Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang Berbagi Denganmu
“Akhhh… kepalaku, sakit sekali,” keluh Emily lirih, matanya terbuka perlahan. Pukul tiga pagi. Dunia di sekitarnya masih buram.
Dia mencoba fokus, pandangannya tertuju pada sesosok pria yang duduk di depan meja kerja. Lampu meja menerangi kertas-kertas berserakan, menyoroti wajah Reymond yang tampak serius.
“Eunggg… ini di mana?” gumam Emily, sambil memijat pelipisnya. Dia berusaha duduk, tubuhnya terasa berat.
“Sudah bangun?” Suara berat Reymond memecah keheningan, tapi matanya tetap tertuju pada kertas-kertas di hadapannya.
Emily mencoba mengingat. “Kenapa aku ada di sini?” tanyanya dengan suara serak.
“Kamu pingsan tadi malam. Saya bawa ke apartement saya,” jawab Reymond singkat tanpa mengalihkan pandangannya. Tangannya dengan cekatan membolak-balik dokumen di depannya. “Kamu masih belum sepenuhnya sadar.”
Emily hanya bisa mengangguk kecil. “Aku…” suaranya terhenti, bingung harus berkata apa.
Reymond mendesah, bangkit dari kursinya. “Saya buatkan teh hangat untukmu. Duduklah.”
Emily memperhatikan pria itu pergi ke dapur kecil di sudut ruangan. Pandangannya beralih ke sekeliling. Ruangan ini terasa asing, tapi ada sesuatu yang menenangkan. Meja kerja yang penuh berkas, sofa kecil di dekat jendela besar, dan ranjang rapi di pojok.
“Oh, ini apartementnya,” gumam Emily, ingatannya mulai kembali.
Tak lama, Reymond kembali dengan dua cangkir teh hangat. Dia meletakkan salah satunya di meja di depan Emily. “Minumlah.”
“Terima kasih, Pak Rey,” ucap Emily, mengambil cangkir itu dengan tangan gemetar. Dia menyesap perlahan, menikmati kehangatan yang mengalir di tenggorokannya. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sejenak.
“Jadi, kamu mau tidur dengan saya?” tanyanya tiba-tiba.
“Uhuk… uhuk…” Emily tersedak, batuknya pecah di tengah keheningan. Wajahnya merah padam, dia tak berani menatap Reymond.
“Sepertinya kamu sudah sadar sepenuhnya,” kata Reymond santai, mengambil cangkir tehnya sendiri.
Emily mencoba mencari kata-kata, tapi lidahnya terasa kelu. “A-aku harus pulang,” ujarnya akhirnya.
“Besok pagi saja,” jawab Reymond sambil duduk kembali di sofa. “Istirahatlah dulu. Saya tidak akan melakukan apa-apa.”
Emily terdiam, tak tahu harus merespons bagaimana. Dia memandang ke arah kamar mandi ketika suara air shower terdengar. Pikirannya melayang. Kenapa aku merasa aman di dekatnya? Padahal, dia pria asing…
Setengah jam berlalu. Reymond keluar dari kamar mandi, mengenakan kaus sederhana dan celana santai. Dia melihat Emily yang masih duduk di sofa, tampak bingung.
“Kenapa belum tidur?” tanyanya sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.
Emily mengangkat bahu. “Sepertinya aku nggak bisa tidur lagi.”
Reymond mendekat, menatapnya dengan intens. “Jangan khawatir, saya tidak akan macam-macam. Kamu tidur saja, saya di sofa.”
“Tapi…” Emily menggigit bibirnya. “Aku nggak takut sama Pak Rey.”
Reymond mengangkat alis, heran. “Kenapa?”
Emily menunduk, suaranya hampir tak terdengar. “Karena… hatiku bilang kalau Pak Rey bukan ancaman.”
Reymond menarik napas panjang, lalu meraih tangannya perlahan. “Kamu terlalu percaya. Sekarang, tidurlah. Saya akan di sofa.”
Emily mengangguk kecil, meski hatinya ragu. Tapi sebelum dia sempat beranjak, dia berbisik pelan, “Kalau… mau berbagi ranjang juga nggak apa-apa.”
Reymond berhenti, menatapnya tajam. “Berbagi ranjang denganmu?”
Emily terperangah, buru-buru menjelaskan, “Bukan begitu maksudnya! Aku cuma… cuma nggak ingin Pak Rey tidur di sofa. Kasihan…”
Pria itu tertawa kecil, suara husky-nya menggema. “Baiklah, akhiri saja drama ini. Saya tidur di ranjang, dan kamu juga. Tapi jaga jarak.”
Emily hanya bisa mengangguk malu-malu, mengikuti Reymond yang sudah berbaring di sisi ranjang. Dia naik perlahan, menjaga jarak, tapi tetap bisa mendengar napas Reymond yang teratur.
“Kenapa masih menatap saya, nona?” suara Reymond tiba-tiba terdengar, meskipun matanya tetap terpejam.
Emily tersentak, wajahnya memerah. “A-aku nggak…”
“Tidurlah, Emily. Besok akan jadi hari yang panjang,” potong Reymond, sebelum keheningan kembali menyelimuti mereka.
Tetapi, Emily mencuri-curi pandang untuk terus menatap Reymond yang mulai terlelap dari tidurnya.
Perempuan itu tersenyum, perasaan nyaman dia rasakan ketika dia menarik selimut dan menutup tubuhnya yang mulai terasa hangat.
“Nyaman sekali.” Ucapnya yang hampir tidak bersuara.