Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
(Selalu perhatikan keterangan tanggalnya ya)
...30 April 2023...
Persidangan yang panjang itu akhirnya dimulai dengan perkara perebutan asset milik ayah Kiana –yang diklaim penuh oleh istri keduanya, Dewanti. Kiana dan mamanya ditemani oleh lawyer ternama kepercayaan Dierja datang ke persidangan. Dio tidak datang, hanya mengirimkan pesan pada Kiana untuk semangat dan ia akan selalu mendukungnya.
Pukul tiga sore, Kiana sudah menyelesaikan persidangannya dan langsung pulang. Sempat berpapasan dengan ibu tirinya, Kiana hampir kehilangan kesabaran. Terlebih saat perempuan yang hanya berbeda 3 tahun darinya itu tertawa sinis dan mengejek.
Kiana meluruskan punggungnya di kasur, menatap langit-langit sambil melamun. Sudah tiga hari berlalu, apa yang terjadi di rumah eyang masih juga mengganggunya.
Andai eyang tidak mengetuk pintu malam itu, duh ... Kiana jadi ngeri sendiri memikirkannya. Jelas sekali, Dio bahkan belum menyatakan cinta padanya. Pun dirinya yang masih terus menimbang-menimbang antara menerima atau menolak permintaan Dio dan keluarganya.
Tapi ... bisa-bisanya Kiana kehilangan akal. Mengikuti insting hewani yang dimilikinya dan hampir meluruhkan pakaian bersama Dio yang notabene adalah mantan suaminya.
Mantan.
Catat itu!
Kiana tahu, dirinya pasti sudah gila. Memikirkan hal yang terjadi malam itu saja sudah membuat pipinya terasa panas. Seolah, selama dua tahun ini ia juga sama merindunya. Menanti-nanti sentuhan Dio.
Ah ... ini gila!
Kiana segera bangkit dan bergerak menuju kamar mandi untuk membersihkan isi pikirannya yang terasa kotor. Selama 15 menit menikmati guyuran air, Kiana kembali dengan lebih segar. Ponselnya berbunyi saat itu dengan nama Dio yang muncul.
"Halo?"
"Aku punya tiket Evil Dead Rise dan nonton sendirian sepertinya nggak seru."
Kiana mengangkat sudut bibirnya, tersenyum. Selalu seperti itu, Dio. Mau mengajak nonton saja harus berbelit-belit.
"Terus?"
"Ehm ... kamu belum nonton juga, 'kan?"
"Belum sih."
"Mau nonton bareng nggak? Biar seru."
Kiana tertawa. Suara Dio yang terdengar hati-hati, canggung dan kelihatan bingung memang lucu. Kiana tidak bisa tidak tertawa.
"Oke ... oke. Jam berapa?"
"Sebentar lagi aku jemput."
"Aku siap-siap dulu."
Kiana memutus sambungan telepon lantas beralih ke meja rias dan sibuk di depan sana. Bayangannya saat Dio mengantarnya pulang ke rumah –saat mamanya di rumah sakit, dan membantunya mengeringkan rambut, kembali bergentayangan. Ia coba mengusirnya, namun tak urung membuat Kiana tersenyum.
Kiana sudah siap dengan crop top lengan pendeknya berwarna cream. Jeans dengan model wide leg berwarna dark blue. Kiana membiarkan rambutnya tergerai. Tas berwarna pink menjadi pelengkap penampilannya.
Tepat saat dia keluar rumah, Dio sudah menunggunya di depan gerbang. Berdiri dengan pakaian berwarna kesukaannya yakni putih. Sebuah kemeja putih yang di dalamnya terdapat kaos putih juga. Celananya yang dipakai laki-laki itu tak disangka memiliki warna yang sama dengan Kiana, jeans berwarna dark blue.
"Mama lagi istirahat ya?" tanya Dio seraya membuka pintu mobil untuk Kiana.
Perempuan itu mengangguk. "Kayaknya kelelahan habis dari siding tadi."
"Prosesnya mungkin lebih rumit, nanti. Eyang bilang, backing-an tante Dewanti yang bikin dia belum ditahan juga sampai hari ini terkait kecelakaan Mama. Tapi aku akan terus cari cara untuk bantu mama dan juga kamu."
Dio meletakkan tangannya dikemudi, ditatapnya Kiana.
"Your hair looks pretty."
"Ah ... terima kasih," ujar Kiana pelan. Hatinya berdebar hanya karena sbuah pujian. Rambutnya yang tadi sempat ia curly ternyata disadari oleh Dio. Sesuatu yang langka. Sebab dulu, saat Kiana bahkan mewarnai rambutnya, Dio bahkan tidak pernah menyadarinya apalagi memujinya.
"Nanti temenin aku cari kado untuk ulang tahun Kak Janie ya."
"Ah ... iya. Aku juga ditelepon Kak Janie buat datang ke pesta ulang tahunnya."
"Lusa, 'kan?"
"Iya."
"Nanti aku jemput."
"Padahal aku nggak pernah kontakan sama Kak Janie lagi dua tahun ini, tiba-tiba dia telepon dan nyuruh aku datang ke pesta ulang tahunnya."
"Mungkin Dhisa yang cerita."
"Soal apa?"
"Kita mau rujuk."
"Aku belum bilang mau loh."
Dio tertawa. "Memang maunya aku sih."
Kiana ikut tertawa.
Janieta Rubi Kartika adalah istri dari kakak pertama Dio, Kaivan Dierja. Mereka hidup harmonis dengan dua orang anak. Saat Kiana masih menjadi anggota keluarga Dierja, ia juga sering bertemu dengan Kak Janie. Anak tertuanya sudah kelas 3 SD dan anak keduanya balita berusia 5 tahun.
Hubungan Kiana dan Janie memang tak sedekat dengan Disha, namun Janie tetap sosok yang menyenangkan saat mengobrol. Ia tidak sibuk di perusahaan seperti Disha, Janie lebih fokus dengan butik dan lingkaran sosialitanya.
"Kita nggak berangkat sekarang?" tanya Kiana.
Ia berinisiatif memecah sunyi keduanya. Entah bagaimana, mereka berdua seperti terjebak oleh efek kejadian beberapa hari lalu di rumah eyang. Canggung, berhati-hati dan salah tingkah.
"Oh ... iya."
Dio yang canggung itu sangat menghibur bagi Kiana.
Perempuan itu, seperti biasa, bergerak menyalakan musik. Membiarkan lemonade milik Jeremy Pasion memenuhi ruang rungu mereka. Perjalanan diisi dengan gumaman pelan mengikuti lirik yang diciptakan sang penyanyi.
Kiana jadi ingat, Dio memiliki suara yang bagus saat menyanyi. Seperti di puncak, 2018 silam. Laki-laki itu menyanyikan lagu yang sama seperti yang mereka dengarkan sekarang.
"Nyanyi lagi dong," pinta Kiana. Dio melirik kiana sebentar untuk kemudian menggeleng seraya tersenyum malu.
"Nggak deh."
"Kenapa?"
"Sudah lama nggak pernah nyanyi."
"Padahal dulu di puncak bahkan main gitar," ledek Kiana.
Dio tergelak. "Itu 'kan demi biar kamu nggak marah."
"Wah ... tersanjung aku."
Keduanya tertawa.
"Selama dua tahun belakangan ini, kamu sibuk apa?"
Mereka cukup lama berpisah. Setelah Kiana memutuskan bercerai dari Dio, ia juga berhenti dari Sayap Kasih. Dio tidak tahu apapun soal Kiana selama ini.
"Aku kerja dari rumah untuk perusahaan suami Maura yang basisnya di UK sebagai content writer. Lebih banyak waktu males-malesannya sih," celetuk Kiana sambil tertawa. "Aku lebih sering bepergian ke beberapa tempat cuma untuk foto-foto nggak jelas. Pokoknya begitulah ... nothing special."
Dio hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Kiana. Ia akhirnya membiarkan hanya percakapan-percakapan kecil yang terjadi selama perjalanan. Takut bila mengungkit yang telah lama, Kiana mungkin bisa kembali mengingat luka. Bisa saja, rencananya untuk menyatakan perasaannya malam ini gagal.
Dio tidak mau itu terjadi.
Film bertema horror sejatinya bukan favorit Kiana. Ia tidak suka musik-musik jumpscare yang membuat jantungan. Terlebih saat hantu-hantunya berwajah seram yang susah hilang dari ingatan. Kiana penakut dan itulah kenapa ia tidak suka genre semacam ini.
Saat Dio menawarkan untuk menonton tadi, dalam benak Kiana hanya berisi 'pergi bersama Dio' tanpa peduli apa yang akan disaksikannya. Sekarang, setelah ffilm diputar, barulah ia menyesal. Belum-belum, ia sudah berdebar-debar.
Selama menikah, bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiana dan Dio menonton film, sehingga preferensi tontonan mereka tidak banyak. Entah karena lupa bertanya, atau memang Dio yang tidak peduli, suaminya tersebut bahkan tidak tahu apa yang disuka dan tak disuka olehnya.
Kiana sudah mengeratkan genggamannya ke kursi saat sosok Ellie berubah agresif dan menegangkan. Kiana bahkan sampai memalingkan wajahnya ke samping karena terlalu terkejut.
"Kia, are you okay?" Dio menatap Kiana khawatir.
"Honestly ... I don't like horror movies."
Dio membulatkan matanya, terkejut. "Kenapa nggak bilang?"
"Sayang tiketnya," akui Kiana.
Dio tersenyum tak percaya. "Mau keluar sekarang? Kita bisa menonton film lain."
"Tapi kamu suka film ini."
"Sekarang bukan tentang aku lagi, tapi tentang kamu."
Kiana merutuki hatinya yang berdebar. "Kita coba sebentar lagi ya, sepertinya masih oke."
"Ya sudah."
Kiana yang ketakutan berusaha mati-matian memejamkan mata. Musik yang keras, ruangan yang gelap, serta penampilan si pemeran hantu yang terlalu menghayati, duh ... Kiana sungguh takut bukan main.
"Kamu bisa sembunyi di aku," bisik Dio seraya membawa wajah Kiana kearah lengannya. "Mana tangan kamu?"
Perempuan itu nampak bingung, namun tak urung juga meletakkan jemarinya di tangan Dio. Laki-laki itu tidak berkata apapun, ia kembali fokus dengan filmnya sedangkan jemari Kiana digenggamnya erat.
Kiana selalu mencoba menganalisis apa yang dilakukan Dio padanya akhir-akhir ini. Sebagai bentuk 'bujukan' atau memang dirinya yang telah berubah. Kiana ingin melangkah pada keadaan yang pasti membuatnya bahagia. Bila Dio masih sama dengan laki-laki di tiga tahun pernikahan mereka, Kiana akan memilih menolak.
Ia hanya siap untuk bahagia sekarang.
Tidak untuk terluka.
Lagi.
Selama 90 menit terakhir, Kiana tidak benar-benar menikmati film. Ia memilih lebih banyak menyandarkan wajahnya ke lengan dan bahu Dio. Menikmati wangi parfum dari tubuh mantan suaminya yang tidak berubah. Sesekali mencuri pandang pada mata Dio yang serius, bibirnya yang kadang tersenyum kadang pouting dan itu sangat menggemaskan, juga pada debaran jantung Dio yang tanpa sengaja terekam indera Kiana.
"Aku betul-betul nggak akan pernah suka film horror," protes Kiana. Kini mereka sudah keluar dari bioskop dan akan mencari kado untuk ulang tahun Kak Janie.
Dio yang mendengar itu tersenyum. "Padahal aku mau sesekali mengajak kamu ke rumah."
Kiana mengernyit. "Untuk?"
"Netflix and chill."
"Ha?"
"Bercanda."
Dio tersenyum sambil melangkah pergi, meninggalkan Kiana yang terkejut dengan ucapan laki-laki itu. Bisa-bisanya, dengan wajah se-innocent itu dia mengatakan hal-hal yang menjurus.
"Hey, kita belum tentu rujuk ya," protes Kiana sambil menyamai langkah Dio.
Dio tidak menanggapi. Ia justru masuk ke dalam store Dior untuk melihat beberapa produk terbaru. Sebuah tas untuk seorang Janieta Ruby Kartika sepertinya memang cocok.
"Menurut kamu, Kak Janie suka yang ini atau ini?"
Kiana bergantian mengamati antara pilihan A dan B. Sempat bingung, namun Kiana justru memilih opsi C. Opsi buatannya sendiri yang membuat Dio mengernyit. Tas kecil berwarna hitam yang tampak manis.
"Kak Janie orangnya ceria, lincah. Tas besar menurutku kurang cocok untuk kepribadiannya."
"Beruntung aku datang sama kamu."
Akhirnya Dio memilih tas tersebut untuk ulang tahun kakak iparnya. Kiana tentu harus sedikit geleng-geleng kepala melihat harganya. Ia tidak berniat memberikan hadiah dengan merk yang sama. Tidak untuk sekarang. Asetnya saja masih dikuasai oleh Dewanti. Dia jatuh lumayan miskin sekarang.
"Kamu mau cari kado apa untuk Kak Janie?"
"Aku pikir ... aku akan buat sendiri hadiahnya."
"Buat?"
"Aku cukup miskin sekarang untuk bisa beliin Kak Janie tas seperti kamu."
"Ini saja aku cuma karena suruhan mama."
"Kayaknya mending kita makan sekarang deh."
"Beneran nggak mau cari kado? Kamu bisa pakai uangku. Atau ada tas yang kamu mau?"
"Aku lagi nggak berminat belanja. Lagi pula itu dulu, waktu aku istri kamu. Sekarang, aku bukan siapa-siapa, ingat?"
Dio terhenyak. Benar, mereka bukan siapa-siapa sekarang. Tapi, Dio ingin merubahnya menjadi 'siapa-siapa'. Sebab, ketika mereka bukan lagi siapa-siapa, dalam dua tahun yang panjang itu, Dio kehilangan sesuatu yang rasanya aneh. Seperti hidupnya yang mendadak hening.
Tanpa omelan Kiana.
Tanpa tawa Kiana.
Bahkan tanpa tangisan Kiana.
Sepertinya, Dio benar-benar ingin mengembalikan kata 'siapa-siapa' itu.
Mereka akhirnya menikmati makan malam di restoran. Menghabiskan makanan dengan obrolan-obrolan ringan, berbagi cerita tentang hari yang dilalui tanpa masing-masing. Dio lebih banyak mendengarkan, sebenarnya. Ia tiba-tiba jadi suka mendengarkan suara Kiana. Bagaimana storytelling Kiana yang suka dibumbui gesture yang lucu itu bisa membuat cerita biasa menjadi menyenangkan.
"Kamu tahu nggak, aku pernah dilamar seseorang."
Pertanyaan sekaligus pernyataan Kiana itu sontak membuat garpu berisi steak yang akan masuk ke mulut Dio tertahan, lalu kemudian kembali ke tempat semula.
"Kapan?"
Kiana nampak mengingat-ingat. "Sekitar setahun setelah kita bercerai lah."
"Siapa orangnya?"
Dio sejenak berusaha mengatur napasnya yang tiba-tiba seperti tertahan. Ada satu nama yang dikhawatirkannya lolos dari bibir Kiana. Satu nama yang menjadi titik baliknya kehilangan Kiana.
Tidak tepat juga sih menyalahkan orang lain.
Ia berpisah dengan Kiana jelas karena kesalahannya.
"Arshaan?"
Kiana membolakan matanya, terkejut. "No, bukan Arshaan." Lanjutnya, "Kamu ingat Ravin yang anak relawan Sayap Kasih? Kamu pernah pakai gitarnya untuk nyanyi saat acara gathering di puncak."
Dio terkejut, tentu saja.
Ravin adalah salah satu relawan Sayap Kasih yang bahkan terpaut usia 5-6 tahun dengan mereka. Bahkan saat bergabung dengan Sayap Kasih, Ravin masih sibuk dengan jadwal kuliahnya. Terlebih, tidak ada kedekatan apapun antara Kiana dan pemuda itu.
"Kenapa kaget begitu?" kekeh Kiana. "Aku cukup terkenal kok di kalangan cowok." Kiana meneguk lemon tea-nya.
"Kamu kapan dekat dengan Ravin?"
"Setelah memutuskan resign dari Sayap Kasih, aku nggak sengaja ketemu dia waktu di kebun teh Rancabali. Kebetulan dia ternyata anak fotografi jadi kami mengobrol lumayan nyambung."
Dio sepenuhnya kehilangan selera makan. Seingatnya, setelah mereka jelas ketuk palu di pengadilan, Dio mengalami hari-hari yang tak menyenangkan lagi. Perasaannya hampa, terbawa dalam setiap aktivitasnya. Pekerjaan, kehidupan sosial, bahkan kehidupan pribadinya.
Betul, bila ia tidak menyangka ternyata Kiana memiliki waktu yang lebih baik darinya setelah mereka resmi bercerai.
"Kamu sering ke Bandung? Sama siapa?"
"Kan aku sudah bilang, aku sering jalan-jalan sendirian begitu ke beberapa tempat. Lebih tepatnya, tempat-tempat yang dengan udara bagus sih. Butuh udara segar untuk bisa move on soalnya."
Kata move on tiba-tiba membuat kerongkongan Dio haus.
Ada dirinya sebab dalam makna kata tersebut.
"Setelahnya kalian jadi sering ketemu?"
"Nggak sering juga. Beberapa kali dia ngajak aku ke event fotografi dan pameran. Ternyata dia jatuh cinta sama janda kembang ini," seloroh Kiana. Ia meletakkan peralatan makannya di atas piring. Satu porsi steak-nya telah tandas.
Dio sadar, Kiana memang mempesona. Rambutnya yang panjang, matanya yang selalu berbinar-binar, senyumnya juga ramah. Ia tipe perempuan energik dan mudah bergaul. Kepribadiannya memang sangat mudah disukai.
Dan ia menyesal ketika ia menyadari hal tersebut namun telah terlambat.
"Sampai sekarang?"
"Nggak dong, mana ada yang tetap berhubungan baik setelah lamarannya ditolak, 'kan?" Kiana tersenyum. "Dengan sendirinya Ravin jadi canggung saat ketemu aku. Begitulah ... terkejut, ya?"
"Sejujurnya, iya. Aku nggak menyangka kalau kamu bisa memikat berondong juga."
"Hey, aku nggak tua-tua amat ya."
"Tapi aku benar-benar terkejut sih." Dio menatap Kiana lekat. "Kenapa kamu menolak lamarannya?"
"Saat itu, aku benar-benar belum siap aja untuk membuka hati. Terlebih, Ravin itu tipe anak zaman sekarang yang satsetsatset, tiba-tiba aku dilamar tanpa mengajak pacaran. Aku tiba-tiba dikenalin ke keluarganya, begitu. Kaya ... wow, he surprised me. Aku pikir kenapa dia begitu karena mungkin aku bukan lagi anak ABG terlebih dengan statusku saat itu. Sesaat tersentuh sih – "
"Lantas?"
"Nggak gimana-gimana. Aku dengan jelas bilang ke dia kalau aku belum bisa melupakan mantan suamiku."
Dio tercekat.
"Aku tahu diriku seperti apa dengan sangat jelas. Sekalipun aku mengiyakan lamarannya, aku tidak akan pernah bahagia. Sebab aku belum selesai dengan masa laluku sendiri. Kalau sudah seperti itu, justru dia yang akan terluka. Aku tidak mau melukai orang lain, sebab rasanya aku terlalu paham berada di posisi semacam itu."
Dio terpaku.
"Tujuan aku jelas sekarang. Aku ingin bahagia. Baik dengan seseorang, maupun harus seorang diri. Aku tidak akan menolerir lagi luka apapun."
Dan Dio tahu bahwa perlu usaha lebih lagi darinya untuk meyakinkan Kiana.
^^^
TEKAN LIKENYA DONG
trlmbat.... sangat trlmbat Dio.... & km pun tak pntas mndapatkn maaf...
selamat Dio....