Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Yang Panjang
Perjalanan ke mall pagi itu cukup mengasyikkan. Suara celotehan Al yang tak henti-hentinya menggoda El membuat suasana di mobil terasa hidup. El, seperti biasa, hanya bersikap dingin sambil menatap ke luar jendela, tetapi sesekali ia melirik Al dengan ekspresi datar.
“Kamu tuh cerewet banget, Al. Nggak capek apa?” tanya Netha sambil tersenyum dari kursi pengemudi.
“Kalau aku diam, siapa yang bakal bikin suasana rame?” balas Al sambil tertawa kecil.
El hanya mendengus pelan. “Kalau dia diam, dunia ini pasti lebih damai.”
Percakapan mereka terus berlanjut hingga akhirnya mereka sampai di mall. Setelah memarkir mobil, Netha berjalan bersama El dan Al masuk ke dalam mall.
Suasana mall yang ramai membuat Al tak henti-hentinya berceloteh tentang berbagai hal, mulai dari dekorasi mall hingga orang-orang yang lalu lalang.
“Mall ini gede banget, ya. Ada banyak toko, bahkan ada air mancur di tengahnya!” kata Al dengan mata berbinar.
El hanya melirik sekilas sambil berjalan dengan tenang. “Fokus saja. Kita di sini buat beli alat tulis, bukan buat jalan-jalan.”
Netha tersenyum mendengar mereka. “Ya ampun, kalian ini benar-benar berlawanan. Satu terlalu banyak bicara, yang satu terlalu pendiam.”
“Biar seimbang, kan?” balas Al sambil terkekeh.
📍Toko Alat Tulis
Saat tiba di toko alat tulis, Netha memberikan masing-masing dari mereka sebuah keranjang kecil beroda. “Oke, kalian ambil barang yang kalian butuhkan. Buku, pensil, tas, dan lain-lain. Tapi jangan ambil yang nggak perlu, ya.”
Al langsung melesat menuju rak buku dengan semangat, sementara El berjalan perlahan sambil memperhatikan barang-barang di sekitarnya. Netha mengikuti dari belakang, memastikan mereka tidak mengambil barang yang berlebihan.
“Lihat ini, El!” seru Al sambil memegang satu set buku bergambar superhero. “Bagus, kan? Aku mau yang ini!”
El melirik sebentar dan mengangkat bahu. “Kalau menurutmu bagus, ambil saja.”
Netha yang mendengar percakapan itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Benar-benar anak-anak ini berbeda sekali. Tapi setidaknya mereka tahu apa yang mereka inginkan.”
Saat mereka sibuk memilih barang, beberapa pengunjung toko mulai memperhatikan mereka. Bisik-bisik terdengar di sekitar, kebanyakan membicarakan El dan Al yang tampan.
“Lihat anak-anak itu. Kembar, ya? Ganteng banget,” bisik seorang wanita muda kepada temannya.
“Iya. Tapi masa sih itu ibu mereka? Kayaknya lebih mirip pengasuh,” jawab temannya dengan nada skeptis.
Netha mendengar komentar itu dan mulai merasa gerah. Puncaknya, seorang wanita paruh baya yang sedang memilih pena mendekatinya dengan senyum ramah tapi nada yang menusuk.
“Maaf ya, Mbak. Kalau memang cuma pengasuh, tolong anak-anaknya dijaga baik-baik. Jangan sampai hilang di mall seramai ini.”
Netha tersenyum tipis, tapi matanya tajam. Ia menatap wanita itu dengan santai. “Oh, tenang saja. Saya bukan pengasuh. Mereka anak saya. Dan lagi, mereka nggak perlu dijaga. Mereka lebih pintar dari kebanyakan orang dewasa di sini.”
Wanita itu tampak terkejut, sementara beberapa pengunjung lain yang mendengar percakapan itu berusaha menahan tawa. El dan Al, yang baru saja kembali dengan keranjang mereka, hanya melirik sekilas.
“Ada apa, kamu?” tanya Al kepada Netha, melihat ekspresi wajahnya yang sedikit kesal.
“Bukan apa-apa,” jawab Netha sambil tersenyum. “Ayo, sudah selesai belanjanya? Kalau sudah, kita ke kasir.”
Al mengangkat bahu, sementara El mengangguk pelan. Mereka bertiga pun menuju kasir, mengabaikan tatapan iri dan bisikan-bisikan di sekitar mereka. Netha hanya tersenyum tipis. “Biar saja mereka bicara. Yang penting, aku tahu siapa aku dan siapa anak-anak ini.”
📍Di Toko Pakaian
Setelah selesai dari toko alat tulis, Netha membawa El dan Al ke toko pakaian besar di lantai atas mall. Pandangannya langsung tertuju pada deretan pakaian yang memajang berbagai model, mulai dari pakaian santai hingga pakaian formal. Ia menghela napas, mengingat tubuh barunya yang lebih besar dari sebelumnya.
“Baiklah, cari pakaian yang cocok. Fokus saja pada yang nyaman untuk dipakai sehari-hari,” gumamnya pada diri sendiri sambil mulai memilah-milih.
Netha memilih beberapa baju polos berukuran besar untuk dipakai di rumah, beberapa celana longgar, dan dress santai yang sesuai dengan bentuk tubuhnya. Ia mencocokkan pakaian satu per satu di depan cermin. “Di kehidupan lama, aku pasti sudah tahu model apa yang pas untukku. Tapi sekarang, ini tantangan baru.”
Sementara itu, El dan Al berdiri di samping dengan wajah datar, menunggu giliran mereka. Melihat mereka berdiam diri, Netha mendekat sambil membawa beberapa pakaian.
“Sudah, kalian juga cari baju. Jangan cuma diam saja di situ.”
“Apa pun yang aku pilih boleh?” tanya Al, matanya berbinar.
“Selama nggak aneh-aneh, ya boleh,” jawab Netha sambil menatapnya tegas.
Dengan semangat, Al segera mulai memilih beberapa kaos dengan warna cerah dan celana pendek. Sebaliknya, El dengan tenang memilih kaos berwarna netral dan celana panjang sederhana. Sesekali, Netha memerhatikan pilihan mereka dan memastikan semuanya pas.
Selain pakaian sehari-hari, Netha juga membeli piyama kembar untuk mereka bertiga. Ia bahkan memilih baju couple—kaos putih dengan tulisan “We’re a Team”—untuk mereka pakai bersama. Setelah semuanya selesai dipilih, ia meminta ketiganya mencoba pakaian couple tersebut di ruang ganti.
Keluar dari ruang ganti, mereka bertiga tampak serasi dengan baju yang sama. Netha tertawa kecil melihat dirinya di cermin. “Hah, beruntung ukuran untukku ada. Aku kira nggak bakal muat.”
“Lucu juga, ya. Kayak kita beneran keluarga kompak,” ujar Al sambil memutar tubuhnya di depan cermin.
El hanya mengangguk kecil, tapi matanya menunjukkan sedikit rasa senang.
Namun, di luar toko, perhatian pengunjung langsung tertuju pada mereka. Beberapa orang berbisik-bisik, memandangi Netha dan si kembar dengan rasa ingin tahu.
“Cantik anaknya, ya. Tapi itu ibu mereka?” bisik seorang wanita.
“Mungkin adiknya. Lihat wajahnya, mirip, tapi badannya beda jauh,” jawab temannya sambil terkekeh.
Ada juga yang langsung bertanya dengan nada ketus. “Mbak, itu beneran anak-anak Mbak? Atau adik yang Mbak asuh?”
Netha tersenyum tipis, tapi matanya tajam. “Iya, mereka anak saya. Mau bukti akta lahir, atau cukup percaya kata-kata saya saja?” balasnya dengan nada yang sama tajamnya.
Orang itu terdiam, sementara beberapa pengunjung lain tersenyum canggung.
Netha hanya mendesah pelan. “Kenapa setiap keluar rumah, orang selalu komentar soal aku dan anak-anak ini? Memangnya bentuk tubuh menentukan aku ibu mereka atau bukan?” Tapi ia segera mengabaikannya dan melanjutkan belanja dengan santai bersama si kembar.
📍Toko Kosmetik
Setelah selesai dengan pakaian, Netha membawa El dan Al ke toko kosmetik di lantai bawah mall. Pandangannya langsung menyapu rak-rak penuh foundation, bedak, dan lipstik dengan berbagai warna. Ia mendekat ke salah satu rak dan mulai memilih, membandingkan warna dan tekstur produk satu per satu.
“Ah, foundation ini terlalu terang. Yang ini terlalu gelap. Aduh, kenapa nggak ada yang pas?” gumam Netha sambil mencocokkan foundation di punggung tangannya. “Dulu aku gampang banget nemuin yang cocok. Sekarang, ribet banget karena warna kulitku sekarang lebih sedikit gelap dari sebelumnya.”
Di belakangnya, El dan Al berdiri canggung. Al mendesah pelan sambil melirik El. “Dia lama banget, ya. Rasanya kayak nunggu Papa selesai. Padahal meskipun tanpa dipoles, dia sudah cantik. Yah minus di badan aja, namun sekarang sudah agak kurusan dikit.”
El hanya mengangguk singkat, tapi matanya tetap mengawasi Netha yang sibuk. Sesekali, dia melirik ke arah pegawai toko yang memandang mereka bertiga dengan tatapan bingung.
“Mas, itu beneran keluarga, ya? Tapi kok mereka nggak manggil dia ‘Mama’?” bisik salah satu pegawai kepada rekannya.
“Mungkin pengasuhnya. Tapi pakai baju couple, lho. Lucu sih, tapi… aneh juga.”
Netha, yang sibuk memilih kuas makeup, menyadari tatapan si kembar. Ia berbalik dan mengangkat alis. “Kalian ngapain di situ? Duduk sana, di ruang tunggu. Nggak usah berdiri kayak orang hilang.”
Al segera menepuk bahu El. “Ayo, kita duduk. Kalau nggak, kita bisa tua di sini nunggu dia selesai.”
Mereka pun duduk di ruang tunggu kecil yang disediakan toko. Al bersandar dengan santai, sementara El duduk tegap, memerhatikan Netha yang masih sibuk di bagian riasan mata.
“Padahal dia sudah cantik, hem lelahnya melihatnya kesana-kemari, aku ikutan pusing” celetuk Al sambil tersenyum kecil.
“Hmm,” sahut El singkat, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat.
Netha yang mendengar obrolan mereka hanya mendengus. “Kalau kalian masih sibuk gosipin aku, mending ke sini bantuin pilih kuas ini. Yang mana bagus?” tanyanya sambil memegang dua kuas.
El dan Al serempak menggeleng. “Nggak ngerti,” jawab El cepat.
Setelah memilih cukup lama, Netha akhirnya memutuskan alat makeup yang dibelinya. “Sean benar-benar malaikat karena kasih kartu ini. Rasanya seperti surga dunia.” Dengan wajah puas, ia beralih ke bagian parfum.
“Sekarang giliran parfum. Sebentar, ya,” katanya pada El dan Al sambil mendekati rak-rak parfum. Ia langsung mencari aroma yang pernah jadi favoritnya di kehidupan sebelumnya. “Aha, ini dia! Aroma yang aku suka.”
Setelah mencium aroma tersebut, ia memanggil si kembar. “Ayo, kalian juga pilih parfum. Cari yang kalian suka.”
Al melompat kecil dengan antusias. “Beneran boleh?”
“Boleh, asal jangan lama-lama,” jawab Netha sambil tersenyum kecil.
Namun ternyata, si kembar sama lamanya dengan Netha. Mereka mencoba satu per satu parfum, mencium aroma yang berbeda-beda dengan serius. Pegawai toko hanya bisa memperhatikan mereka sambil menahan senyum.
“Dua anak ini lucu banget. Tapi kenapa nggak manggil dia ‘Mama’? Ini gimana sih hubungannya?” bisik salah satu pegawai.
“Entahlah, yang penting mereka nggak bikin masalah,” jawab rekannya sambil menggeleng.
Netha akhirnya nyeletuk sambil menatap si kembar yang masih sibuk memilih. “Kalau kalian lebih lama dari aku, bisa-bisa toko ini tutup duluan sebelum kita selesai.”
Al tertawa sambil mengangkat botol parfum. “Ini, ini aja! Aku suka.”
El juga akhirnya memilih satu dengan ekspresi dingin, tapi ada kilatan puas di matanya. Setelah semuanya selesai, mereka berjalan keluar dari toko dengan senyum lebar. “Hmm, lumayan. Setidaknya mereka mulai kelihatan lebih ceria,” pikir Netha sambil memeluk tas belanjaannya erat.
📍Makan Siang di Mall
Setelah selesai belanja, mereka menuju ke food court untuk makan siang. Al, seperti biasa, langsung menunjuk beberapa makanan yang ingin dia coba.
“Aku mau burger, kentang goreng, sama es krim cokelat!” serunya.
“Kamu itu nggak pernah kenyang, ya?” tanya Netha sambil tertawa kecil.
“Kan lagi di mall. Sekali-sekali nggak apa-apa,” balas Al sambil tersenyum lebar.
El hanya menggelengkan kepala, tetapi akhirnya memesan nasi goreng sederhana. Sementara itu, Netha memilih salad untuk dirinya sendiri, berusaha tetap pada rencana dietnya.
“Kok kamu nggak makan banyak?” tanya Al heran.
“Aku lagi diet,” jawab Netha singkat.
“Diet terus. Kapan kamu makan enak?”
“Kalau berat badanku sudah turun, baru aku makan enak,” balas Netha dengan senyum kecil.
Saat mereka makan, Netha memperhatikan si kembar dengan perasaan campur aduk.
Netha dalam hati: “Mungkin selama ini mereka nggak pernah dapat perhatian yang cukup. Sean terlalu sibuk, dan aku—maksudnya Netha asli—terlalu cuek. Sekarang, aku harus memastikan mereka merasa dihargai.”
🚙 Perjalanan Pulang
Setelah beberapa jam di mall, mereka akhirnya selesai belanja. Saat mereka menuju mobil, Al mulai mengeluh. “Ah capek banget, tapi kamu masih semangat jalan-jalan.”
“Kalian itu anak muda. Masa kalah sama aku?” balas Netha sambil tertawa kecil.
Saat di mobil, kelelahan akhirnya mengalahkan si kembar. Dalam waktu singkat, El dan Al tertidur pulas di kursi belakang. Netha melirik mereka melalui kaca spion, senyum kecil menghiasi wajahnya.
Netha dalam hati “Mereka mungkin terlihat kuat, tapi tetap saja mereka anak-anak. Aku harus lebih sabar menghadapi mereka.”
Sesampainya di rumah, Netha memarkir mobil di garasi dan membuka pintu rumah. Ia kembali menggendong si kembar satu per satu ke kamar mereka, seperti yang ia lakukan sebelumnya.
Saat mengangkat Al, bocah itu mendusel-dusel di bahunya, mencari posisi yang nyaman. “Mama... jangan pergi,” gumam Al setengah tidur.
Netha kaget, baru pertama kali mendengar Al memanggilnya Mama, namun ia tersenyum kecil sambil menepuk punggungnya. “Aku nggak akan kemana-mana, Al. Tenang saja.”
Setelah memastikan El dan Al tertidur nyenyak di ranjang masing-masing, Netha menutup pintu kamar mereka pelan-pelan.
Netha dalam hati “Hari yang panjang, tapi menyenangkan. Aku harus terus mencoba yang terbaik untuk mereka. Kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa menjadi ibu mereka?”
Dengan hati yang hangat, Netha beranjak ke kamarnya, siap untuk beristirahat setelah hari yang melelahkan.
To be continued...