Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Pelakor Berulah
Terlihat seorang wanita berumur 30 tahunan mengenakan pakaian pelayan berjalan ke arah Vara dan ibunya Selvira dengan wajah angkuh.
“Lho! Santi, bukannya ini kamar Vara. Kenapa sekarang jadi milik Lunaira?” tanya Selvira mengeryit heran.
Terlihat pelayan itu, memandang remeh sang nyonya rumah. “Maaf Nya, tapi nona Lunaira yang menginginkannya!” ucap pelayan itu terlihat tidak sopan sama sekali.
Mata Vara menelisik pelayan kurang ajar di depannya ini, diam-diam dia mengambil sesuatu di saku bajunya.
Nih pelayan benar-benar kurang ajar! Sepertinya perlu di beri pelajaran! batin Vara menyeringai.
“Sekarang, keluarkan barang-barang Lunaira! Bukannya dia punya kamar sendiri?!” ujar Selvira.
“Nona Lunaira merasa bosan dengan kamarnya, jadi dia menginginkan kamar nona Vara!” jawab Santi sambil mengecek kukunya yang sudah di beri kuteks.
“Dan maaf Nya, saya tidak bisa! Saya tidak ingin nyonya Amara, marah!” sambungnya menolak keinginan Selvira.
“Santi, jaga sopan santun mu pada Nyonya Selvira!” tegur bi Asih melihat tingkah laku pelayan itu.
“Lho! Bukankah yang kukatakan benar Bi Asih! Apalagi nyonya Amara yang memiliki kekuasaan di rumah ini!” jawab Santi enteng.
“Aku yang Nyonya di rumah ini. Aku juga punya hak yang sama. Jadi, pindahkan barang-barangnya Lunaira!” ucap Selvira merasa geram mendengar ucapan pelayan itu.
“Lebih baik, Nyonya berbicara dengan Nyonya Amara!” sahut Santi kemudian berbalik meninggalkan Selvira dengan senyum mengejek.
Shut!
Bruk!
“Aaaaa ….”
Tiba-tiba sebuah kelereng kecil, mengarah pada kaki pelayan itu. Dan membuatnya terjatuh dari tangga, tentu para pelayan terkejut melihat Santi terjatuh terguling.
Selvira dan bi Asih terkejut melihat pelayan itu jatuh begitu saja, mereka segera melangkah ke arah tangga.
Sedangkan Vara menyeringai puas dalam hati Itu pelajaran dari aku, untuk seorang pelayan yang sangat tidak tahu diri! batin Vara merasa puas.
Yah, dengan keahliannya. Dia melempar kelereng itu hanya menggunakan jarinya tanpa dilihat siapapun. Bahkan tidak terlihat cctv.
Kini para pelayan berkerumun untuk melihat Santi yang sudah tidak sadarkan diri lagi.
“Cepat bawa Santi, ke rumah sakit!” titah Selvira.
Walau bagaimanapun, dia tetap harus menolong seseorang. Meski orang itu sudah kurang ajar padanya.
“Baik Nyonya!” ucap pelayan.
Mereka segera memanggil supir untuk menyiapkan mobil, lalu mengangkat tubuh Santi yang sudah tidak sadarkan diri.
Selvira hanya melihat para pelayan itu, tiba-tiba dia teringat sang putri yang sendirian di atas sana. Segera Selvira melangkah ke atas kembali.
“Maaf yah! Mama ninggalin Vara begitu saja!” ucap Selvira merasa menyesal.
“Gak apa-apa kok Mah!” jawab Vara polos.
“Ada apa dengan bibi pelayan itu Ma?” tanya Vara pura-pura polos.
“Bi Santi tidak sengaja terpeleset, tapi dia sudah dibawa ke rumah sakit!” ucap Selvira lembut.
“Ayo kita beristirahat di kamar lain sayang!” ajak Selvira.
Vara mengangguk polos. “Hu’um … ayo Ma!”
Kini, Vara beristirahat di kamar yang lain. Karena kamarnya di rebut oleh Lunaira, lagipula Vara si agen tidak menyukai kamar itu karena berwarna pink membuatnya sakit kepala.
Akhirnya, Selvira menyuruh pelayan membersihkan kamar lain yang sama luasnya dengan kamar milik Vara sebelumnya.
Keesokan harinya, Vara terlihat duduk dengan tenang di ruang keluarga sambil memperhatikan seluruh sudut ruangan. Tentu, jika ingin bertindak dia harus waspada agar tidak ada yang curiga.
Tiba-tiba Lunaira datang dengan membawa boneka mahalnya, dia ingin memprovokasi Vara. Semalam, dia tak bertemu di meja makan, karena Vara memilih makan di kamar bersama sang ibu.
Lunaira menunjuk dan berkata, “Kau kenapa masih hidup, hah?! Harusnya kau mati saja, dan kau pasti tidak terima ‘kan jika kamarmu aku ambil?! Mending kamu tidur di kamar pelayan saja,” ujar bocah berusia 6 tahun itu dengan wajah sinis.
Wah! Anak ini benar-benar titisan ibunya. Baru sekecil ini sudah bisa mengatakan hal-hal orang dewasa! batin Vara.
“Kak Lunaila, ambil aja kamalku itu. Aku juga cudah bocan. Cekalang aku punya kamal lebih bagus dali itu, yang kak Lunaila ambil juga cudah jadi bekas ku,” sahut Vara dengan wajah polosnya.
Wajah Lunaira berubah geram, niatnya ingin memprovokasi Vara. Eh, dia malah yang terprovokasi dengan ucapan gadis kecil didepan ini.
“Lihat! Aku punya boneka baru yang mahal, kau pasti tidak punya!” ucap Lunaira mencoba memanasi Vara.
Cih! Boneka gitu mah apaan, bosan aku main boneka! batin Vara merasa kesal.
Mata Vara berkedip-kedip polos. “Aku juga cudah bocan dengan boneka cepelti itu. Aku macih banyak boneka mahal lagi,” sahut Vara santai.
Wajah Lunaira bertambah geram, dengan cepat dia membanting boneka mahal miliknya, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri dan berteriak keras.
“Aaaaaaa … papa! Papa … Vara memukulku!”
Teriakan Lunaira, membuat Arvin, Amara dan Selvira segera berlari ke ruang keluarga. Saat Vara merasakan langkah kaki mereka, tiba-tiba Vara membuat dirinya terjatuh dengan seolah-olah tangan Lunaira mendorongnya.
“Apa yang terjadi disini?” tanya Arvin dengan suara tegas.
Lunaira menunjuk Vara. “Papa, Vara merusak bonekaku dan menarik rambutku, dia marah karena aku pindah ke kamarnya,” ujar bocah 6 tahun itu memfitnah Vara.
Amara langsung mengusap kepala sang putri. “Sayang! Vara masih kecil, mungkin dia tidak sengaja … Mas Arvin, mungkin Vara belum terbiasa dengan perubahan yang ada, jangan terlalu keras padanya ya, dia masih kecil.”
Wah! Anak sama emaknya mulai drama. Lihat siapa yang lebih bagus dramanya?! batin Vara menyeringai.
Wajah Amara terlihat bersimpati pada Vara namun, dalam hatinya dia mendukung perbuatan sang putri.
Terlihat Vara menangis tersedu-sedu, Selvira segera membantu sang putri untuk berdiri.
“Kamu tidak apa-apa sayang?” tanya Elvira lembut.
“Vala tidak apa-apa Mama!” ucap bocah perempuan itu lalu menatap sang ayah.
“Papa, Vala tidak tahu apa yang teljadi … kak Lunaila tiba-tiba membanting bonekanya cendili dan mengacak-acak lambutnya cendili telus mendolongku ke lantai.” terlihat wajah Vara dipenuhi air mata yang mengalir deras.
Mata Amara dan Lunaira melotot, sedangkan wajah Arvin kini mulai mengeras, belum dia berbicara. Vara melanjutkan ucapannya.
“Kak Lunaila juga bilang! Kenapa aku macih hidup, halusnya mati aja, dia juga menyuluh Vala tidul di kamal pelayan!” sambung Vara dengan menangis tergugu.
Wajah Arvin tampak dingin, membuat Lunaira gugup. “Apa benar, yang dikatakan Vara?! Jawab Lunaira, Papa gak suka kebohongan!” ucap Arvin dengan suara tegasnya.
“Tidak! Itu tidak benar Papa! Vara berbohong,” ujar bocah 6 tahun itu panik.
“Vara tidak pernah berbohong, Mas! aku tahu itu!” ucap Selvira menyela.
Jiah! Aku dibelain sama mama! batin Vara senang.
“Kalau Papa tidak pelcaya, tanya aja cama bibi pelayan, telus Papa bica lihat cctv!” tunjuk Vara pada cctv yang ada.
Deg!