Aku di kenal sebagai gadis tomboy di lingkunganku. Dengan penampilanku yang tidak ada feminimnya dan hobby ku layaknya seperti hobby para lelaki. Teman-teman ku juga kebanyakan lelaki. Aku tak banyak memiliki teman wanita. Hingga sering kali aku di anggap penyuka sesama jenis. Namun aku tidak perduli, semua itu hanya asumsi mereka, yang pasti aku wanita normal pada umumnya.
Dimana suatu hari aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, kami bertemu dalam suatu acara tanpa sengaja dan mengharuskan aku mengantarkannya untuk pulang. Dari pertemuan itu aku semakin dekat dengannya dan menganggap dia sebagai ibuku, apalagi aku tak lagi memiliki seorang ibu. Namun siapa sangka, dia berniat menjodohkan ku dengan putranya yang ternyata satu kampus dengan ku, dan kami beberapa kali bertemu namun tak banyak bicara.
Bagaimana kisah hidupku? yuk ikuti perjalanan hidupku.
Note: hanya karangan author ya, mohon dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Luka yang Tak Terlupakan
Setiap orang punya masa lalu. Bagiku, masa lalu adalah sesuatu yang ingin kuhapus, tapi selalu kembali menghantuiku, seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar pergi.
Saat aku pulang dari kampus, kenangan itu kembali menghantam. Di depan pintu apartemenku yang kecil, ada amplop cokelat tebal. Aku membukanya dengan ragu, dan isinya langsung membuatku merasa seperti ditarik ke dalam jurang.
"Ini tidak mungkin," bisikku.
Foto-foto itu adalah potongan dari masa laluku, saat aku masih tinggal bersama tanteku setelah orang tuaku meninggal. Foto-foto itu menampilkan kekerasan yang dulu selalu kuterima. Pukulan, makian, bahkan sikap dingin tanteku yang lebih memilih melampiaskan frustrasinya padaku daripada anak kandungnya sendiri.
Kekerasan itu membuatku tumbuh menjadi gadis yang keras dan cenderung tidak peduli pada dunia. Aku tidak pernah bercerita pada siapa pun. Luka itu kusimpan rapat-rapat. Tapi sekarang, ada seseorang yang mencoba menggali kembali semuanya.
Aku mencoba mencari tahu siapa yang meninggalkan amplop itu, tapi tidak ada jejak apa pun. Aku membuang amplopnya ke tempat sampah, tapi isinya tetap menempel di pikiranku sepanjang malam.
Aku tahu, aku harus melawan bayangan ini.
...***...
Keesokan harinya, aku bertemu Galaksi di kampus. Kami sedang berjalan ke arah yang sama, dan meskipun kami jarang berbicara, hari itu dia terlihat berbeda.
“lo terlihat lelah,” katanya tiba-tiba.
Aku mendengus. “Itu hal yang biasa. Tidak ada yang perlu dibahas.”
Tapi dia tidak menyerah. “Kadang, tidak apa-apa untuk membiarkan orang lain tahu kalau kamu sedang tidak baik-baik saja.”
Aku menatapnya. Ada sesuatu dalam caranya berbicara yang membuatku merasa dia tidak sekadar basa-basi.
“lo tahu, kan, gue hidup sendiri?” tanyaku, mencoba memotong pembicaraan.
Galaksi mengangguk. “Tahu. Tapi gue tidak tahu apa yang membuat lo menjadi seperti ini.”
Aku terdiam. Aku tidak siap untuk membicarakan masa lalu.
Namun, Galaksi tidak menekan lebih jauh. Dia hanya berkata, “Kalau suatu saat lo ingin bercerita, gue di sini.”
Kata-katanya sederhana, tapi menyentuh hatiku. Untuk pertama kalinya, aku merasa mungkin aku tidak benar-benar sendirian.
Setelah percakapan itu, hubungan kami perlahan berubah. Kami mulai saling memahami, meskipun kadang tetap bertengkar kecil karena perbedaan sifat.
Suatu sore, saat aku sedang sibuk di kafe, Galaksi datang tanpa pemberitahuan.
“lo mau pesan apa?” tanyaku, setengah bercanda.
Dia mengangkat alis. “lo pikir gue datang untuk makan?”
Aku terkekeh. “Kalau bukan untuk makan, kenapa lo di sini?”
Dia tidak menjawab langsung. Sebaliknya, dia mengambil buku catatan kecil dari tasnya dan menyerahkannya padaku.
“Apa ini?” tanyaku bingung.
“Proposal untuk acara amal. gue dengar lo suka membantu anak jalanan. gue ingin kita bekerja sama.”
Aku menatapnya dengan ragu. “lo serius?”
Dia mengangguk. “lo bisa bilang tidak kalau tidak tertarik.”
Aku tidak tahu apa yang membuatku setuju, tapi melihat caranya berbicara dengan penuh keyakinan, aku merasa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.
...***...
Hari-hari berlalu dengan persiapan acara amal. Aku dan Galaksi semakin sering bertemu, dan meskipun kami kadang berselisih pendapat, aku merasa ada ikatan yang mulai terbentuk di antara kami.
Namun, bayangan masa laluku tetap menghantuiku. Amplop cokelat itu bukan satu-satunya. Ada lagi yang datang, surat tanpa nama yang berisi ancaman untuk mengungkap semuanya jika aku tidak “membayar kembali apa yang pernah kuambil.”
Aku tidak tahu apa yang dimaksud. Tapi aku tahu satu hal, seseorang dari masa laluku sedang mencoba menghancurkan hidupku.
Aku memutuskan untuk berbicara dengan Ummi.
“Ummi, bagaimana jika seseorang dari masa lalu kita kembali dan mencoba menyakiti kita?” tanyaku suatu sore.
Ummi menatapku dengan lembut. “Setiap orang punya masa lalu, Nak. Tapi Allah selalu memberi kita kekuatan untuk menghadapinya. Jangan takut untuk melangkah maju, karena masa lalu tidak akan bisa menyentuhmu jika kamu tidak mengizinkannya.”
Kata-kata Ummi memberiku sedikit keberanian. Aku tahu, aku harus menghadapi orang itu, siapa pun dia, dan menyelesaikan semuanya.
...***...
Surat-surat itu akhirnya membawaku kembali ke tempat yang paling tidak ingin kukunjungi, rumah tanteku.
Aku berdiri di depan pintu, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengetuk. Saat pintu terbuka, wajah tanteku terlihat terkejut, tapi tidak ramah.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya dingin.
“Aku ingin bicara,” jawabku tegas.
Kami duduk di ruang tamu yang tidak banyak berubah sejak terakhir kali aku di sini. Aku langsung ke intinya.
“Apa kamu yang mengirimkan surat-surat itu?” tanyaku.
Tanteku mengerutkan kening. “Surat apa? Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan.”
Aku tidak percaya sepenuhnya, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku merasa dia jujur.
Kami berbicara lama, dan untuk pertama kalinya, aku mendengar sisi ceritanya. Tanteku mengaku merasa tertekan setelah kematian kedua orang tuaku, dan dia melampiaskan semuanya padaku.
“Aku tahu aku salah,” katanya, dengan suara bergetar. “Tapi itu semua sudah lama. Aku sudah berubah, Senja.”
Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkannya, tapi aku merasa lega setelah berbicara dengannya. Mungkin ini langkah pertama untuk berdamai dengan masa lalu.
Setelah pertemuan itu, aku merasa lebih ringan. Tapi surat-surat itu masih menjadi misteri.
Aku menceritakan semuanya pada Galaksi. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa bisa mempercayainya.
Dia mendengarkan dengan serius, lalu berkata, “Kalau ada sesuatu yang mengancammu, aku akan membantumu. Kita bisa menyelesaikannya bersama.”
Aku terkejut. “Kenapa lo peduli?”
Dia tersenyum tipis. “Karena gue tahu bagaimana rasanya kehilangan keluarga. Dan gue tidak ingin lo merasa sendirian.”
Kata-katanya membuatku merasa hangat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli padaku.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi aku tahu satu hal, aku tidak akan menghadapi semuanya sendirian lagi.
...****************...
...To Be Continued...
Jangan lupa like, komen and vote
apa yg dikatakan Senja benar, Galaksi. jika mmg hanya Senja di hatimu, tidak seharusnya memberi Maya ruang dalam hidupmu. padahal kamu tahu betul, Maya jatuh hati padamu.
Tidak bisa menjaga hati Senja, berarti kesempatan lelaki lain menjaganya. jangan menyesal ketika itu terjadi, Galaksi