Ares dan Rara bersahabat baik dari kecil. Tidak mau kehilangan Ares membuat Rara mempertahankan hubungan mereka hanya sebatas sahabat dan memilih Arno menjadi pacarnya. Masalah muncul saat Papa Rara yang diktator menjodohkan Ares dan Rara jatuh sakit. Sikap buruk Arno muncul membuat Rara tidak mempertimbangkan dua kali untuk memutus hubungan seumur jagung mereka. Ares pun hampir menerima perempuan lain karena tidak tahan dengan sikap menyebalkan Rara. Namun demi melindungi Rara ,memenuhi keinginan papa dan membalas Arno. Akhirnya Rara dan Ares menikah. Hari - hari pernikahan mereka dimulai dan Rara menyadari kalau menjadi istri Ares tidak akan membuatnya kehilangan lelaki itu. Lantas bagaimana kelanjutan hubungan mereka yang sebelumnya sahabat menjadi suami istri serta bagaimana jika yang sakit hati menuntut balas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Calistatj, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 2
Aku mendorong kesal dada Ares hingga lelaki itu terpaksa mundur selangkah. “Apa - apaan?” Tanyaku kesal. Waktu berjalan sangat cepat. Aku sudah lulus kuliah dan sedang magang di perusaah keluarga Ares sementara Ares magang di kantorku sebelum kami siap mengelola usaha orang tua kami masing - masing.
“Kenapa, Ra?” Tanya Ares bingung.
“Kenapa kamu mau dijodohin sama aku!” Aku memukul dadanya. Seumur hidup aku tidak pernah berpikir untuk menikah dengan sahabatku sendiri. Apalagi orang itu adalah Ares. Ares Elano yang selama belasan tahun berada di sisiku sekalipun menjadi orang terakhir di muka bumi aku tidak berniat mengencaninya apalagi menikah. Alasannya sederhana. Sesederhana aku membutuhkan Ares untuk menjadi seseorang yang tidak akan pernah pergi. Pacaran bisa putus dan berakhir menjadi asing. Sama dengan menikah. Bagaimana kalau kami tidak cocok sebagai teman hidup dan memutuskan bercerai? Bagaimana caraku memandang Ares nantinya? Cinta bisa merusak segalanya bukan?
“Tenang dulu” Kata Ares santai dan menenangkan.
“Gimana aku bisa tenang, Res? Papaku menetapkan kamu sebagai calon suami aku secara sepihak tanpa bertanya dulu sama aku dan kamu setuju tanpa diskusi sama aku! Kamu kan tau kalau aku pacaran sama orang lain yang bisa nerima aku apa adanya!” Nafasku turun naik. Tubuhku bergetar menahan amarah dan rasa kecewa yang berkombinasi menjadi rasa yang cukup menyakitkan.
“Terus menurut lo gue nggak nerima lo apa adanya selama ini?”
Aku bisa melihat kalau tensi di antara kami mulai menegang. Tatapan mata Ares yang lembut mulai merubah ditutupi rasa kecewa karena ucapanku tapi aku sama sekali tidak merasa ada yang salah dengan perkataanku. “Ya memang kan? Kamu si idola sekolah dan aku si kutu buku. Mau dilihat dari manapun kita nggak serasi, Res. Nggak akan pernah serasi! Kita cuma sahabat kan makanya wajar kamu bisa terima aku apa adanya, karena kamu nggak ada perasaan apapun buat aku”
“Terserah lo. Lo silakan bicara sama bokap lo dan urus pembatalan perjodohan kita, Ra” Ares memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana dan kembali masuk ke dalam rumahnya. Aku langsung mengkonfrontasinya saat dia baru sampai di rumah.
“Kamu nggak usah nurut apa maunya papaku… itu cuma membuat dia merasa paling benar seumur hidup” kataku sebelum Ares benar - benar menjauh. Langkah lelaki itu sempat terhenti sebelum akhirnya menjauh.
***
Aku membaringkan tubuh di atas kasur sambil menatap langit - langit kamar. Aku sama sekali tidak menyangka kalau kejutan yang papaku berikan di usia yang menginjak 24 tahun ini adalah sebuah perjodohan dengan sahabatku sendiri. Ares Elano.
“Selamat ulang tahun Anjani Rara Divia. Anak papa satu - satunya. Papa punya kejutan buat kamu” kata Papa sambil duduk di ruang tamu.
“Apa, Pa?” tanyaku seraya mengambil duduk di hadapan papa. Saat itu aku baru saja kembali dari bekerja sebagai finance di perusahaan papa Ares.
“Papa dan Om Lukman setuju untuk menikahkan kamu dan Ares”
“Hah? Apaan si, Pa? Kan aku sama Ares cuma sahabat. Ares juga nggak mungkin mau kan” Aku tertawa berusaha menenangkan perasaanku yang mulai kacau dan meyakini kalau Ares tidak akan menerima perjodohan macam ini. Ares dan aku sudah sepakat untuk menjadi sahabat selamanya.
“Ares setuju untuk menikah sama kamu, Rara. Nggak akan ada yang menerima kamu sebaik Ares di dunia ini”
“Nggak mungkin, Pa. Mana mungkin cowok setampan Ares suka perempuan kayak Rara”
“Nggak usah peduli soal suka atau nggak suka, Rara. Yang kamu perlu pikirkan adalah lelaki baik yang bersedia ada di samping kamu kalau papa sudah nggak ada”
“Tapi, Rara kan sudah punya pacar, Pa”
“Siapa? Arno? Kamu pikir Arno cinta sama kamu?”
“Kalau Arno nggak cinta Rara… nggak mungkin kita pacaran, Pa”
“Jangan terlalu naif, Rara. Jangan hanya berpikir kalau pacar sebulan kamu itu benar - benar mencintai kamu dan solusi untuk kebahagiaan kamu”
“Selama ini Arno selalu membuat Rara bahagia, Pa. Dan itu cukup buat Rara”
“Terus bagaimana sama Ares yang membuat kamu tersenyum selama belasan tahun?”
“Ya, itu kan hanya kewajiban Ares sebagai sahabat Rara, Pa”
“Takdir kamu selalu Papa yang tentukan, Rara. Menikah ama Ares. Dengan begitu Papa punya jaminan soal kebahagiaan kamu”
“Kebahagiaan aku atau kebahagiaan, Papa?”
“Persetan, Ra. Lakuin saja apa yang Papa minta”
Aku menarik nafas ketika memoriku mulai memutar pertengkaran bersama Ares tadi. Semua orang berpikir kalau Ares terlalu sempurna untuk orang sepertiku. Jujur aku tidak yakin kalau pria setampan Ares akan menyukai perempuan sebiasa diriku.
Aku bercermin setiap hari dan tau kalau tidak seujung rambut pun pantas bersanding bersama Ares yang superior. Lagi pula aku sudah menerima Arno - teman semasa SMA yang bertemu kembali dan menjadi pacarku. Mana mungkin aku meninggalkan Arno untuk menerima perjodohannya bersama Ares.
“NGGAK! Ares nggak akan mungkin suka sama aku dan aku cuma sayang Arno” lirihku disusul tangis yang tidak bisa aku bagi lagi.
Dari dulu Ares adalah tempat untuk menangis. Bahu lelaki itu sekokoh batu karang, karena mampu menahan perasaan sakitku selama bertahun - tahun dan menguatkan aku. Sekarang aku bahkan tidak bisa berlari untuk mengeluhkan hidup bersama Ares. Ini membuat perasaanku benar - benar terasa sakit. Aku merasa kalau pertengkaran tadi membuatku kehilangan sosok yang selama ini sangat aku takutkan jika dia menghilang dari hidupku.
Aku yang sedikit gemuk dengan tubuh mungil dan berkacamata tebal ini adalah korban bully di sekolah dulu. Semua orang yang aku sukai tidak pernah menyukaiku. Sampai rumah kosong di sebelah rumah terisi oleh sebuah keluarga dan anak lelaki seusiaku yang tampan. Itu Ares dan keluarganya. Sejak saat itu aku selalu bermain bersama Ares dan aku mulai membagi rasa sakitku kepadanya. Mulai dari kediktatoran papa yang membuat tersiksa hingga impian yang harus aku kubur dengan rapat.
Ares dan segala gombalannya yang tidak bisa aku bedakan keseriusan dan candaannya menemani masa remaja hingga saat ini. Dari dulu lelaki itu selalu berkata kalau dia ingin menikah denganku atau berkata kalau aku adalah solusi untuk masalahnya. Aku adalah orang yang paling cocok menjadi istrinya karena dia mengenalku dengan sangat - sangat baik. Aku tidak pernah berani bertanya tentang kebenaran hal itu karena aku terlalu takut kehilangan orang paling penting diurutan kedua dalam hidup.
Aku berjalan keluar ke balkon kamar tempat termudah menemukan Ares yang suka terduduk di balkon sambil merokok dan bermain gitar meramaikan malam sunyiku. Tapi, malam itu. Malam setelah kami bertengkar. Ares tidak muncul di balkon dan aku mulai merasa kehilangan. Aku merasa terbelenggu dalam ikatan persahabatan yang kami jalin selama belasan tahun ini. Apakah Ares pun merasakan demikian?