Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16: Dara yang Gila
Dara turun dari mobilnya dengan wajah muram. Ia kelihatan lelah dan tidak bersemangat setelah mengantar Rival ke bandara. Setelah ini, ia harus kembali berpisah untuk waktu yang lama. Rival tak bisa selalu menemuinya. Terkadang dua minggu atau bahkan satu bulan baru bisa datang.
"Baru pulang?"
Saat Dara menginjakkan kaki di ruang tengah, terdengar suara Trian yang tengah duduk menonton televisi di sana.
Dara turut duduk di sofa sembari menyandarkan tubuhnya. Ia membuka dua kancing teratas kemejanya.
"Pasti semalam kamu menemui Rival lagi," tebak Trian.
Dara tertawa kecil. "Kenapa? Kamu mau melaporkannya kepada ayahku?" tanyanya. Ia merasa kesal diinterogasi seperti itu.
"Apa kamu tidak bisa berhenti?" tanya Trian balik.
"Sudahlah, kenapa dipermasalahkan? Lagipula, kami juga tidak melakukan apa-apa. Kamu kan tahu sendiri aku sedang datang bulan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Lakukan saja tugasmu untuk menjadi suami pura-pura," jawab Dara.
Trian menghela napas panjang. Ia mencoba bersabar menghadapi istrinya. "Dara, please ... Satu anakmu saja tidak terurus. Jangan sampai kamu menambah masalah lagi. Aku tahu kamu cuma pura-pura datang bulan. Seharusnya belum tanggalnya, kan? Atau setidaknya kamu minum lagi obatnya. Jaga dirimu jangan sampai hamil lagi," tegur Trian.
"Ah! Cerewet!" bentak Dara seraya membanting tas miliknya.
Baru saja ia bersedih dengan kepergian Rival, sekarang ucapan Trian menambah kekesalannya. "Kamu ini hanya perlu diam, Trian! Kamu tidak berhak memberiku pendapat! Aku akan melakukan apa yang menurutku benar. Jangan ikut campur!" makinya.
Trian rasa Dara itu sudah masuk kategori sakit jiwa. Seharusnya dia dirawat di rumah sakit jika. Apa yang Dara khayalkan benar-benar di luar logika. Menginginkan sesuatu sampai menjadi gila.
"Dara, cara berpikir lelaki itu berbeda dengan wanita. Lelaki lebih mengutamakan na fsunya dibandingkan perasaannya. Apa yang mereka lakukan hanya untuk memuaskan na fsu, bukan cinta. Dia bisa saja berpaling jika menemukan wanita yang lebih menarik baginya," tutur Trian.
Dara tidak terima. Ia mendekati Trian dan mencengkeram kerah baju sembari melemparkan tatapan mata tajam penuh kemarahan. Trian berusaha tetap bersikap tenang.
"Kamu jangan sok tahu! Kami sudah saling mencintai lama sebelum pernikahan busuk itu terjadi! Dia hanya terpaksa menikah! Dia sangat mencintaiku! Dia tidak mencintai istrinya!" tegas Dara. Ia kesal Trian meremehkan cinta Rival terhadapnya.
"Apa kamu pikir jika nanti kamu hamil, Rival akan menceraikan istrinya?" tanya Trian.
"Ya! Tentu saja! Itu pasti! Rival pasti akan semakin mencintaiku dan menceraikan istrinya," kata Dara dengan penuh keyakinan.
Trian menatap Dara. Tampak mata Dara berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar. Tak lama kemudian, wanita itu menangis sembari memeluk Trian.
Trian hanya bisa menepuk-nepuk punggung Dara, membiarkan wanita itu menangis sepuasnya.
Trian tak bisa mengabaikan Dara. Meskipun menyebalkan, ia juga kasihan terhadap wanita itu. Menurutnya Dara hanya wanita yang naif dan dibutakan oleh cinta.
Dulu, Dara pikir jika ia bisa hamil, maka Rival akan bertanggung jawab untuk menikahinya. Makanya dia rela menyerahkan tubuhnya kepada Rival. Kenyataannya, Rival tak bisa berbuat apa-apa. Rival tetap bersama istrinya dan Dara harus menanggung kesusahan melahirkan anak sendiri. Bahkan membuat banyak orang kesusahan untuk menutupi perilaku Dara.
Orang tua Dara sudah berusaha memisahkan mereka, tapi tetap saja Dara terbuai dengan cinta Rival. Meskipun ada Trian, Dara juga masih suka bertemu dengan Rival seenaknya. Padahal sudah sering diingatkan agar setidaknya memakai pengaman.
"Rival tidak akan bisa menikahimu meskipun kamu hamil lagi, Dara," ucap Trian ketika kondisi Dara sudah semakin tenang.
"Trian, dia itu sangat mencintaiku. Dia hanya ingin punya anak dariku. Kalau aku hamil lagi, dia akan semakin mencintaiku," bantah Dara.
Trian benar-benar sedang menghadapi orang gila. Diberi nasihat tidak akan mau didengarkan.
"Kalau dia mencintaimu, dia akan bercerai dengan istrinya dan menikahimu," timpal Trian.
"Ya, nanti juga mereka akan bercerai. Dia sudah enam tahun mengabaikan istrinya. Lama kelamaan istrinya juga akan menyerah. Apalagi dia tidak punya anak dari Trian," kata Dara dengan penuh keyakinan.
Trian hanya bisa geleng-geleng kepala. "Setidaknya tunggu mereka bercerai dulu. Kamu mau punya anak dua, tiga, atau sepuluh, lakukan saja. Tapi, jangan menambah anak sebelum dia menceraikan istrinya."
Mendengar kata-kata Trian, Dara menjadi lebih tenang. Kekesalannya perlahan mereda.
"Apa mau aku ajari cara mendapatkan perhatian lelaki?" tanya Trian.
Dara melepaskan diri dari pelukan Trian. Ia duduk tenang tepat di samping Trian dengan tatapan penuh fokus. "Apa?" tanyanya penasaran.
"Berhenti menghubungi dia!" kata Trian.
Dara tercengang. "Apa kamu sudah gila? Nanti Rival malah meninggalkanku," protesnya. Menurut Dara, ide Trian sama sekali tak berguna.
Trian menggeleng. "Coba saja dulu. Lelaki kalau diabaikan, dia yang akan mengejar. Tapi, kalau kamu yang mengejar-ngejar, dia akan menyepelekan. Jadi, kalau kamu ingin mendapatkannya, buat dia yang mengejarmu," ucapnya.
Dara mencoba mencerna ide yang Trian berikan. Ia merenungi bagaimana hubungannya selama ini berjalan. Memang, Rival hanya menemuinya jika dia sudah kesal dan marah. Rival tak pernah berinisiatif menemuinya sendiri.
Trian menepuk kepala Dara dengan lembut. "Kamu ini kenapa seperti ini? Kamu masih muda dan cantik. Dunia ini sangat luas, bukan hanya ada Rival saja. Apa kamu tidak mau mengenal lelaki lain yang lebih baik? Tentunya yang belum menikah."
Dara tertawa kecil. "Kenapa? Kamu berharap aku bisa mencintaimu karena kita menikah?" tanyanya.
Trian menggeleng. "Kamu bisa mencintai siapa saja yang kamu inginkan. Tidak harus aku," kilahnya.
"Sayangnya, aku hanya mencintai Rival!" kata Dara.
Trian menghela napas. "Maksudnya yang belum menikah ...," ucapnya kesal.
Dara hanya tertawa dengan ekspresi wajah yang Trian tunjukkan.
"Lebih baik sekarang kamu minum pil KB darurat saja dulu supaya tidak hamil. Jangan sampai nanti kamu hamil lagi dan merepotkan orang lain," gerutu Trian.
"Iya, iya ...," jawab Dara kesal.
"Kalau kamu tidak menurut, aku benar-benar akan melaporkan semuanya kepada ayahmu. Aku lelah sekali mengurusimu," gerutu Trian lagi.
"Iya, ini aku akan ke kamar dan meminum obatnya! Kamu jangan banyak bicara, aku pusing!" omel Dara.
Dara akhirnya mengalah dan pergi ke kamarnya. Trian merasa lega. Ia juga berharap bisa segera berhenti dari pernikahan pura-pura itu.
Trian berharap Dara segera menyerah tentang Rival atau menemukan cinta barunya. Sementara, dirinya akan memulai kehidupannya dari awal. Ia berharap waktu itu akan segera tiba.
"Trian ...." panggil Dara dari dalam kamar.
"Apa?" sahut Trian.
"Kamu membelikan aku banyak pembalut?" tanya Dara.
"Ya, supaya kamu tidak ada alasan untuk meminjam ke tetangga lagi!" jawab Trian yang masih trauma dengan kejadian pembalut kemarin itu.