Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Intan dan Alisa 1
Sesuatu yang kau sebut laut itu tak jauh lebih luas dari perasaanku. Yang kian bertambah tabah mencintai kamu. Yang tumbuh menua bersama tubuh dimakan usia.
Kaulah gerimis yang mengabut yang tidak lebih banyak dari doa-doa yang kusebut. Sementara aku adalah hujan yang tak ingin reda, jatuh cinta dalam pelukanmu, mengembun dalam suka haru tangismu.
Dia menutup catatan hariannya. Malam itu entah mengapa dadanya terasa sesak lebih lama. Lelaki yang dicintainya dengan santai memintanya menjadi seperti dulu. Seseorang yang tidak lagi menyertakan perasaan kepada kebersamaan mereka.
"Anggap saja kita kakak-adik."
Dia membenci kalimat itu. Bagaimana mungkin lelaki yang dia sayangi dengan hati. Seseorang yang begitu berharga baginya. Kekasih yang dirindukan pelukannya. Lantas kini harus dia anggap sebagai kakak. Dia memasukkan catatan harian itu ke laci meja belajarnya. Saat dadanya terasa sesak begini, dia tidak butuh apa-apa. Selain merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Lalu menangis sejadi-jadinya.
Ia tidak pedulikan teman-temannya yang berusaha menenangkan. Baginya, perasaan yang dia bangun sudah hancur melebihi berkeping-keping. Sakit.... batinnya. Tidak ada yang ia inginkan selain lelaki itu kembali memintanya menjadi kekasih. Atau melupakan permintaan menjadi seperti dulu. Namun, cinta sudah terlanjur kandas. Lelaki itu diam-diam sudah memiliki kekasih yang lain. Perempuan yang ternyata masih ia kenal, meski tidak sebagai teman. Namun, perempuan itu bisa ia temui setiap hari. la, lelaki yang meninggalkan luka di hatinya dan perempuan lain itu masih satu kampus.
Dan, lelaki itu ternyata sama saja dengan kebanyakan orang-orang di dunia. Pengecut yang masih bertahan dengan alasan-alasan basi. Alasan perihal perasaan yang sudah tidak ada, atau sudah tidak ada kecocokan. Padahal sebenarnya ia hanya terlanjur mencari peng- perganti sebelum akhirnya melepaskan paksa tanpa aba- aba. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang takut kesepian. Lelakinya adalah lelaki yang takut kesepian.
"Sudahlah, Intan. Kau tidak seharusnya menangisi lelaki itu. Sahabat terbaiknya menasihati, tetapi ia tidak bisa berbuat banyak. Sungguh ia juga pernah merasakan sakitnya dikhianati. Hal yang membuatnya ragu untuk membuka lagi hatinya kepada banyak lelaki.
Perempuan yang sedang menangis itu hanya terus menangis. Meski tidak mengeluarkan suara. Hanya airmata yang terus mengalir. Namun, begitu getir melihatnya. Sungguhlah, hal paling menyedihkan untuk ditatap di dunia ini adalah perempuan yang sedang patah hatinya. Sahabatnya, akhirnya mem- biarkan Intan menangis. Ia hanya memeluk. Mencoba memberikan hal terbaik yang ia bisa. Bahwa setelah patah hati, selalu ada cinta yang lebih baik. Begitulah ia mencoba meyakinkan. Meski diam-diam dia belum menemukan hal itu pada dirinya sendiri.
Saat ini yang ia butuhkan adalah cara untuk me- nenangkan sahabatnya. Perempuan yang baru saja patah hati itu.
"Apa semua cintaku harus berakhir sesakit ini?" Dia bertanya tanpa melihat kepada sahabatnya.
Perempuan yang berada di sampingnya itu hanya tersenyum. Setidaknya, dia tahu bahwa sahabatnya sudah mulai berpikir tentang rasa sakitnya. Itu artinya ia sudah mulai ingin melihat cinta.
Intan, terkadang cinta itu lebih buta dari orang buta. Jangankan untuk melihat, meraba saja dia tidak bisa. Namun, kau harus tahu, perasaanmu hanyalah perasaan. Tidak lebih berkuasa atas dirimu. Kaulah yang harusnya mengendalikan perasaan itu."