Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Foto
28 hari setelah pernikahan, tapi selama 28 hari itu, hidup Yaya justru terasa hampa. Tidak seperti pasangan pengantin lainnya yang pasti masih panas bergairah, menggebu-gebu, dan sedang hangat-hangatnya, kehidupan setelah pernikahan Yaya justru terasa hambar. Meskipun sejak seminggu terakhir Andrian sudah mencoba lebih perhatian dan bahkan pulang lebih awal dari sebelumnya, tapi tetap saja, Yaya seakan tidak merasakan kebahagiaan itu.
Apa itu yang dinamakan mati rasa?
Yaya tidak tahu. Yang ia tahu, hatinya benar-benar kosong. Bahkan perasaan menggebu dan bahagia saat bisa bertemu Andrian saja sudah tak ada. Semua biasa saja. Namun tak Yaya pungkiri, rasa sakit itu masih ada.
Namun melihat perubahan sikap Andrian membuat Yaya berpikir untuk memberikan kesempatan. Oleh sebab itu, Yaya pun mencoba menyiapkan makan malam istimewa malam itu. Ia harap tindakannya itu bisa menumbuhkan perasaan di hatinya kembali. Ia juga berdandan secantik mungkin.
Namun di saat Yaya sedang berusaha untuk menumbuhkan lagi perasaannya, lagi-lagi Andrian mematahkan hatinya. Andrian justru kembali seperti setelan sebelumnya. Pulang tidak tepat waktu. Bahkan saat jarum jam nyari ms menunjukkan pukul 9, Andrian tak kunjung pulang. Dihubungi pun tak bisa.
Yaya menatap nanar hidangan yang sudah tersaji di atas meja. Rasa sedih dan kecewa melingkupi hati. Semakin besar semakin nyata.
Hingga hampir pukul 10 malam, barulah Yaya mendengar suara derit pintu terbuka. Yaya masih di tempat yang sama. Di meja makan. Andrian yang baru masuk ke dalam rumah seketika membelalakkan matanya.
"Yaya, kau belum tidur?" ucapnya seraya meletakkan jasnya di sandaran kursi. Ia menatap hidangan di meja dengan perasaan tak enak hati.
"Ya, ini ... Aduh, Mas lupa kasi kabar kamu. Maafkan Mas ya. Mas tadi ada lembur di kantor. Mendadak. Semua karena ulah CEO di kantor Mas. Sok perfeksionis banget. Nggak ingat apa kalau karyawannya pun memiliki keluarga yang menunggu di rumah. Tapi ya mau bagaimana lagi, mau protes pun rasanya nggak mungkin. Mas hanya staf divisi. Bukan petinggi apalagi dewan direksi. Jadi Mas dan yang lainnya hanya bisa pasrah. Itu aja Mas buru-buru menyelesaikan pekerjaan supaya bisa segera pulang. Maafin, Mas, ya?"
Andrian memegang tangan Andrian. Yaya merasa denial. Antara percaya atau tidak. Tapi ingin marah pun ia belum bisa karena bagaimana kalau yang Andrian katakan itu benar. Ia tidak mau egois. Yaya lantas berusaha tersenyum.
"Iya, Mas. Nggak papa. Aku maklum."
"Terima kasih, Sayang. Kau memang yang terbaik." Andrian tersenyum kemudian mengecup punggung tangan Yaya.
"Ya," panggil Andrian.
"Em, kau ... sudah selesai 'kan?"
"Selesai? Selesai apa?"
"Itu ... tamu bulanan?"
Yaya menegang. Ia tersenyum kaku, kemudian mengangguk membuat Andrian tersenyum lebar.
Andrian pun segera berdiri. "Kalau begitu, aku mandi dulu ya, Yang. Terus kita makan malam dulu." Ia melirik kembali hidangan di atas meja. Ia tidak ingin Yaya kembali kecewa.
Yaya kembali mengangguk. Andrian pun segera beranjak masuk ke kamar. Dilemparnya ponselnya asal di atas tempat tidur. Kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi.
Saat Andrian sedang mandi, Yaya masuk ke dalam kamar. Ia berniat menyiapkan pakaian untuk suaminya. Namun baru saja Yaya hendak meletakkan pakaian yang sudah dipulihkannya, entah dapat dorongan dari mana, Yaya pun mengambil ponsel itu. Yaya ingin membuka ponselnya, tapi tentu finger printnya tidak cocok. Namun Yaya pernah melihat password hp Andrian pun segera memasukkan password-nya. Lalu perhatian Yaya terarah pada galeri ponsel. Jarinya pun reflek meng-klik logo galeri.
Tangan Yaya seketika gemetar. Darahnya berdesir hebat. Jantungnya berdegup kencang.
"Yaya, apa yang kau ... "
Andrian menghentikan kata-katanya saat melihat ponselnya yang dipegang Yaya. Matanya seketika terbelalak.
"Yaya ... "
"Jadi ini yang Mas maksud lembur di kantor?" Yaya terkekeh sumbang. Pantas saja ia merasa denial sebab memang kata-kata suaminya itu tidak bisa dipercaya. "Ternyata kantormu sudah berpindah ke restoran ya, Mas? Dan CEO Mas itu ... mbak Marissa? Begitu?"
Andrian tercekat. Ia yakin Yaya sudah melihat foto-foto ia dan Marissa di sebuah restoran. Jelas saja Yaya bisa langsung menebaknya karena waktunya pun memang dilakukan di malam itu juga. Andrian tidak mungkin kembali berbohong sebab waktu pengambilan gambar bisa diperiksa saat itu juga.
"Ya, itu ... itu bisa Mas jelaskan. Itu tidak seperti yang kau pikirkan."
"Tidak seperti yang aku pikirkan? Memangnya apa yang ada di dalam pikiranku?" Yaya tersenyum sinis.
"Ya, Mas tidak bermaksud berbohong. Mas hanya tidak ingin kau kembali salah paham. Mas tidak ingin kau kembali marah dan kecewa pada Mas. Sungguh, apa yang ada di dalam foto itu tidak seperti yang kau pikirkan."
"Lantas, seperti apa yang sebenarnya?" Yaya penasaran dengan pembelaan diri Andrian.
"Kami sengaja melakukan itu. Lebih tepatnya Mas terpaksa melakukan itu. Mantan suami Marissa kembali meneror Marissa agar ia mau kembali padanya. Marissa yang tak ingin kembali diganggu pun meminta Mas berpura-pura menjadi pasangannya. Kami sengaja berpose mesra seperti itu agar mantan suaminya percaya dan tidak kembali meneror Marissa agar kembali padanya," ujar Andrian panjang lebar. Namun bukannya percaya, Yaya justru tertawa sumbang.
"Sudah membualnya? Mas pikir aku percaya dengan kata-kata Mas itu? Mas nggak capek setiap hari berbohong dan terus berbohong?"
"Kau tidak percaya pada Mas? Apa perlu Mas telepon Marissa agar kau percaya?"
"Sudah cukup membualnya, Mas. Cukup. Mau sampai kapan, hah? Mau sampai kapan Mas mempermainkan perasaan aku? Selalu dan selalu saja seperti ini. Baru 28 hari, baru 28 hari kita menikah, tapi apa yang sudah Mas beri? Luka. Luka dan kecewa. Lagi-lagi Marissa. Kalau tidak Marissa, Tania. Padahal niatku malam ini ingin memperbaiki semuanya. Aku pikir Mas sudah berubah, tapi nyatanya ... "
Brakkk ...
Yaya melemparkan ponsel itu ke dinding hingga hancur berkeping-keping.
"Yaya ... " sentak Andrian dengan mata membulat. Padahal ponsel itu baru ia beli dua Minggu yang lalu. Ia membelinya dari uang amplop rekan kerja dan atasan di kantornya. "Apa yang kau lakukan, Ya? Kau menghancurkan ponselku!" pekik Andrian syok.
"Bahkan kau lebih memedulikan ponselmu daripada hatiku? Kau tau Mas, hatiku lebih hancur daripada ponsel itu. Hancur ... " Teriak Yaya nyalang. Lalu dengan dada bergemuruh, Yaya membalikkan badannya hendak pergi dari sana. Bukannya menghentikan Yaya, Andrian justru lebih memedulikan ponselnya. Barulah saat Yaya sudah mencapai pintu luar, Andrian mengejar dan menghentikannya.
"Mau kemana, kau?"
"Mau kemana aku, bukan urusanmu. Sama seperti urusanmu yang tidak pernah menjadi urusanku."
"Tidak. Kau tidak boleh pergi."
"Kenapa?"
"Karena kau belum melakukan kewajibanmu?"
"Kewajiban? Kewajiban mana maksudmu? Having seks?" tandas Yaya yang bisa menebak apa yang Andrian inginkan. "Memangnya Mas sudah melakukan kewajiban Mas, hah? Tidak 'kan? Jadi jangan pernah menuntut ku untuk memenuhi kewajibanku."
"Yaya, kau itu seorang istri. Sudah kewajibanmu mematuhi perintahku." Andrian mendesis tepat di depan wajah Yaya.
"Jangan pernah memaksaku, Sialan!"
Kesal atas penolakan yang Yaya lakukan, Andrian pun berusaha memaksa Yaya untuk menciumnya. Namun Yaya terus berusaha memalingkan wajahnya.
Andrian tak berhenti sampai di situ, ia mencengkeram rahang Yaya lalu menekan tubuhnya ke pintu. Ia mendekatkan wajahnya hendak meraih bibir Yaya. Yaya tiba-tiba ingat trik yang diajarkan Alma, anak dari Tante kesayangannya, Ariana. Alma yang memang diajarkan bela diri sejak kecil oleh ayah dan Omanya pun sering mengajari trik saat ada laki-laki yang bersikap kurang ajar padanya. Meskipun usianya jauh di bawah Yaya, tapi mereka berteman cukup dekat.
"Kalau ada orang yang hendak melakukan pelecehan pada Mbak atau tindakan yang kurang ajar, nggak perlu takut. Cukup angkat kaki Mbak lalu tendang di bagian tengah selangkangannya. Bisa juga Mbak angkat lutut mbak Yaya dan bugh ... Rasanya pasti mantul. Mantap betul." Almahyra berucap seraya memperhatikannya di depan Yaya.
Melihat wajah Andrian yang begitu dekat dengannya, Yaya pun mengangkat lututnya seperti yang Alma instruksikan dan bugh ...
"Awh ... Aaaaa ... Yaya, apa yang kau ... Argh ... "
Andrian pun melepaskan cengkraman tangannya dan sibuk memegang kema***luannya yang terasa begitu nyeri. Ia melompat-lompat karena rasa sakit yang tak tertahankan. Melihat kesempatan itu, Yaya pun memilih melarikan diri. Tak peduli dengan apa yang Andrian rasakan kini sebab baginya yang terpenting saat ini adalah menenangkan diri.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...
emang klu perempuan sama laki dekatan lngsung dibilang ada hubungan..Nethink aja nih
satu keluarga nih dicobain semuaa
wahh siapa bilang yaya cuma pekeejaa...