Kirana, wanita berusia 30 an pernah merasa hidupnya sempurna. Menikah dengan pria yang dicintainya bernama Arga, dan dikaruniai seorang putri cantik bernama Naya.
Ia percaya kebahagiaan itu abadi. Namun, segalanya berubah dalam sekejap ketika Arga meninggal dalam kecelakaan tragis.
Ditinggalkan tanpa pasangan hidup, Kirana harus menghadapi kenyataan pahit, keluarga suaminya yang selama ini dingin dan tidak menyukainya, kini secara terang-terangan mengusirnya dari rumah yang dulu ia sebut "rumah tangga".
Dengan hati hancur dan tanpa dukungan, Kirana memutuskan untuk bangkit demi Naya. Sekuat apa perjuangan Kirana?
Yuk kita simak ceritanya di novel yang berjudul 'Single mom'
Jangan lupa like, subcribe dan vote nya ya... 💟
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 30 - Tidak ada kata maaf bagimu
Ep. 30 - Tidak ada kata maaf bagimu
🌺SINGLE MOM🌺
Malam itu, Kirana tidak bisa memejamkan mata dengan tenang. Hatinya penuh gejolak setelah apa yang di lakukan oleh Rini.
Setelah memastikan Naya tertidur di kamar, ia mencoba menyibukkan diri dengan menyiapkan keperluan sekolah Naya untuk esok pagi.
Lalu, Kirana kembali ke kamarnya, merebahkan tubuhnya di kasur dan memandangi langit-langit sembari menghela napas panjang.
“Aku tidak akan membiarkan diriku terjebak dalam drama ini lagi. Cukup sudah,” gumamnya sebelum akhirnya terlelap.
Waktu terasa cepat dan pagi pun menjelang. Matahari pagi menyapa hangat rumah Kirana. Dan seperti biasa, ia bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan dan mempersiapkan Naya berangkat sekolah.
Kini dapur berukuran sedang itu dipenuhi aroma roti panggang dan susu hangat.
“Naya, sarapan dulu ya sebelum ganti baju,” ucap Kirana sambil menyajikan makanan di meja.
“Baik, Bu!,” seru Naya dengan senyuman ceria, dan tak menyadari apa yang terjadi di luar rumah mereka.
Setelah selesai makan, Kirana membuka pintu depan untuk mengambil koran. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang mengejutkan.
Di teras rumahnya, Rini masih tergeletak, tidur dengan pakaian yang sama seperti semalam. Wajahnya terlihat lelah dan bengkak karena menangis.
“Ya Tuhan…” bisik Kirana pelan.
Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, suara-suara orang di luar mulai terdengar. Beberapa tetangga yang lewat menatap ke arah rumahnya dan berbisik-bisik dengan tidak percaya.
“Itu Rini, kan? Kenapa dia tidur di luar rumah Bu Kirana?.”
“Bukannya mereka tinggal bersama? Kok bisa Bu Kirana membiarkan dia seperti itu?.”
“Bu Kirana kelihatannya tega juga, ya. Kasihan sekali Rini.”
Kirana pun segera masuk dan menutup pintu kembali dengan cepat, wajahnya memerah karena malu dan kesal mendengar bisikan itu. Ia lalu duduk di sofa dan menenangkan dirinya.
“Ibu, kenapa orang-orang ramai di luar?," tanya Naya sambil membawa tas sekolahnya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Ayo kita siap-siap ke sekolah,” jawab Kirana yang mencoba mengalihkan perhatian Naya.
Namun, pikiran Kirana tidak bisa tenang. Ia merasa harus segera menghadapi situasi ini sebelum semakin menjadi bahan gosip.
Setelah memastikan Naya siap untuk berangkat, Kirana membuka pintu dan berdiri di depan Rini yang masih tertidur di lantai teras.
“Rini, bangun!,” seru Kirana tegas hingga membangunkan Rini dari tidurnya.
Rini pun terbangun dengan mata sembab. Ia langsung duduk bersilat sambil menundukkan kepalanya. “Bu Kirana, maafkan saya. Saya benar-benar tidak tahu harus ke mana lagi…”
Kirana mengepalkan tangan karena menahan emosinya. “Rini, kamu tidak bisa terus seperti ini. Kali ini sulit untuk memaafkanmu, dan aku tidak bisa melupakan apa yang kamu lakukan. Pulanglah. Cari jalan hidupmu sendiri!,” seru Kirana.
Namun Rini menggeleng dengan tangis yang kembali pecah. “Bu Kirana, saya tidak punya tempat lain. Tolong beri saya kesempatan untuk membuktikan bahwa saya bisa berubah.”
Kirana terdiam sejenak, lalu menatap Rini dengan tatapan penuh luka. “Kesempatan itu sudah kamu buang, Rini. Sekarang, aku hanya ingin fokus pada anakku dan hidupku. Jangan membuat ini lebih sulit.”
Mendapat penolakan yang telak, Rini pun hanya bisa pasrah karena kesalahannya kali ini benar-benar tidak bisa di maafkan.
Setelah Rini akhirnya meninggalkan rumah Kirana dengan langkah gontai, tetangga-tetangga yang masih memperhatikan pun langsung mendekati Kirana.
“Bu Kirana, apa yang sebenarnya terjadi?," tanya seorang ibu dengan penuh rasa ingin tahu.
“Itu urusan pribadi, Bu. Mohon pengertiannya ya," jawab Kirana dengan tersenyum tipis.
Tetangga-tetangga itu pun saling pandang, seolah tidak puas dengan jawaban Kirana. Namun, ia tidak peduli. Bagi Kirana, yang terpenting adalah menjaga dirinya dan Naya dari drama yang tidak perlu.
**
Setelah drama pagi, Kirana pun segera mengantar Naya. Mobil Kirana melaju pelan di jalanan kompleks, membawa Naya menuju sekolahnya.
Saat beberapa meter melaju, di sisi jalan, Kirana tiba-tiba melihat sosok Rini. Ia berjalan pelan, tubuhnya tampak lelah, dan matanya menunduk, seolah sedang merenungi nasibnya.
Kirana mencoba fokus pada jalan, namun bayangan Rini yang menoleh dan menatap mobil mereka sempat menghantui pikirannya.
“Ibu, itu Mbak Rini!,” seru Naya dari kursi belakang, sambil melambai ke arah Rini dengan tersenyum polos.
Kirana hanya melirik sekilas ke kaca spion dan memastikan Naya tidak melihat ekspresi rumit di wajahnya.
“Kenapa Mbak Rini gak diajak, Bu?," tanya Naya polos.
Kirana menghela napas dan mencoba mencari alasan yang tepat. “Mbak Rini pengen jalan kaki, Sayang. Olahraga biar sehat.”
“Oh… Tapi kok Mbak Rini kelihatan sedih, ya? Sama kenapa mbak Rini gak nginep lagi di rumah Ibu? Dulu Mbak Rini kan sering main sama aku di rumah.”
Kirana tidak segera menjawab dan mencari cara untuk mengalihkan perhatian putrinya. “Mbak Rini sudah punya tempat tinggal baru, Nak. Sekarang dia sibuk dengan hal-hal lain."
"Ooh...gitu, Tapi Naya masih bisa main sama Mbak Rini lagi, kan?.”
Kirana menggeleng lembut sambil menatap Naya lewat kaca spion. “Mungkin suatu saat, Sayang. Tapi untuk sekarang, Naya fokus sekolah saja dulu, ya. Sebentar lagi kan Naya masuk Sekolah Dasar."
" Siaap Bu...!. "
Sesampainya di sekolah, Kirana memarkir mobilnya dengan hati-hati. Ia membantu Naya turun dengan memegang tangannya erat-erat.
Sekolah tampak ramai, penuh anak-anak yang berseragam rapi dan para orang tua yang sibuk mengantar anak-anak mereka.
“Naya, coba Ibu cek sekali lagi, apa semuanya sudah siap? Buku, bekal, semua ada, kan?,” ujar Kirana sambil memeriksa tas Naya sekali lagi.
“Semua ada, Bu. Naya semangat sekolah hari ini!," jawab Naya seraya mengangguk ceria.
"Bagus, Sayang. Ibu yakin Naya akan punya hari yang menyenangkan.”
**
Setelah mengantar Naya, Kirana pun segera kembali menuju ruko. Saat di perjalanan, Kirana terus terpikirkan tentang Rini yang tega melakukan hal keji itu padanya.
“Kenapa kamu hancurkan semuanya, Rini?,” gumam Kirana pelan dengan mata yang menerawang ke depan.
Tiba-tiba, pandangannya teralihkan pada kerumunan orang di pinggir jalan hingga membuat laju mobilnya melaju perlahan.
Lalu, salah satu dari mereka menghampiri mobil Kirana dengan tergesa-gesa dan mengetuk pintu kaca mobilnya.
"Bu! Tolong. Ada orang pingsan. Bisa tolong antarkan ke rumah sakit?," kata orang tersebut.
Kirana melihat jalan sekitar dan tidak ada mobil lain yang menepi selain dirinya.
"Boleh, Pak. Silahkan bawa masuk."
Kemudian, beberapa orang membopong tubuh orang yang pingsan tadi yang ternyata adalah Rini.
"Rini!," pekik Kirana.
Sebenarnya Kirana merasa berat hati karena harus bertemu lagi dengan orang yang hampir menghancurkan perusahaannya itu. Tapi, hati nuraninya berkata lain. Tidak mungkin juga ia hanya mengabaikan Rini yang pingsan sementara tidak ada yang menolongnya.
Kirana pun segera membawa Rini ke dokter terdekat untuk merawatnya. Setelah di periksa dokter, akhirnya Rini siuman dan mendapati Kirana berada di sampingnya, menatapnya dengan tajam.
"Bu Kirana...," ucap Rini lemah.
"Sekarang kamu sudah bangun. Jadi aku akan pergi," seru Kirana dingin, sambil berdiri dan hendak pergi.
Namun, Rini menahan tangan Kirana sambil menangis.
"Bu Kirana, saya mohon maafkan saya... Saya janji tidak akan mengulangi kesalahan lagi 😭😭😭."
Seakan jera, Kirana pun mengibaskan tangannya lalu berkata dengan nada tinggi.
"Apa kamu tau Rini! Kesalahanmu itu tidak pantas di beri maaf! Seharusnya kau sudah berada di balik jeruji besi!."
"Maafkan saya Bu Kirana... 😭😭."
"Cukup! Aku sudah mendengar banyak kata minta maaf darimu. Mulai sekarang kita tidak akan bertemu lagi!."
"Bu Kirana...!."
"Apa kamu tau Rini? Sangat sakit di khianati orang yang kita percayai!," jelas Kirana dan itulah kata-kata terakhirnya. Setelah itu ia pun segera pergi meninggalkan Rini dengan penyesalannya.
Bersambung...