Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua
Karin menatap cek yang tergeletak di atas meja dengan pandangan kosong. Matanya tak tertarik pada angka besar yang tertulis di sana. Ia tahu uang itu bisa membantu membayar tagihan rumah sakit ayahnya, tetapi menerima bantuan dari Raka? Rasanya seperti menelan pil pahit.
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan hembusan angin yang lembut dari jendela yang sedikit terbuka. Di luar, matahari mulai tenggelam, memancarkan cahaya keemasan yang membiaskan bayangan panjang di lantai. Karin menghela napas, mencoba menenangkan diri, namun tatapan tajam Raka yang berdiri di depannya membuat dadanya terasa sesak.
"Ambillah, kamu pasti butuh ini," suara Raka terdengar lembut, tapi tegas. Dia melangkah mendekati Karin, menyodorkan cek yang telah ia genggam di tangannya.
Karin mundur perlahan, matanya tetap terkunci pada wajah Raka yang tampak tenang, meski ia tahu pria itu pasti menahan banyak hal. "Aku tahu kamu butuh uang untuk bayar biaya rumah sakit ayahmu," lanjut Raka, suaranya kali ini sedikit lebih rendah, nyaris seperti sebuah permohonan.
Karin mengepalkan tangannya. 'Ayah? Sejak kapan dia memanggil ayahku dengan sebutan itu?' pikirnya penuh kebingungan. Ia mendongak, menatap Raka dengan perasaan campur aduk—marah, terluka, dan tersinggung.
Tanpa mengatakan apa-apa, Karin meraih cek tersebut dengan gerakan cepat. Tapi alih-alih menyimpannya, ia malah merobek cek itu perlahan, membiarkan potongan-potongannya jatuh ke lantai. Raka hanya bisa menatapnya dalam diam. Dengan gerakan lambat, Karin melemparkan sisa-sisa cek itu ke wajah Raka, ekspresi wajahnya penuh penghinaan.
“Kau pikir aku seputus asa itu? Aku tidak butuh uangmu!” Karin berteriak, matanya berkilat penuh emosi yang terpendam.
Raka mengerutkan kening, berusaha mengendalikan dirinya meskipun emosinya mulai bergejolak. "Bukankah aku sudah memberimu cukup uang?" tanyanya, nada suaranya mulai terdengar tegang, hampir marah.
"Aku tidak butuh uang dari pria yang mempermainkan hidupku!" balas Karin dengan nada yang tak kalah keras.
Karin bisa melihat perubahan di wajah Raka—tatapan matanya yang biasanya tenang mulai menggelap, rahangnya mengeras, tapi dia tetap berusaha menenangkan diri. "Karin...," suaranya melembut. “Ayahmu butuh uang untuk rumah sakit. Aku hanya mencoba membantu.”
"Sejak kapan kamu jadi begitu peduli pada ayahku?" Karin bertanya dengan sinis, bibirnya menyunggingkan senyum pahit. “Dan kapan kamu mulai memanggilnya ‘ayah’?”
“Karin, ayahmu juga ayahku sekarang.” Suara Raka terdengar tenang, seolah mencoba meredakan situasi yang mulai memanas.
Karin mendengus. "Ayahku cuma punya satu anak, dan itu aku. Dia nggak punya anak laki-laki," katanya dengan tajam, melipat kedua tangannya di dada.
Raka menarik napas dalam-dalam, jelas terlihat bahwa dia mulai kelelahan menghadapi sikap keras kepala istrinya ini. "Karin, apakah kau lupa kalau kau adalah istriku?" tanyanya sambil memijat pelipisnya, seolah menghadapi rasa sakit kepala yang tak tertahankan.
"Tentu saja aku ingat. Aku kan istri kedua dari pemilik Perusahaan ternama di negeri ini. Istri kedua, Raka, bukan yang pertama. Kamu ingat itu, kan?" Karin menatapnya dengan sorot mata menghina, mencoba menusuk egonya.
Raka menarik napas tajam. "Karin, tolong jangan teriak. Kita bisa membicarakan ini dengan tenang."
“Tenang? Kenapa? Kamu takut seseorang akan mendengar?” Karin menatapnya penuh tantangan, nadanya menyiratkan ejekan yang mendalam.
Raka mendekatkan dirinya pada Karin, suaranya merendah. "Aku hanya tidak ingin kamu salah paham. Jangan bersikap keras kepala seperti ini."
Karin menyipitkan matanya. "Oh, jadi kamu takut istri pertamamu tahu tentang kita?" Karin berbisik, membuat jarak di antara mereka semakin dekat, namun nadanya penuh provokasi.
"Karin, cukup!" suara Raka mulai terdengar lebih keras, namun ia tetap berusaha menahan diri.
Karin tersenyum tipis. “Tenang saja. Aku nggak akan membocorkan rahasia kita. Aku juga nggak mau kekasihku tahu kalau aku sudah menikah,” katanya pelan, tapi sarat dengan sindiran.
Raka terkejut sejenak, lalu matanya menyipit. "Jadi kamu masih berhubungan dengan dia?" Suaranya terdengar lebih tajam, penuh amarah yang ditahan.
"Tentu saja. Kita belum benar-benar menikah, kan? Jadi, apa salahnya jika aku masih menjalin hubungan dengan orang lain?" Karin meliriknya, menantangnya untuk bertindak lebih jauh.
Raka tak bisa lagi menahan emosinya. Dalam sekejap, ia maju dan mendekatkan wajahnya ke wajah Karin. Tubuhnya yang besar kini membayangi tubuh kecil Karin, membuat gadis itu terpojok di dinding.
"Kau mau aku buktikan kalau kita memang sudah menikah?" Raka mengangkat dagu Karin dengan lembut, tapi tangannya yang kuat membuat Karin tak bisa menghindar.
"Jangan sentuh aku!" Karin mencoba meronta, tangannya mendorong dada Raka dengan sekuat tenaga, tapi tubuh kekar pria itu tak tergoyahkan.
Napas Raka terasa hangat di wajah Karin. Jarak di antara mereka hanya beberapa sentimeter. Karin merasa jantungnya berdebar kencang, tidak lagi karena marah, tapi karena takut. Takut kalau Raka benar-benar akan melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar ancaman.
Tok Tok Tokk....
Ketukan pintu tiba-tiba memecah ketegangan di ruangan. Karin langsung merasa lega, seperti mendapatkan napas tambahan yang sangat dibutuhkannya.
Raka mundur perlahan, melepaskan genggamannya dan menghela napas panjang. "Kembali bekerja lagi," katanya datar, berusaha mengendalikan amarahnya. Ia berjalan menuju kursi kerjanya yang besar, membelakangi Karin.
“Aku akan ke rumah sakit malam ini,” tambah Raka, tanpa menoleh lagi. Tangannya sudah sibuk dengan tumpukan dokumen di atas meja.
Karin menyentuh dadanya yang masih berdebar. Ia merasa aneh. Rencananya untuk membuat Raka marah dan menceraikannya seolah berbalik arah. Alih-alih membuat pria itu melepaskannya, Karin justru merasa terperangkap lebih dalam.
Tanpa membuang waktu, Karin segera bergegas keluar dari ruangan itu. Di pintu, ia berpapasan dengan Manajer Han yang menatapnya sejenak, sebelum Karin membungkuk cepat dan pergi tanpa kata.