John Ailil, pria bule yang pernah mengalami trauma mendalam dalam hubungan asmara, mendapati dirinya terjerat dalam hubungan tak terduga dengan seorang gadis muda yang polos. Pada malam yang tak terkendali, Nadira dalam pengaruh obat, mendatangi John yang berada di bawah pengaruh alkohol. Mereka terlibat one night stand.
Sejak kejadian itu, Nadira terus memburu dan menyatakan keinginannya untuk menikah dengan John, sedangkan John tak ingin berkomitmen menjalin hubungan romantis, apalagi menikah. Saat Nadira berhenti mengejar, menjauh darinya dan membuka hati untuk pria lain, John malah tak terima dan bertekad memiliki Nadira.
Namun, kenyataan mengejutkan terungkap, ternyata Nadira adalah putri dari pria yang pernah hampir menghancurkan perusahaan John. Situasi semakin rumit ketika diketahui bahwa Nadira sedang mengandung anak John.
Bagaimanakah akhir dari kisah cinta mereka? Akankah mereka tetap bersama atau memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Menunggu
John menghela napas panjang, namun sesaat kemudian malah balik bertanya, "Berapa nomor rekening kamu?"
Nadira mengernyit. "Nomor rekening? Apa maksud Om?"
John menatap Nadira dengan ekspresi lelah, kembali menghela napas panjang sebelum berbicara. "Kamu butuh uang untuk pulang dan... untuk semalam, 'kan? Berapa yang kamu butuhkan? Aku akan memberikannya."
Senyum Nadira muncul, namun terasa getir. Matanya memancarkan kekecewaan. "Jadi, Om pikir aku menjual diri?" tanyanya, suaranya bergetar. Ia duduk dengan tangan kanan meremas selimut yang ia pegang untuk menutupi tubuhnya, sementara tangan kirinya terkepal.
John mengalihkan pandangan sejenak sebelum kembali menatap Nadira. "Aku tidak melihatmu seperti itu," ucapnya pelan. "Hanya saja, aku terbiasa menghargai apa pun dan tidak ingin berutang budi pada siapa pun, apalagi seseorang yang baru kukenal."
Nadira menatap John dengan mata berkaca-kaca, suaranya penuh keputusasaan. "Aku tidak menginginkan uang atau apa pun, Om. Aku hanya ingin Om menikahiku. Aku butuh seseorang yang bisa melindungi aku."
John tersenyum tipis, namun tatapannya kosong. "Aku bukan pria yang mencari hubungan romantis, apalagi komitmen seperti pernikahan. Maaf, aku tidak bisa melakukannya. Jika ada hal lain yang kamu butuhkan, hubungi aku." Dia meletakkan kartu namanya di atas ranjang, lalu berbalik menuju pintu.
Nadira merasakan hatinya hancur. Dengan suara bergetar, ia berkata, "Om telah mengambil sesuatu yang paling berharga dariku, lalu pergi begitu saja seolah tidak ada artinya. Tidakkah Om mengerti betapa besar artinya itu bagiku?"
Langkah John terhenti di depan pintu. Ia menarik napas dalam, lalu menoleh dengan ekspresi yang lebih tegas. "Kita melakukannya karena keinginan bersama, Nadira. Aku bahkan sudah ingin berhenti tadi malam, tapi kamu memohon untuk melanjutkannya. Tidak ada kewajiban apa pun di antara kita." John melanjutkan langkahnya dan keluar dari kamar itu.
Nadira menatap pintu yang baru saja dilalui John, air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. John adalah orang yang menyelamatkannya ketika ia hampir menjadi korban pelecehan oleh sekelompok pria. Semalam, ayahnya membawanya ke klub malam itu untuk dijadikan hadiah bagi salah satu rekan bisnisnya.
Namun, Nadira berhasil melarikan diri dan secara kebetulan melihat John. Sejak pertemuan pertama mereka, saat John menolongnya, perasaan suka mulai tumbuh di hatinya. Maka dari itu, tanpa ragu, ia menyerahkan hal paling berharga yang dimilikinya kepada John, berharap cinta itu terbalas dengan pernikahan. Keyakinannya semakin kuat karena John tidak memakai cincin kawin di jarinya.
John mengendarai mobilnya menuju rumah sahabatnya yang sudah dianggapnya keluarga. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar pada kejadian semalam bersama Nadira. Tanpa bisa ditahan, ia kembali mengingat bagaimana Nadira menyambutnya dengan ketulusan yang tak pernah ia temui sebelumnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menyingkirkan bayangan mata Nadira yang bersinar penuh perasaan saat menatapnya.
"Kenapa aku merasa aneh begini?" pikirnya sambil mengencangkan pegangan pada setir. "Ini seharusnya hanya semalam, tak lebih dari itu. Tapi... kenapa aku merasa dia berbeda?"
Bayangan percakapan mereka sebelum ia meninggalkan kamar itu menelusup ke benaknya. Ketidakpedulian yang ia tunjukkan, responsnya yang dingin, semua kembali menghantuinya. Sungguh, ia tak pernah merasa bersalah seperti ini sebelumnya. Tiba-tiba, seperti petir yang menyambar, ingatannya melompat ke satu detail penting.
"Sial!" gumamnya seraya menepuk setir. "Semalam aku tak pakai pengaman."
Rasa khawatir mulai merayap di dadanya. Seandainya Nadira hamil, bagaimana ia akan bertanggung jawab? "Apa yang sudah kulakukan?" bisiknya pelan. "Ini bisa menghancurkan hidupnya... dan hidupku."
John memiliki trauma mendalam dalam menjalin hubungan romantis. Pengalaman pahit ditinggalkan oleh wanita yang sangat dicintainya saat ia berada di titik terendah hidupnya telah meninggalkan luka yang sulit sembuh. Saat ia seharusnya mendapatkan dukungan dan kekuatan, justru orang-orang yang dipercayainya berbalik mengkhianatinya. Kekasihnya, bahkan orang-orang terdekatnya, memilih pergi meninggalkannya di tengah keterpurukan itu. Sejak kejadian tersebut, kepercayaannya terhadap orang lain menjadi sangat rapuh.
Hanya satu orang yang tetap setia mendukungnya, Elin, istri sahabatnya, Zion. Elin selalu mempercayainya dan membantu John bangkit, memberikan dukungan yang tak pernah ia duga. Kini, bukan hanya Elin, tetapi seluruh keluarganya turut peduli dan mendukung John. Memang benar adanya, masa sulit adalah ujian untuk mengetahui siapa yang benar-benar tulus. Mereka yang setia akan bertahan di sisi kita, menghibur dan memberikan dukungan, sementara mereka yang tak tulus akan menjauh, bahkan menghilang.
***
Setelah membersihkan diri di kamar hotel, Nadira merapikan gaun yang sedikit robek di bagian dada. Ia menatap bayangannya di cermin, melihat mata sembabnya dan gaun yang kini tampak tak layak. Namun, ia tak punya pilihan. Pulang ke rumah bukan opsi yang aman, dan rasa takutnya pada ayahnya membuat pikirannya dipenuhi kecemasan.
"Aku harus menemukan Om John. Dia satu-satunya yang mungkin bisa menolongku sekarang," bisiknya pada diri sendiri, mencoba menyuntikkan keberanian. Dengan langkah cepat, ia meninggalkan kamar hotel.
Di luar, kota ini terbungkus dalam awan kelabu, dan gerimis ringan turun di tanah. Suasana ini menciptakan perasaan kesedihan dan keputusasaan. Udara dingin merasuk sampai ke tulang, membuat Nadira menggigil. Ia meremas kartu nama John di tangannya, alamat apartemen itu menjadi satu-satunya harapannya. Dengan uang seadanya, ia menaiki ojek dan memberikan alamat kepada sopir. Sepanjang perjalanan, Nadira duduk diam, tangannya gemetar saat memegang tas kecilnya.
"Jika Om John tak mau membantuku... apa yang harus kulakukan? Kembali ke rumah? Tidak, itu mustahil. Tapi kalau dia menolak, ke mana lagi aku bisa pergi?" pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan itu.
Ojek berhenti di depan apartemen elit yang menjulang tinggi, membuat Nadira merasa semakin kecil. Gedung itu seolah memancarkan aura eksklusif yang membuatnya tak nyaman. Ia menarik napas panjang sebelum melangkah masuk, menutupi sobekan di gaunnya dengan rambut panjangnya. Di lobby, penjaga menatapnya dengan kecurigaan.
"Siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya penjaga itu, suaranya formal dan tegas.
Nadira mengulurkan kartu nama John dengan tangan gemetar. "Saya... saya di sini untuk menemui John," katanya, suaranya bergetar.
Penjaga itu memeriksa kartu tersebut, kemudian mengangguk dan mengizinkannya masuk setelah memverifikasi identitas John. Dengan langkah ragu, Nadira menaiki lift ke lantai tempat unit John berada. Setiap detik terasa seperti menit, dan jantungnya berdetak lebih cepat seiring bertambahnya lantai yang dilewati.
Tiba di depan pintu unit John, Nadira mengangkat tangannya yang gemetar dan menekan bel. Suara bel yang menggema di dalam ruangan terasa memekakkan telinganya. Tapi, tidak ada jawaban. Ia menekan bel lagi, lalu lagi, tetapi tetap tidak ada respons.
Kepanikan mulai merayap. Nadira mengedarkan pandangan ke lorong yang sepi, hanya terdengar suara langkah samar dari penghuni lain yang lewat sesekali. Ia akhirnya duduk di depan pintu, memeluk lututnya, berusaha mengabaikan tatapan aneh yang datang dari beberapa orang yang lewat.
"Aku tak akan pergi sampai Om John keluar. Aku harus berbicara dengannya... aku harus," katanya dalam hati, menguatkan tekadnya sambil memejamkan mata sejenak untuk menahan air mata.
Nadira menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke lantai marmer dingin di depan pintu unit apartemen John. Wajahnya lelah, dan tubuhnya sedikit gemetar, bukan hanya karena rasa dingin, tetapi juga karena keputusasaan yang mulai merayap di hatinya. Gaunnya yang sobek di bagian dada membuatnya merasa terpapar dan tak berdaya, namun ia mencoba menutupi rasa malunya dengan rambut panjangnya yang tergerai.
"Kenapa aku harus sejauh ini? Apakah aku salah mempercayainya?"
...🍁💦🍁...
.
To be continued
beno Sandra dan sasa merasa ketar-ketir takut nadira mengambil haknya dan beno Sandra dan sasa jatuh jatuh miskin....
mampus org suruhan beno dihajar sampai babak belur sampai patah tulang masuk rmh sakit....
Akhirnya menyerah org suruhan beno resikonya sangat besar mematai2 nadira dan dihajar abis2an sm anak buahnya pm john....
belajarlah membuka hatimu tuk nadira dan nadira walaupun msh polos dan lugu sangat cocok john sangat patuh n penurut.....
Sampai kapan john akan hidup bayang2 masalalu dan belajar melangkah masa depan bersama nadira....
masak selamanya akan menjadi jomblo abadi/perjaka tuwiiiir🤣🤣🤣😂