuh pundak 'gadis' itu. "Kamu ambil saja baju dan sandalnya. Daripada mereka di gorok pemiliknya."
Mendengar itu semua, Arnadilan mengangguk dan segera mengambil pakaian tersebut.
:
Bang Rama masih belum seratus persen bisa memahami gadis di sampingnya itu.
"Kenapa kamu memakai nama yang berbeda?? Sekarang siapa saya harus memanggil namamu??"
"Dilan saja." Jawab Dilan tenang. "Dilan lahir di sebuah pulau kecil di bagian timur. Dilan lari saat dua tahun lalu ada tentara yang membumi hanguskan tempat tinggal Dilan. Itulah sebabnya Dilan mengganti nama." Jawab Dilan.
"Tapi.. kamu tidak seperti keturunan 'suku' tertentu." Kata Bang Rama.
"Benar, keluarga Dilan adalah perantau yang mencari peruntungan di negeri orang. Tapi soal bom itu. Keluarga Dilan terkena imbasnya."
Kening Bang Rama berdenyut hebat, ia menatap gadis itu dengan lekat. "Bisa saya tau, di mana kamu tinggal saat kejadian itu??"
"Distrik C, samping pegunungan besar. Tidak ada satupun keluarga yang tersisa. Dilan ikut sebuah kapal tongkang hingga sampai disini dan bertemu dengan Bang Ge."
deg..
Rasanya jantung Bang Rama berhenti berdetak. Ia terus memandangi paras gadis cantik itu. Terbersit rasa bersalah tak teruraikan.
"Ada apa, Om??" Tanya Dilan.
"Tidak apa-apa. Hanya penasaran saja." Entah di sadari atau tidak, tangan Bang Rama mengusap lembut rambut panjang Dilan. "Besok ikut saya ke kantor batalyon. Kita nikah."
Dilan menoleh dengan rasa tidak nyaman. Ia sama sekali tidak mengenal pria tersebut. Dalam hidupnya, Dilan tidak ingin melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.
"Tidak perlu, Om. Apalagi hanya demi anak ini."
"Percayalah, semua akan baik-baik saja..!!" Bang Rama terus menatap wajah Dilan namun sekali lagi dirinya menunduk dan mengalihkan pandangan. "Saya minta seluruh berkas yang kamu punya..!!"
***
Pagi hari Bang Rama menemui Bang Panggih di ruangan. Entah kenapa setiap bertemu dengan Abang tirinya itu emosinya menjadi tidak stabil.
Bang Rama meletakan salinan berkas di atas meja kerja Bang Panggih. "Tanda tangan..!! Saya mau nikah."
Bang Panggih melihat adiknya sekilas lalu membaca nama calon istri dari adik tirinya itu. "Arnadilan?? Oke.. Abang tanda tangan." Dengan cepat Bang Panggih membubuhkan tanda tangannya. "Kau boleh menikahi gadis manapun di dunia ini kecuali Nadila."
"Aku mau menikah dengan siapapun di dunia ini adalah urusanku. Apa pedulimu????" Ucap kesal Bang Rama.
"Kau harus cari tau silsilah keluarga Nadila, baru kau bisa bicara..!!" Kata Bang Panggih.
Seringai senyum Bang Rama terlihat tajam penuh penekanan. "Aku sudah tau siapa gadis malang yang kau hamili itu, Bang."
"Kauuuu.."
"Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kau sama saja dengan Hanggar..!!" Bang Rama mengambil berkas di tangan Bang Panggih lalu segera keluar dari ruangan.
"Lancang..!!" Umpat Bang Panggih.
.
.
.
.