Deskripsi:
Di sebuah ruang sunyi yang dihiasi mawar merah dan lilin-lilin berpendar redup, seorang pengantin dengan gaun merah darah duduk dalam keheningan yang mencekam. Wajahnya pucat, matanya mengeluarkan air mata darah, membawa kisah pilu yang tak terucap. Mawar-mawar di sekelilingnya adalah simbol cinta dan tragedi, setiap kelopaknya menandakan nyawa yang terenggut dalam ritual terlarang. Siapa dia? Dan mengapa ia terperangkap di antara cinta dan kutukan?
Ketika seorang pria pemberani tanpa sengaja memasuki dunia yang tak kasat mata ini, ia menyadari bahwa pengantin itu bukan hanya hantu yang mencari pembalasan, tetapi juga jiwa yang merindukan akhir dari penderitaannya. Namun, untuk membebaskannya, ia harus menghadapi kutukan yang telah berakar dalam selama berabad-abad.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1: PENGANTIN MERAH
Hujan deras mengguyur malam itu, menenggelamkan suara langkah kaki yang bergegas di jalanan berbatu. Langit gelap menggantung rendah, seakan hendak menelan seluruh desa kecil di lembah itu. Desiran angin membawa bau tanah basah, bercampur aroma bunga mawar yang tiba-tiba terasa begitu menyengat.
Arjuna, seorang pria muda yang dikenal penduduk desa karena keberaniannya, berlari menembus badai. Dia tidak mempedulikan pakaian basah kuyup atau dinginnya angin yang menusuk tulang. Di tangannya tergenggam lentera yang redup cahayanya, hampir padam oleh hujan. Dia tidak punya waktu untuk kembali ke rumah, meski ibunya sudah memperingatkan agar malam ini tidak keluar.
"Jangan pergi ke bukit itu, Jun!" seru ibunya sebelum badai datang. "Ada cerita yang tak pernah bisa dijelaskan. Jika kau mendengar suara lonceng, jangan ikuti."
Namun, peringatan itu justru menjadi alasan Arjuna berada di sini sekarang. Suara lonceng itu… Ia mendengarnya lagi. Samar, melengking di antara gemuruh petir, memanggil dari arah hutan tua yang terlarang. Suara itu seperti undangan, sebuah jeritan minta tolong yang menggema di kepalanya.
---
Langkah kakinya terhenti di depan sebuah rumah tua yang terbengkalai di tengah hutan. Rumah itu besar, berarsitektur kolonial dengan jendela-jendela tinggi yang pecah di beberapa sisi. Mawar liar tumbuh merambat di dinding batu, menyelimuti hampir seluruh bangunan. Anehnya, mawar-mawar itu tetap merah cerah meski di tengah badai yang menggila.
Pintu kayu besar yang sudah lapuk berdiri sedikit terbuka, mengeluarkan bunyi derit setiap kali tertiup angin. Arjuna menarik napas dalam-dalam. Ada sesuatu yang salah di tempat ini, tapi dorongan untuk masuk terlalu kuat untuk diabaikan.
"Lonceng itu..." gumamnya. Dia mendengarnya lagi, lebih keras kali ini, berasal dari dalam rumah.
Dia mendorong pintu, yang terbuka dengan mudah, memperlihatkan interior gelap dan penuh debu. Udara di dalam terasa berat, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya. Namun, yang paling mencolok adalah aroma mawar yang semakin pekat, hampir membuatnya pusing.
Cahaya lentera di tangannya menari-nari di dinding ruangan, memperlihatkan potongan-potongan kenangan yang tertinggal. Ada foto keluarga yang usang, sebuah piano tua yang salah satu tuts-nya patah, dan cermin besar dengan bingkai emas yang berkarat. Tapi cermin itu... ada sesuatu yang salah dengannya.
Arjuna berhenti di depan cermin, menatap pantulannya yang buram. Namun, alih-alih melihat dirinya sendiri, ia melihat seorang wanita dalam gaun merah berdiri di belakangnya. Wajahnya tertutup rambut panjang yang kusut, tetapi ada setitik cahaya di mata gelapnya yang membuat Arjuna terpaku.
"Siapa kau?" tanyanya dengan suara serak.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya menatapnya melalui cermin, sebelum perlahan-lahan mengangkat tangan, menunjuk ke arah sebuah pintu di sudut ruangan. Pintu itu terkunci dengan rantai besi, dan di atasnya tergantung sebuah lonceng kecil yang terbuat dari perak.
"Lonceng itu..." bisik Arjuna, tubuhnya gemetar.
Seketika, pintu di belakangnya tertutup dengan keras, membuat lentera di tangannya hampir terjatuh. Wanita itu menghilang dari cermin, tetapi lonceng di pintu rantai mulai berdenting pelan, seolah ada angin yang tak kasat mata menyentuhnya.
Arjuna melangkah mundur, tapi kakinya tersandung sesuatu. Dia terjatuh, dan lentera yang digenggamnya padam. Kini dia benar-benar dalam kegelapan.
"Jangan pergi..." Suara wanita itu tiba-tiba terdengar, begitu lembut namun penuh kepedihan, seperti seseorang yang menangis di kejauhan. "Tolong aku..."
Rasa takut bercampur rasa penasaran membuat Arjuna bangkit berdiri. Meski akalnya berkata untuk pergi, hatinya berkata lain. Ada sesuatu di balik pintu itu, sesuatu yang membutuhkan pertolongannya.
Dengan tangan gemetar, dia meraba dinding, mencari sumber cahaya lain. Tangannya menyentuh sebuah lilin besar di atas meja dekat piano. Dia menyalakannya dengan korek api yang selalu ia bawa di saku. Cahaya kecil dari lilin memperlihatkan lebih banyak detail ruangan.
Di meja itu, Arjuna melihat sesuatu yang aneh. Sebuah buku catatan kulit, dengan lembaran yang sudah menguning. Judulnya tertulis dengan tinta merah: "Kisah Pengantin Mawar."
Dia membuka halaman pertama, dan membaca dengan suara pelan:
"Pada malam bulan purnama, seorang pengantin merah akan kembali untuk mencari mempelai yang hilang. Ia menangis untuk cinta yang terputus, untuk janji yang tak terpenuhi. Mawar merah adalah tanda keberadaannya, dan darah adalah harga yang harus dibayar untuk membebaskannya."
Arjuna terdiam. Kisah itu seperti legenda yang pernah ia dengar waktu kecil, tentang seorang wanita yang bunuh diri karena ditinggalkan oleh kekasihnya di hari pernikahan. Namun, ia tidak pernah percaya cerita itu nyata—sampai sekarang.
Suara lonceng kembali berbunyi, kali ini lebih keras, memecah keheningan. Pintu berantai di sudut ruangan tiba-tiba terbuka sendiri, rantainya jatuh ke lantai dengan suara berdentang.
---
Dengan lilin di tangan, Arjuna melangkah masuk ke ruangan di balik pintu itu. Ruangan itu jauh lebih gelap dan dingin. Aroma mawar semakin menyengat, membuatnya mual.
Di tengah ruangan, ada sebuah altar kecil yang dikelilingi oleh lilin-lilin yang sudah meleleh. Di atas altar itu, ada sebuah gaun pengantin merah, tergantung tanpa tubuh yang memakainya. Darah mengering di sekitar pinggang gaun itu, dan di atasnya, ada seikat mawar merah yang tampak segar.
"Darah untuk membebaskan..." gumam Arjuna, mengingat tulisan di buku tadi.
Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, bayangan wanita itu muncul lagi, kali ini berdiri tepat di depan altar. Wajahnya kini terlihat jelas. Kulitnya pucat seperti mayat, bibirnya membiru, dan matanya menangis darah. Tapi di balik semua itu, ada kesedihan yang begitu dalam, seperti jiwa yang kehilangan segalanya.
"Tolong aku..." katanya lagi, suaranya hampir tak terdengar.
Arjuna merasa lututnya lemas, tapi dia tidak mundur. "Apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, suara gemetar.
Wanita itu tidak menjawab. Dia hanya mengangkat tangannya, menunjuk pada mawar di atas altar. Saat itulah Arjuna menyadari bahwa jarinya berlumuran darah, dan darah itu menetes ke lantai, membentuk pola seperti lingkaran ritual.
---
Sebelum dia bisa berpikir lebih jauh, pintu di belakangnya tertutup dengan keras, membuatnya terperangkap di ruangan itu. Cahaya lilin di altar mulai bergetar, seperti hendak padam.
"Tolong aku... atau aku akan terus di sini, menangis selamanya."
Suara itu kini terdengar seperti teriakan, memenuhi seluruh ruangan. Arjuna tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi dia merasa tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar, dia mengambil mawar dari altar.
Namun, saat dia menyentuhnya, duri mawar itu menembus kulitnya, membuat darahnya menetes ke gaun pengantin di bawahnya. Seketika, ruangan itu bergetar hebat. Lilin-lilin di sekitarnya padam, dan bayangan wanita itu mulai memudar.
Arjuna terjatuh, pingsan karena rasa lelah dan takut yang bercampur menjadi satu. Sebelum semuanya menjadi gelap, dia mendengar bisikan terakhir dari wanita itu:
"Terima kasih... tapi ini baru permulaan."
Ketika Arjuna sadar, dia sudah berada di luar rumah tua itu, basah kuyup oleh hujan yang entah sejak kapan berhenti. Namun, mawar merah yang tadi dia pegang kini ada di tangannya. Dan di kejauhan, suara lonceng itu berbunyi lagi, kali ini lebih lembut, seolah menyambut sesuatu yang baru saja bangkit.