Di sebuah kota kecil yang diselimuti kabut tebal sepanjang tahun, Ardan, seorang pemuda pendiam dan penyendiri, menemukan dirinya terjebak dalam lingkaran misteri setelah menerima surat aneh yang berisi frasa, "Kau bukan dirimu yang sebenarnya." Dengan rasa penasaran yang membakar, ia mulai menyelidiki masa lalunya, hanya untuk menemukan pintu menuju dunia paralel yang gelap—dunia di mana bayangan seseorang dapat berbicara, mengkhianati, bahkan mencintai.
Namun, dunia itu tidak ramah. Ardan harus menghadapi versi dirinya yang lebih kuat, lebih kejam, dan tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Dalam perjalanan ini, ia belajar bahwa cinta dan pengkhianatan sering kali berjalan beriringan, dan terkadang, untuk menemukan jati diri, ia harus kehilangan segalanya.
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HARIRU EFFENDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14:Nafas Dibalik Bayangan
Langit malam memayungi kastil yang menjulang tinggi, memancarkan aura keangkeran yang tak terelakkan. Gerbang yang sebelumnya terbuka kini berderit menutup perlahan, seolah memenjarakan Ardan di dalam rahasia kelam yang menguasai tempat itu. Ia berdiri di depan pintu kayu raksasa yang dihiasi ukiran kuno, sembari merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Setiap langkah yang ia ambil menggema di lorong panjang, memantulkan suara sepatu yang terasa seperti dentuman genderang kematian. Dinding-dinding batu di sekitarnya dingin dan lembap, dihiasi dengan lilin yang nyaris padam. Cahaya redup mereka hanya cukup untuk menunjukkan bayangan Ardan yang melayang di atas permukaan lantai.
Namun, bayangan itu tidak selalu bergerak bersamaan dengannya. Kadang, ia menyadari sesuatu yang aneh: gerakannya tertunda, atau bayangan itu bergerak ke arah lain sebelum kembali menyesuaikan diri.
"Jangan terlalu dipikirkan," gumam Ardan, mencoba menenangkan dirinya. Tapi suara langkahnya terdengar semakin pelan, seolah-olah ia tahu bahwa semakin dalam ia masuk, semakin sulit untuk keluar.
Di ujung lorong, sebuah pintu kecil dari besi hitam berdiri, memancarkan hawa yang berbeda dari sisa kastil. Ardan meraih gagangnya dengan ragu-ragu, dinginnya logam itu seperti menusuk kulitnya. Saat pintu terbuka, ia disambut dengan ruangan yang luas, dengan jendela besar yang menghadap ke jurang gelap.
Di tengah ruangan, ada sebuah meja bundar. Di atasnya terletak cermin oval besar dengan bingkai emas yang dihiasi ornamen rumit. Permukaannya memantulkan cahaya lilin dengan cara yang aneh, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalamnya.
Ardan mendekat, tubuhnya tertarik oleh rasa ingin tahu yang tidak dapat ia jelaskan. Namun, saat ia hendak menyentuh bingkai cermin, suara tawa kecil terdengar dari belakangnya.
Ia berbalik cepat, tapi tidak ada apa-apa di sana.
"Halo?" suaranya gemetar, menggema di seluruh ruangan.
Tidak ada jawaban. Tapi sesuatu terasa berubah—udara di sekitar menjadi lebih berat, seolah-olah ada mata yang mengawasinya dari kegelapan.
Cermin itu berkilauan, menarik perhatian Ardan kembali. Di dalam pantulannya, ia melihat dirinya sendiri. Tapi, tunggu. Itu bukan dia. Sosok di dalam cermin berdiri dengan posisi yang sama, tetapi wajahnya menyeringai, menunjukkan senyum yang mustahil dilakukan oleh manusia biasa.
Senyum itu melebar, melebar, hingga hampir memisahkan rahangnya. Lalu, dengan suara berderak, sosok itu keluar dari cermin, menginjak lantai dengan langkah berat.
Ardan terjatuh ke belakang, matanya membelalak melihat makhluk itu. Kulitnya seperti retak-retak kaca, dengan retakan yang bersinar merah menyala. Matanya menatap langsung ke Ardan, penuh dengan kebencian dan amarah yang tak terjelaskan.
Makhluk itu tidak berbicara, hanya bergerak maju dengan perlahan. Setiap langkahnya menggema, seolah ruang itu bergetar oleh keberadaannya.
Ardan panik, meraih apa pun yang bisa ia gunakan sebagai senjata. Tangannya menyentuh lilin di meja, lalu dengan cepat melemparkannya ke arah makhluk itu. Api lilin mengenai tubuhnya, tapi hanya menyebabkan retakan itu menyala lebih terang, seperti memperburuk situasi.
Makhluk itu mengangkat tangannya, retakan di tubuhnya semakin menyala seperti lava yang siap meledak. Tapi sebelum ia menyerang, suara lain bergema di ruangan itu.
"Berhenti."
Suara itu datang dari arah pintu. Sosok seorang pria tua berdiri di sana, mengenakan jubah hitam panjang. Rambutnya putih seperti salju, dan matanya memancarkan kebijaksanaan yang penuh misteri.
Makhluk itu berhenti, menoleh perlahan ke pria tua itu, lalu memudar menjadi debu, meninggalkan ruangan kembali hening.
"Siapa... siapa kau?" tanya Ardan dengan napas terengah-engah.
Pria itu tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk, menatap cermin yang sekarang kembali menjadi benda mati. "Aku penjaga kastil ini. Dan kau, anak muda, baru saja membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap tertidur."
Ardan bangkit dengan susah payah, merasa marah dan bingung. "Aku tidak membangunkan apa-apa! Aku hanya ingin jawaban!"
Pria itu menatapnya tajam. "Jawaban? Kadang, kau harus siap menghadapi mimpi buruk untuk mendapat jawaban."
Ia mendekati Ardan, tangannya menyentuh buku yang masih tergenggam erat. "Dan buku ini, adalah kunci dari semua itu."
Pria itu mengangkat alis, menunjukkan senyum tipis. "Sekarang, kau harus memilih: melanjutkan jalan ini, atau meninggalkan semuanya dan kembali ke tempat asalmu. Tapi ingat, pilihanmu akan menentukan siapa yang akan bertahan di akhir."
Ardan terdiam, terombang-ambing oleh ketakutan dan rasa ingin tahunya.
---
Di detik terakhir sebelum pria itu berbicara lagi, Ardan melihat pantulan cermin di belakang pria itu. Tapi tidak ada pria tua di sana—hanya Ardan, berdiri sendirian di ruangan itu.