NovelToon NovelToon
Obsesi Sang CEO

Obsesi Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: QurratiAini

Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.

Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.

Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.

Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua

Bambang duduk di sofa empuk yang baru saja ia beli, kakinya disilangkan dengan santai. Cincin batu akik yang mengkilap melingkar di jari tengahnya, sementara di meja di depannya ada setumpuk tas dan pakaian baru yang masih berlabel harga. Wajahnya memancarkan kepuasan yang tak terbantahkan. Di sampingnya, Wati, istrinya, sedang sibuk memeriksa gelang emas baru yang ia kenakan di tangannya. Laras, putri semata wayangnya, duduk di lantai dengan gembira membuka kardus ponsel terbaru.

"Bapak, ponselnya keren banget! Ini edisi terbaru, teman-temanku pasti iri," kata Laras sambil tersenyum lebar, memamerkan layarnya kepada ibunya.

"Iya, Laras. Pokoknya sekarang kita nggak boleh kalah sama siapa pun," sahut Wati, nadanya penuh kebanggaan. Ia melirik suaminya dan menambahkan, "Bener kan, Pak, keputusan kita ini yang terbaik?"

Bambang terkekeh. "Tentu saja. Uang satu miliar itu bukan jumlah yang kecil. Dan Firda? Hah, dia akhirnya berguna juga."

Bambang menyandarkan punggungnya ke sofa dengan santai. Ia menatap Laras yang sedang asyik memotret tas-tas barunya dengan ponsel. "Oh ya, Laras. Mulai sekarang, Bapak nggak mau kamu panggil kami dengan sebutan Ibu dan Bapak lagi."

Laras menghentikan kegiatannya sejenak, lalu menatap Bambang dengan bingung. "Kenapa, Pak?"

"Karena itu panggilan kampungan," jawab Bambang tegas. "Kita ini sudah jadi orang kaya sekarang. Masa panggilannya masih kayak orang-orang miskin? Mulai sekarang, kamu panggil kami Mama dan Papa, ya. Supaya lebih berkelas."

Wati langsung mengangguk setuju. "Papa benar, Laras. Kita ini sudah berubah. Panggilan pun harus mencerminkan status kita sekarang."

Laras tersenyum lebar dan mengangguk. "Oke, Ma, Pa. Mulai sekarang, aku bakal panggil Mama dan Papa."

Bambang tersenyum puas. "Nah, begitu dong. Orang kaya itu harus beda, nggak cuma penampilan, tapi juga cara bicara."

Wati ikut terkekeh, lalu berkata dengan nada merendahkan, "Aku selalu bilang kan, Pa. Firda itu nggak ada gunanya. Sekarang, lihat hasilnya? Kita bisa hidup nyaman setelah jual dia. Lagian, mau dia mati di sana pun nggak bakal ada yang nyari dia."

Laras tertawa kecil. "Kasihan sih, tapi lebih kasihan lagi kalau kita terus hidup miskin kayak dulu, kan?"

"Benar," Bambang mengangguk setuju. "Kita ini pantas hidup seperti ini. Lagipula, Firda itu selama ini cuma jadi beban kita saja."

Percakapan mereka penuh dengan tawa puas, tanpa sedikit pun rasa penyesalan.

Hari mulai beranjak sore. Sinar matahari yang redup menerobos masuk melalui tirai tipis di ruang tamu. Rumah itu, yang sebelumnya sederhana, kini penuh dengan dekorasi baru, perhiasan, dan barang elektronik bertebaran di mana-mana, memberikan kesan mencolok akan kehidupan enak yang baru mereka rasakan.

Wati berdiri dan melirik ke arah jam dinding. "Sebentar lagi tetangga-tetangga bakal datang. Aku sudah kirim undangan di grup WhatsApp RT. Ini saatnya kita pamer sedikit."

Di meja makan, Wati telah menyiapkan berbagai makanan lezat yang membuat siapa pun yang melihatnya akan tergiur. Daging sapi panggang, aneka kue impor, jus buah segar, dan banyak lagi. Setiap detail telah diatur dengan sempurna, mencerminkan kesombongan yang baru mereka miliki.

Tak lama kemudian, tetangga-tetangga mulai berdatangan. Mereka tampak terkejut sekaligus kagum melihat perubahan besar di rumah Bambang.

"Astaga, Bu Wati, rumah ini berubah banget! Sekarang penuh dengan barang-barang baru dan bagus," kata Bu Siti, salah satu tetangga yang pertama datang.

Wati tersenyum bangga. "Ah, biasa aja, Bu Siti."

"Kerja apa, Bu? Kok bisa tiba-tiba berubah begini? Aku juga mau dong!" tanya Pak Hadi penasaran.

Bambang yang mendengar pertanyaan itu hanya tersenyum dingin. "Rahasia keluarga, Pak Hadi. Yang penting, sekarang kami bisa hidup seperti orang kaya."

Para tetangga mulai menyantap hidangan yang disediakan. Suasana riuh dengan percakapan mereka yang membahas kelezatan makanan di meja. Namun, perhatian kembali beralih saat salah satu tetangga melihat Laras sibuk dengan ponselnya.

"Itu ponsel baru, ya, Laras?" tanya Bu Mirna.

"Iya, Bu. Ini model terbaru. Kameranya aja sampai 200 megapiksel," jawab Laras dengan bangga.

"Eh, dengar-dengar mobil baru juga mau datang, ya?" tanya Pak Hadi sambil menyendok nasi ke piringnya.

Bambang mengangguk penuh percaya diri. "Iya, SUV hitam. Sama motor sport buat Laras. Dua-duanya lagi dalam perjalanan dari dealer. Sebentar lagi sampai."

"Wah, keren banget, Pak Bambang. Motor sport itu pasti mahal banget, ya?"

"Tentu saja," jawab Bambang sambil tertawa kecil. "Pokoknya, semua ini berkat kerja kerasku."

Tetangga-tetangga saling bertukar pandang. Beberapa tampak iri, tapi tidak ada yang berani berkata apa-apa. Di tengah kekaguman mereka, Bu Mirna tiba-tiba bertanya, "Eh, Firda ke mana, Bu Wati? Kok nggak kelihatan? Biasanya dia sibuk bantuin kalau ada acara begini."

"Oh, Firda? Dia sudah pergi merantau untuk bekerja," jawab Wati santai. "Katanya mau cari pengalaman baru di luar kota."

"Wah, hebat ya Firda. Anak yang mandiri," sahut Bu Mirna tulus.

Wati hanya tersenyum tipis. Para tetangga berdecak kagum kepada mereka sekarang, membuat Bambang, Wati, dan Laras semakin merasa puas dan bangga.

Namun, di balik segala kemewahan dan tawa itu, sosok Firda yang hilang seolah tak pernah ada. Kehidupan mereka yang baru berdiri di atas kesedihan gadis itu, tanpa sedikit pun rasa bersalah.

***

Firda berdiri dengan gemetar di dalam mansion megah milik Abraham. Bangunan itu begitu besar dan mewah, dengan lampu kristal bergelantungan di langit-langit tinggi, dinding berlapis marmer putih, dan karpet tebal berwarna merah darah yang membentang dari pintu masuk hingga ke seluruh sudut ruangan. Namun, keindahan ini tidak membuat Firda merasa nyaman. Sebaliknya, ia merasa seperti seekor burung kecil yang terjebak di dalam sangkar emas yang tak berujung.

Arkan, pria berbadan tegap yang sejak awal mengawalnya ke mansion ini, berujar dengan nada tegas. "Tugasmu di sini adalah menyenangkan Tuan Abraham."

"Kamu hanya akan diberi sedikit kebebasan jika menunjukkan ketaatan yang sempurna. Tapi jika kamu membangkang, saya pastikan kamu akan menerima hukuman yang tidak akan pernah kamu lupakan seumur hidup," katanya lagi menambahkan sambil menyerahkan sebuah map tebal berwarna hitam.

Firda memandang map itu dengan ragu, tetapi tangannya tetap menerima. Ia memeluknya erat di dada, ketakutan menyelimutinya karena intimidasi yang begitu nyata.

"Ella akan mengantarmu ke kamar. Seluruh aturan yang harus kamu patuhi tertulis dengan jelas dalam map itu. Hidupmu sekarang tergantung pada bagaimana kamu mematuhi aturan itu."

Setelah berkata demikian, Arkan melangkah pergi, meninggalkan Firda yang masih berdiri terpaku di tempat. Ella, seorang wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan, datang menghampirinya. "Mari ikuti saya, Non," katanya singkat.

Firda mengikuti langkah Ella yang mantap, melewati lorong-lorong panjang yang penuh dengan lukisan-lukisan mahal dan vas porselen yang tampak berharga. Akhirnya, mereka sampai di sebuah pintu besar berwarna putih gading. Ella membuka pintu itu, memperlihatkan sebuah kamar besar yang mewah. Tempat tidur berkanopi dengan seprai sutra putih berdiri di tengah ruangan, sementara perabotan kayu jati berukir menghiasi setiap sudutnya. Ada balkon dengan pemandangan taman luas, dan kamar mandi pribadi yang lebih besar dari ruang tamu rumah paman Firda.

"Ini kamarmu, Non," ujar Ella dengan sopan. "Tuan Abraham menginginkan kamu tetap di sini kecuali diperintahkan untuk keluar. Jangan lupa membaca aturan di dalam map itu. Tuan Abraham akan sangat marah kalau ada yang melanggar aturannya."

Firda hanya mengangguk tanpa kata. Setelah Ella keluar dan menutup pintu di belakangnya, Firda akhirnya membiarkan tubuhnya jatuh ke lantai. Kamar itu memang mewah, tapi rasanya seperti penjara baginya.

Dengan tangan gemetar, ia membuka map hitam itu. Firda mulai membaca, dan setiap kata yang ia baca seperti menusuk jantungnya.

Harus mematuhi semua perintah Tuan Abraham.

Dilarang meninggalkan mansion dan berinteraksi dengan orang lain tanpa izin dari Tuan Abraham.

Selalu berada di bawah pengawasan ketat. Setiap gerakan akan dipantau oleh pengawal dan sistem keamanan.

Hanya boleh mengenakan pakaian yang disetujui oleh Tuan Abraham.

Hanya diperbolehkan menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada Tuan Abraham.

Tidak diperkenankan memiliki waktu atau ruang pribadi.

Semua aspek kehidupan harus berpusat pada Tuan Abraham.

Firda meremas map itu dengan kedua tangannya. Dadanya terasa sesak, air mata mulai mengalir di pipinya. Marah, sedih, takut, dan putus asa bercampur menjadi satu.

"Aturan macam apa ini? A-aku nggak mau hidup seperti ini selamanya," gumamnya dengan suara bergetar.

Matanya yang sembab mulai menatap sekeliling kamar, mencoba mencari jalan keluar. Ia tidak mau menjadi boneka dan tawanan di tempat ini.

Dengan tangan gemetar, Firda berjalan ke jendela besar di kamar itu. Ia membuka tirai dan menatap ke luar. Taman yang indah terlihat begitu luas, namun pagar tinggi yang mengelilinginya tampak seperti dinding penjara.

"Enggak! Aku harus keluar dari sini. Gimana pun caranya, aku harus kabur," bisiknya penuh tekad.

1
Heulwen
Bagaimana cerita selanjutnya, author? Update dulu donk! 😡
Qurrati Aini: ditunggu yaaa, author bakal update setiap jam 10 malam, okeyy.
total 1 replies
Azure
Author-im, kalau tidak update cepat, reader-im bakal pingsan menanti T.T
Qurrati Aini: duh di tunggu ajaa ya hehe, author bakal update setiapp jam 22:00 WIB yaa.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!