Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 31
Kepanikan melanda ketika sekelompok zombie yang kelaparan menyerbu ruangan. Nafisah mengumpulkan seluruh keberaniannya, tubuhnya bergetar saat dia mengangkat senjata. "Ayo! Kita tidak bisa mundur!" teriaknya, meskipun suaranya nyaris tenggelam oleh geraman yang mengerikan.
Gathan, dengan ekspresi tegas, melirik Nafisah. "Hati-hati!" teriaknya, tetapi dia terlambat. Salah satu zombie melesat, mencengkeram lengannya yang tak berdaya. Nafisah berjuang, tetapi saat dia terpeleset di lantai yang licin, dia merasakan rasa sakit yang tajam saat gigi tajam zombie mencabik-cabik kulit di lengan kanannya.
"Akhh!" Jeritan kesakitan Nafisah menggema, menembus ketenangan yang tersisa, menyebabkan anggota kelompok lainnya terperanjat.
Arka merasakan hatinya bergetar mendengar jeritan itu. "Tidak, tidak! Kita harus bertahan!" pikirnya. Dia mengamati Nafisah yang terjatuh, wajahnya penuh rasa sakit, sementara dia berusaha menenangkan diri. "Nafisah, tetap berjuang! Kami di sini!"
Dia berlari ke arahnya, mengangkat senjata beratnya dengan kedua tangan. Dengan satu ayunan kuat, dia menghancurkan kepala zombie yang terdesak ke arah Nafisah. Darah memercik, melumuri dinding yang sudah kotor.
"Kerja bagus, Arka!" Gathan berteriak, wajahnya serius. Dia memanfaatkan momen itu untuk melompat dan berlari, gerakannya cepat seperti kilat, mengalihkan perhatian zombie lainnya. Dia menghindar, selangkah demi selangkah, mengarahkan senjata ke arah monster yang mendekat.
Gathan berteriak, "Sekarang, Arka!" dan serangan yang mereka lakukan beriringan, meski ketegangan di antara mereka masih terasa. Arka dapat merasakan aliran adrenalin, menggerakkan tubuhnya seolah waktu berjalan lambat, merasakan kekuatan bersatu.
Meskipun ketegangan di antara Gathan dan Arka masih berdenyut, mereka mengerti bahwa dalam keadaan genting ini, ego tidak ada artinya. Gathan menyerang dari kanan, sementara Arka mengayunkan senjata besar dari kiri, mendorong zombie ke belakang.
"Dari kiri! Awas!" teriak Gathan, terengah-engah, tubuhnya penuh keringat. Dia melihat mata zombie itu menatapnya, menggeram, dan dengan cepat mengalihkan perhatian zombie tersebut. "Bersiap, Arka!"
Arka, dengan kekuatan yang baru ditemukan, mengayunkan senjatanya dan menghantam zombie yang mengancam Gathan. "Kau harus lebih cepat!" Dia tersenyum, melihat mereka berdua dapat berkolaborasi. Dalam situasi krisis, keahlian mereka saling melengkapi, menciptakan simfoni pertarungan yang mencekam.
"Kami bisa melakukannya!" pikir Arka, merasakan keyakinan tumbuh di dalam hatinya.
Suara geraman zombie mulai memudar seiring dengan semakin sedikitnya makhluk itu, dan Nafisah berusaha bangkit, meskipun lengan kanannya berdarah. "Aku baik-baik saja! Ayo kita pergi!" Dia berusaha tersenyum, tetapi wajahnya memucat.
Ketika mereka berhasil mengalahkan gelombang zombie yang menyerang, suara keras menggema di luar gedung, seperti derak logam dan gemuruh yang mengguncang dinding. Semua anggota kelompok terdiam, menatap satu sama lain dengan ekspresi bingung dan cemas.
"Apa itu?" Tanya Jasmine, suaranya bergetar. Matanya melebar, dan ketegangan di udara semakin kental. "Kita tidak punya waktu untuk bersantai, kan?"
Arka menelan ludahnya, merasakan jantungnya berdebar semakin kencang. Apa yang bisa lebih buruk dari ini? Dia bertanya-tanya dalam hatinya. "Kita harus bergerak, sekarang! Apa pun yang terjadi, kita harus bersiap"
Gathan mengangguk, tetapi dia merasakan dingin di tulang punggungnya. "Apa kita akan berhadapan dengan sesuatu yang lebih buruk?" pikirnya, menatap ke arah pintu yang bergetar, seolah ancaman baru menunggu di ambang.
Dengan rasa cemas dan kegelisahan yang mendalam, mereka bergegas menuju pintu, siap menghadapi apa pun yang menunggu di luar, meskipun bahaya yang lebih mengerikan sedang mengintai.
Kelompok Arka melangkah keluar dengan langkah hati-hati, senter yang masih menyala memantulkan cahaya ke dalam kegelapan. Saat mata mereka menyesuaikan diri dengan pemandangan yang mengerikan, jantung mereka berdegup kencang, menandakan bahwa mereka tidak lagi berada di tempat yang aman.
“Apa yang terjadi di sini?” bisik Nafisah, suaranya hampir tak terdengar, ketika dia melihat reruntuhan kota yang pernah ramai. Setiap sudut yang dia lihat kini dipenuhi dengan zombie, merayap dengan lambat namun pasti, seolah-olah menunggu mangsa.
Gathan menggigit bibirnya, merasakan ketegangan melingkupi mereka. “Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” katanya, nada suaranya tegas, tetapi ada getaran ketakutan yang tak bisa dia sembunyikan. “Kita harus menemukan tempat perlindungan baru sebelum semuanya semakin parah.”
“Bergerak cepat, tidak ada waktu untuk berpikir!” teriak Arka, sambil memeriksa sekelilingnya dengan cermat. Dia merasakan dorongan adrenalin, tubuhnya bersiap-siap menghadapi ancaman yang mungkin datang.
Di tengah kekacauan, Jasmine berdiri terpaku, air mata menggenang di matanya. Dia menatap reruntuhan kota yang pernah dipenuhi tawa dan kebahagiaan. “Apakah kita akan selamanya terjebak dalam kengerian ini?” tanyanya, suaranya penuh ketidakberdayaan. Setiap kata terasa seperti jarum yang menusuk perasaan Arka.
Aisyah, yang berdiri di sampingnya, merasakan kepedihan dalam suara Jasmine. Dengan lembut, dia menggenggam tangan Jasmine, memberikan kehangatan yang dibutuhkannya. “Kita masih bersama, Jasmine. Jika kita tetap bersatu, kita bisa melalui ini. Ingat, kita adalah tim,” ujarnya, berusaha menerangi kegelapan yang menyelimuti sahabatnya.
Jasmine menatap Aisyah, mencoba menemukan harapan dalam mata sahabatnya. "Apakah kita benar-benar bisa?" pikirnya, tetapi keraguan masih menggerogoti hatinya. Namun, saat itu, dia merasakan sedikit kekuatan dari genggaman tangan Aisyah.
Tiba-tiba, dari kejauhan, muncul bayangan kelompok tak dikenal. Mereka berjalan dengan langkah mantap, mengenakan pelindung dan membawa senjata. Terlihat terorganisir, seolah-olah mereka juga berjuang untuk bertahan hidup di tengah kota yang hancur. Suara derap kaki mereka menciptakan ketegangan baru dalam kelompok Arka.
“Siapa mereka?” bisik Gathan, berusaha memperkirakan niat kelompok itu. Dia menahan napas, merasakan detak jantungnya semakin cepat. Apakah mereka akan menjadi sekutu atau ancaman baru?
“Harusnya kita mendekati mereka,” saran Nafisah, tetapi ada keraguan yang mendalam di suaranya. “Tapi bagaimana jika mereka justru menyerang kita?”
Arka menggigit bibirnya, merasakan beban keputusan yang harus mereka ambil. “Kita harus memutuskan, apakah kita berisiko atau terus mencari tempat aman,” katanya, matanya berkilau dengan tekad. “Tapi kita tidak bisa berdiri di sini selamanya.”
Sementara itu, di dalam hati masing-masing anggota kelompok, muncul rasa cemas dan ketidakpastian. Apa yang akan mereka lakukan selanjutnya? Dalam detik-detik yang penuh ketegangan itu, kelompok Arka terpaksa menghadapi pilihan sulit yang bisa mengubah nasib mereka selamanya.