Alastar adalah sosok yang terperangkap dalam kisah kelam keluarga yang retak, di mana setiap harinya ia berjuang dengan perasaan hampa dan kecemasan yang datang tanpa bisa dihindari. Kehidupan rumah tangga yang penuh gejolak membuatnya merindukan kedamaian yang jarang datang. Namun, pertemuannya dengan Kayana, seorang gadis yang juga terjerat dalam kebisuan keluarganya yang penuh konflik, mengubah segalanya. Bersama-sama, mereka saling menguatkan, belajar untuk mengatasi luka batin dan trauma yang mengikat mereka, serta mencari cara untuk merangkai kembali harapan dalam hidup yang penuh ketidakpastian. Mereka menyadari bahwa meski keluarga mereka runtuh, mereka berdua masih bisa menciptakan kebahagiaan meski dalam sepi yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bita_Azzhr17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Jejak di Tengah Keraguan
Langit sore mulai meredup ketika Alastar melangkah keluar dari ruang ganti. Latihan basket hari itu cukup menguras tenaga, tetapi pikirannya terus melayang pada Kayana. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam cara gadis itu memandangnya belakangan ini. Namun, sebelum ia sempat menenangkan pikirannya, langkahnya terhenti ketika melihat sosok Frasha di ujung koridor.
Frasha, dengan tatapan dinginnya yang khas, tengah berdiri bersama Alarick. Mereka berbicara pelan, tetapi ekspresi Alarick tampak lebih santai dibandingkan Frasha yang tetap mempertahankan sikap tegasnya. Alastar menatap mereka dari kejauhan, tak ingin mengganggu, tetapi juga tak bisa mengabaikan perasaan aneh yang muncul dalam dirinya.
"Apa yang lo lihat?"
Suara Kayana mengejutkannya. Gadis itu muncul di sebelahnya dengan membawa botol air di tangan. Matanya mengikuti arah pandang Alastar, hingga berhenti pada sosok Frasha dan Alarick.
"Frasha," jawab Alastar singkat, masih menatap ke depan.
Kayana mengangkat alisnya. "Lo nggak ganggu dia lagi, ya? Biasanya lo nggak pernah absen buat bikin dia kesel."
Alastar tertawa kecil, tetapi nada suaranya terdengar berat. "Dia sibuk. Gue nggak mau bikin dia tambah pusing."
Kayana menoleh, memperhatikan ekspresi Alastar yang berubah serius. Ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya, sesuatu yang tidak biasa ia lihat dari sosok tengil yang selalu menghidupkan suasana.
"Alastar," panggil Kayana pelan, suaranya sedikit ragu.
"Hmm?" Alastar berbalik menatapnya.
"Lo... masih suka sama Frasha?"
Pertanyaan itu seperti petir di sore yang tenang. Alastar terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kayana. Ia tahu pertanyaan itu bukan hal sepele, terutama dengan nada Kayana yang terdengar hati-hati.
"Kenapa nanya gitu?" balas Alastar, suaranya terdengar samar.
Kayana menghela napas pelan. "Karena minggu-minggu terakhir ini, lo nggak pernah nyariin dia lagi. Lo nggak pernah bikin dia kesel atau pura-pura sok akrab kayak biasanya."
Alastar mengalihkan pandangannya ke arah Frasha dan Alarick yang masih berbicara. Kali ini, ada senyum kecil di wajah Alarick, tetapi Frasha tetap dingin seperti biasa.
"Gue nggak tahu, Kay," jawab Alastar akhirnya, jujur dengan perasaannya. "Mungkin gue cuma capek ngejar sesuatu yang nggak akan pernah bisa gue dapetin."
Kayana menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang ingin ia katakan. Tetapi Alastar menoleh padanya, memberikan senyuman kecil yang membuat Kayana merasa aneh.
"Lo sendiri gimana?" tanya Alastar tiba-tiba. "Gue tahu lo juga sering mikir sesuatu, tapi nggak pernah bilang ke gue."
Kayana tertawa kecil, tetapi suaranya terdengar getir. "Kita ngomongin lo, bukan gue."
Sebelum Alastar sempat membalas, langkah kaki Frasha mendekat. Gadis itu berhenti beberapa meter dari mereka, tatapannya yang tajam segera tertuju pada Alastar.
"Alastar," panggilnya dingin. "Gue mau ngomong soal acara OSIS minggu depan. Ada waktu?"
Alastar menelan ludah, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. "Ya, gue ada. Apa yang perlu dibahas?"
Frasha mengangguk pelan, tetapi matanya sempat melirik Kayana. Ada ketegangan yang tidak terucapkan di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata.
"Besok aja kita bahas," ujar Frasha akhirnya, sebelum berbalik dan melangkah pergi.
Ketika sosoknya menghilang di balik koridor, Kayana menatap Alastar dengan pandangan penuh tanda tanya.
"Kayak gini terus, lo bakal gila, Star," katanya pelan.
Namun, Alastar hanya tersenyum tipis, seperti menyembunyikan sesuatu di balik tatapannya.
****
Rumah besar itu seolah memiliki nuansa yang selalu dingin, meski dihuni oleh orang-orang. Kayana, yang baru saja selesai memasak, keluar dari dapur sambil membawa panci di tangannya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat pemandangan di ruang makan.
Seorang wanita, berpakaian rapi dengan aroma parfum yang terlalu mencolok, duduk di meja makan bersama papanya. Wanita itu tersenyum, mencoba terlihat ramah, tetapi tatapannya penuh kepalsuan.
Wajah Kayana memerah, napasnya memburu. Tanpa aba-aba, ia melemparkan panci di tangannya ke arah meja makan, membuat bunyi dentingan keras yang menggema di seluruh ruangan.
“KAYANA!” suara keras papanya terdengar, tetapi Kayana tidak peduli. Ia menatap wanita itu dengan tajam, seperti api yang siap membakar siapa saja yang berani mendekat.
Wanita itu tampak terkejut, berusaha tetap tenang meskipun wajahnya memucat. “Kayaknya… aku lebih baik pulang saja,” ucapnya sambil berdiri dengan cepat. Ia mengambil tasnya, berusaha menghindari tatapan Kayana yang seakan bisa menelanjangi seluruh kebohongannya.
“Bagus. Pergi sekarang juga!” Kayana berseru, nada suaranya penuh amarah.
Wanita itu berjalan keluar dengan langkah tergesa, meninggalkan ruangan yang kini dipenuhi ketegangan. Begitu pintu tertutup, Kayana berbalik menatap papanya dengan sorot mata yang sama tajamnya.
“Papa pikir aku nggak tahu apa yang papa lakuin? Papa bawa dia ke sini, ke rumah ini, yang seharusnya jadi tempat keluarga kita?!” suara Kayana pecah, tetapi setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti pisau yang menusuk.
Papanya, yang biasanya mendominasi, kini terlihat terguncang. Tetapi ia segera menegakkan tubuhnya, mencoba mengambil kendali atas situasi.
“Kamu nggak punya hak buat bicara seperti itu!” balasnya dengan nada tinggi. “Papa yang kerja keras buat kamu, buat rumah ini!”
Kayana tertawa sinis. “Kerja keras? Kerja keras buat apa? Buat bawa perempuan itu ke sini? Buat menghancurkan keluarga ini lebih dari yang udah papa lakuin selama ini?”
“KAMU JANGAN KURANGAJAR, KAYANA!!” suara papanya semakin keras, tetapi Kayana tidak gentar. Ia maju mendekat, berdiri hanya beberapa langkah dari papanya.
“Kurang ajar? Oh, jadi sekarang aku yang kurang ajar? Papa tahu nggak, aku capek hidup di rumah ini! Rumah yang isinya cuma kebohongan, kekerasan, dan ego papa yang nggak ada habisnya!”
Papanya mengangkat tangan, tetapi berhenti di udara, tangannya gemetar. Kayana tidak bergeming, tatapannya tetap tajam.
“Pukul aku,” tantangnya, suaranya rendah tetapi penuh keberanian. “Papa selalu bilang papa paling berkuasa, kan? Papa selalu ngerasa paling benar. Jadi, pukul aja kalau itu bikin papa puas.”
Papanya terdiam, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, tetapi ia tidak bisa bergerak. Ada sesuatu dalam tatapan Kayana yang membuatnya merasa kalah untuk pertama kalinya.
“Aku muak sama papa,” kata Kayana akhirnya, suaranya melemah, tetapi tetap penuh kepahitan. “Dan aku muak sama hidup di rumah ini.”
Tanpa menunggu balasan, Kayana berbalik dan berjalan menuju kamarnya, membanting pintu dengan keras. Di dalam kamarnya, air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah, tetapi ia tidak membiarkan isakannya terdengar. Baginya, menunjukkan kelemahan adalah sesuatu yang tidak akan pernah ia lakukan, terutama di hadapan papanya.
Di ruang makan, papanya duduk di kursi dengan wajah muram. Panci yang dilempar Kayana masih tergeletak di atas meja, menjadi saksi bisu dari ledakan emosi yang baru saja terjadi.