kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30
Adiba merasakan hatinya hancur berkeping-keping saat mendengar kabar buruk dari Novi bahwa Satria, suaminya, telah menikah siri dengan wanita itu. Dia tak bisa percaya dan memutuskan untuk segera pulang. Langkahnya yang tergesa-gesa membawanya ke depan pintu rumahnya, napasnya tersengal.
"Mas! Mas Satria!"
Satria baru saja pulang dari meladang, masih dengan baju kotor dan wajah yang terlihat lelah. Sebelum Satria sempat mengucapkan salam, Adiba langsung menyerbu dengan pertanyaan yang telah membara di dadanya, "Mas, mas Satria, apa benar mas menikah siri sama Mbak Novi?"
Keheranan terpancar jelas dari wajah Satria, matanya membelalak tak percaya mendengar pertanyaan itu.
"Dari mana kamu dengar kabar itu, Adiba?" tanyanya, suaranya penuh kebingungan.
Adiba yang sudah tak mampu menahan emosinya lagi, air matanya mengalir deras.
"Katakan saja, mas. Apa benar kamu sudah menikahi mbak Novi?"
"Dari mana kamu dengar kabar seperti ini?" tanya Satria memegang lengan Adiba.
"Katakan saja mas! Apa benar kamu sudah menikahinya?" pekik Adiba dengan air mata yang sudah berderai dan menganak sungai.
Satria memegang kedua bahu istrinya itu dengan lembut.
"Tidak, Adiba, itu tidak benar. Mas tidak tahu dari mana kamu mendapatkan cerita itu. Tapi Mas bersumpah, tidak ada yang terjadi antara Mas dan Novi."
Adiba menatap dalam ke mata Satria, mencari kejujuran di sana. Satria membalas tatapan itu dengan penuh ketulusan. Di tengah kekacauan emosi, Adiba merasa lega namun masih terluka karena gosip yang telah menyebar.
"Sekarang katakan, dari mana kamu mendengar kabar ini? Ini fitnah yang terlalu keji."
Adiba menangis tersengal-sengal, memeluk suaminya. Satria tak mengatakan apapun, ia balas saja pelukan sang istri dan akan mencari tau siapa yang sudah mengatakan pada Adiba.
"Apa yang terjadi sayang?" gumam Satria mengelus kepala Adiba dalam pelukannya."Mas masih sangat kotor habis dari ladang."
Adiba menggeleng dan masih tersengal.
"Mas tidak akan melakukan hal yang menyakiti istri mas. Mas sayang sama Adiba. Jangan menangis lagi, huumm?" ucap Satria masih dengan telaten mengusap kepala Adiba dengan lembut, berusaha menenangkan jiwa yang meraung ini.
Setelah melihat Adiba mulai tenang, Satria menuntunnya untuk duduk di kursi. Dengan tangan yang lembut, ia memberinya segelas air untuk melepas dahaga dan mencoba mengajaknya bicara dari hati.
"Minumlah dulu, agar hatimu lebih tenang," ujar Satria duduk di samping istrinya, matanya menatap dalam ke dalam mata Adiba.
"Adiba, bisakah kau jujur sama mas? Siapa yang mengatakan bahwa mas sudah menikahi Novi secara siri?" desak Satria namun tetap bernada lembut dan lirih.
Adiba menatap Satria, air mata Adiba jatuh lagi, dia mengusapnya dengan cepat.
"Adiba mendengarnya langsung dari mbak Novi, mas Satria. Kami bertemu di warung dan dia mengatakan semua itu. Aku tidak tahu apa yang ada di benaknya atau mengapa dia bisa mengarang cerita seperti itu,"jawabnya.
Mendengar itu, amarah menyala dalam diri Satria. Satria merasa amarah mulai membuncah di dadanya, tapi dia mengambil napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang demi Adiba.
"Kamu percaya sama Mas, kan? Mas tidak pernah menikah dengan wanita selain kamu."
Adiba mengangguk samar.
"Mas tidak perduli dengan yang orang lain katakan. Tapi, mas hanya mau kamu percaya pada mas."
Adiba menunduk, memainkan jemari di pangkuannya. Ia tak tau apakah benar percaya pada Satria atau masih termakan oleh ucapan Novi.
"Mas akan bicara sama Novi masalah ini."
Satria berpindah duduk berjongkok di depan Adiba. Ia ggenggam tangan istri karena melihat masih ada keraguan di wajah gadis cantik itu.
"Lihat mata mas, Adiba."
Adiba menatap Satria.
"Kamu percaya sama mas, kan? Tidak ada yang terjadi antara aku dan Novi."
"Adiba bingung mas. Adiba nggak tau. Adiba percaya sama Mas. Tapi, masih ada secuil ragu di dada ini. Adiba harus bagaimana, mas?" keluh Adiba menarik tangannya dan menutupi wajah yang mulai menangis lagi.
Satria mencoba menarik tangan itu, tapi terlalu kuat Adiba menutupi wajahnya, dan Satria tak ingin memaksa. Ia rengkuh saja tubuh Adiba dalam pelukan.
"Mas akan buktikan. Mas akan lakukan untuk membersihkan nama mas, Adiba."
Satria bertekad, dengan mata yang berubah tajam.
***
"Apa yang bisa mas bantu?"
"Enggak usah, mas."
"Mas ingin bantu sayang."
"Mas lihat aja."
"Nggak bisa, dong."
Satria menemani istrinya memasak di dapur. ia tau hati istrinya sedang bersedih karena tadi pagi. Setelah tenang, Adiba ke dapur dan Satria membersihkan diri. barulah lelaki berambut gondrong itu menyambangi dapur dan menemani Adiba memasak.
"Ayo dong. Suruh apa gitu."
Adiba terkekeh, dan satria suka itu.
"Baiklah kalau mas maksa. Tapi nanti jangan ngeluh ya," katanya.
"Iya, siap. Buat istri tercinta, mas nggak sanggup buat ngeluh."
Adiba tersenyum geli, "Itu mas. Tolong bawain kuali yang gede itu." Adiba menyuarakan permintaannya sambil terus mengaduk adonan di dalam wajan.
"Siap, bos!" Satria dengan cekatan mengambil kuali besar dari lemari dan menyodorkannya pada Adiba yang masih menahan senyum geli.
"Ini mau taruh dimana?"
"Di tungku sana, skalian tolong nyalain apinya ya, mas."
"Siap, nyonya."
"Apa sih, mas..." Adiba mencubit lengan suaminya. Satria melempar senyum yang membuat hati Adiba terasa lebih lega. Setelah tadi sempat menegang gara-gara kabar yang Novi bawa.
"Mas," panggil Adiba lirih. bagaimana pun ia harus menegaskan jika dia tak mau dimadu.
"Ada apa sayang?" Satria mengulas senyum memandang wajah istrinya yang mulai ceria lagi.
"Mas, Adiba enggak mau dimadu."
wajah cerah Satria berubah, berganti dengan senyum teduh dan maklum akan kegelisahan yang masih mendera Istrinya sampai melontarkan hal seperti ini lagi.
"Mas tidak melakukan itu sayang." Ia pun menegaskan.
"Lebih baik ceraikan saja Adiba."
"Jangan katakan itu! Itu enggak akan pernah terjadi!" Satria menegaskan lagi dengan sorot mata marah. "Istri mas hanya satu, Adiba Khanza Az-Zahra."
Adiba mengulas senyum melihat ketegasan di wajah suaminya. ia lantas mengangguk dan tersenyum.
Dengan semangat yang mulai pulih, mereka berdua kemudian berbaur dalam harmoni suara sendok dan garpu, bunyi air yang menyiram piring, dan tawa ringan yang sesekali pecah. Ruang dapur yang sempit itu pun seakan menjadi dunia yang hanya milik mereka berdua, di mana rasa sedih dan keraguan perlahan pudar, tergantikan oleh kehangatan dan kedamaian.
Namun, tiba-tiba saja muncul tamu yang tak diharapkan.
"Assalamualaikum,"
Adiba dan satria saling pandang mendengar suara seorang wanita dari depan.
"Biar mas aja. Kamu bisa bikinkan teh dulu." Satria menahan istri nya yang hendak melangkah. Adiba mengangguk patuh.
"Wa'alaikum salam," jawab satria yang melangkah ke depan. Ia tertegun melihat Novi ada di depan pintu.
Walau sebenarnya, satria sudah sangat kecewa pada Novi. Satria tetap mempersilahkan wanita itu masuk.
"Oh, kamu Nov, masuk."
"Makasih, mas." Novi masuk dan duduk di dekat pintu.
"Kebetulan, ada yang ingin dibicarakan padamu."
"Siapa yang datang, mas?"
Adiba muncul dengan membawa teh dan olahan yang tadi dibuat berdua. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya, saat melihat Novi duduk di ruang tamu. Baru saja hatinya mulai merasa tenang, kini ia kembali dilanda kekhawatiran. Mengapa Novi datang setelah sebelumnya mengabarkan berita bohong tentang pernikahannya dengan Satria?
"Ini mas, aku bawa makanan buat mas sama Faraaz."
Novi meletakkan beberapa bungkus box makanan di atas meja. Tepat di samping minuman yang Adiba sajikan.
Satria menahan istrinya agar ikut duduk di sini.
"Terima kasih, Nov. Tapi, Adiba udah masak buat kami. Kamu bawa pulang aja."
Wajah Novi berubah, ia jadi terlihat canggung dengan penolakan Satria. "Jangan begitu, mas. Aku udah sengaja masak ini...."
"Aku tidak pernah memintanya, Nov." Tegas Satria menggenggam tangan istrinya lebih erat. Novi sudah berlaku sejauh ini, bahkan sampai memfitnah nya. Ia tak perlu bersikap ramah dan menjaga hati.
Wajah Novi sudah terlihat mau menangis saja. Menahan rasa sakit di dada yang tiba-tiba mendera.
"Kenapa mas bersikap seperti ini padaku? Apa salahku padamu, mas?"
"Aku yang harusnya bertanya padamu, Nov," ucap Satria membalik pertanyaan Novi. "Kenapa kamu bisa dengan tega memfitnahku di depan Adiba? Kapan aku menikahimu? Katakan, Nov."
Novi mengeleng, "enggak mas. Aku tidak mengatakan nya."
Adiba kaget, sekarang Novi malah mengelak jika sudah mengatakan menikah siri dengan suaminya.
"Mbak, tadi jelas- jelas kamu bilang begitu padaku. Kenapa sekarang kamu malah mengingkarinya?" tanya Adiba yang tak terima Novi kini malah berbalik seperti menyalahkan dirinya.
"Kamu sudah dapatkan mas Satria, kenapa kamu menuduhku yang tidak tidak, Adiba?" tuntut Novi dengan pandang terluka.
Novi lantas berganti menatap Satria dengan pandangan mata berkaca-kaca. "Mas, mas tau bagaimana aku, kan? Apa mungkin aku akan berkata bohong dan memfitnahmu?"
"Jadi maksud mbak. Aku yang bohong?"