“Gun ... namamu memang berarti senjata, tapi kau adalah seni.”
Jonas Lee, anggota pasukan khusus di negara J. Dia adalah prajurit emas yang memiliki segudang prestasi dan apresiasi di kesatuan---dulunya.
Kariernya hancur setelah dijebak dan dituduh membunuh rekan satu profesi.
Melarikan diri ke negara K dan memulai kehidupan baru sebagai Lee Gun. Dia menjadi seorang pelukis karena bakat alami yang dimiliki, namun sisi lainnya, dia juga seorang kurir malam yang menerima pekerjaan gelap.
Dia memiliki kekasih, Hyena. Namun wanita itu terbunuh saat bekerja sebagai wartawan berita. Perjalanan balas dendam Lee Gun untuk kematian Hyena mempertemukannya dengan Kim Suzi, putri penguasa negara sekaligus pendiri Phantom Security.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Fragmen 2
Lima tahun kemudian ....
“Tuan Presiden!” Tidak ada yang lebih mengejutkan dari ini selama dirinya--Jonas Lee, menjalani kehidupan baru sebagai Lee Gun si pelukis.
Di hadapannya, sesosok lelaki tua menguasai penglihatan.
Suho Kim, pria nomor satu di negara K ini datang dengan kawalan ketat, berjejer para pria tinggi dengan jas hitam senada di belakangnya.
Siapa yang percaya ini? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri. Lee Gun pelukis tidak terkenal kedatangan tamu agung yang dielukan seluruh penjuru negeri.
"Apakah Anda Tuan Lee Gun?" tanya Suho Kim.
Gun terkesiap mendengar presiden mengetahui detail namanya. Sedikit kelabakan, lalu menjawab, “Benar, Tuan. Saya Lee Gun,” akunya sesopan mungkin. “Tapi mereka biasa memanggil bagian akhirnya saja, Gun.”
Jawaban itu menarik senyuman tipis di bibir presiden, mengangguk ringan sedikit merasa lucu. Entah siapa 'mereka' yang dimaksud oleh pemuda berambut fluffy itu. "Umm, Tuan Gun-”
"Gun! Sebut saja Gun!” potongnya. “Tidak perlu memakai tuan. Saya merasa tidak pantas, terlebih oleh orang seperti Anda."
Suho Kim tersenyum. "Memangnya seperti apa aku?"
Senyum Gun tersabit 'tak berlebihan. "Sepertinya tidak perlu saya jelaskan, Anda sudah tahu jawabannya, Tuan."
Suho Kim malah terkekeh. "Baiklah kalau begitu,” katanya tidak memperpanjang. "Jadi, Gun ... bolehkah saya masuk?"
Menyadari kebodohannya, Gun berkata cepat, "Oh, maaf dengan itu. Silakan, Tuan." Dia menepi dengan satu tangan terjulur ke dalam memberi ruang pada tamu istimewanya untuk masuk. "Maaf, tempatnya sedikit berantakan."
"Tidak masalah," tanggap Suho Kim.
Sebuah bangunan kecil dan sederhana. Tidak ada yang berantakan di dalam rumah seperti yang dikatakan Gun barusan, semua tersusun sesuai porsi dan kepantasan yang lumayan menyita mata.
Suho Kim dengan tetap diikuti dua pengawal berkeliling melihat-lihat. Bukan dinding bercat kelabu atau lampu yang tergantung seperti cula badak yang menjadi sejurus perhatiannya, dia menikmati beragam lukisan indah yang dihasilkan oleh kemahiran tangan seorang pemuda bernama Lee Gun.
“Lukisan-lukisan yang indah. Karya yang tak pantas dibelakangi. Seharusnya kau sudah bisa membangun galeri yang besar dengan kemampuanmu ini, Nak.”
Gun tersenyum tipis dan menanggapi, “Anda berlebihan, Tuan Presiden. Karyaku belum sesempurna itu untuk kategori galeri besar. Aku masih harus banyak belajar.”
“Tidak!” sangkal Suho. “Kau sudah sangat luar biasa. Meskipun namamu berarti senjata, tapi kau adalah seni."
Lagi-lagi Gun hanya tersenyum tipis. "Terima kasih untuk pujian Anda, Tuan Presiden. Saya merasa sangat tersanjung.”
Kaki Suho terus terseret untuk membawanya melihat-lihat semua koleksi karya yang Gun ciptakan. “Kadang aku menyayangkan, kenapa banyak keindahan seperti ini yang tersembunyi. Sementara yang tak menarik menguasai banyak eksistensi di muka bumi.”
Gun tersenyum, bukan menanggapi kelebihan dirinya sendiri yang kalah pamor oleh yang bodoh, baginya tak ada yang spesial mengenai itu. Dia hanya setuju dengan pernyataan Tuan Presiden.
Tepat di sebilah dinding, tergores lukisan seorang putri dengan mahkota dan gaun putih berkilauan, Suho melebarkan senyum. Menyapu setiap detail dengan perasaan lebih bangga lagi.
"Inilah alasan kenapa aku datang kemari menemuimu, Nak. Aku melihat karya yang sama di taman kota, dan ada namamu di sana." Lantas dia menoleh Gun yang berdiri di samping menemaninya sedari tadi. "Aku ingin kau melukis dinding di kamar putriku sebagai hadiah ulang tahunnya."
*****
Esok harinya.
“Kau memancing ikan yang besar. Pergilah dan lakukan kesenanganmu. Hari ini tidak ada tugas yang penting.”
Lee Gun memulas senyum menyikapi lawan bicara di line telepon. "Kupegang kata-katamu, Pak Tua," ujarnya seraya meraih sebotol parfum lalu menyemprotkan asal saja ke leher serta bagian dada.
“Jangan menggangguku dengan misi yang mendadak.”
Lawan bicara di seberang tertawa lepas, "Kali ini kau boleh mematikan ponsel. Aku akan sibuk di dapur untuk menggulung sushi."
Panggilan diputus.
Layar ponsel ditatap Gun sembari tersenyum kecut. "Sialan itu! Awas saja kalau sampai dia berulah dengan panggilan yang tiba-tiba.” Lalu dimasukannya benda pintar itu ke dalam saku celana.
Semua yang dibutuhkan telah menyatu di dalam tas punggung ukuran sedang, Gun menentengnya di tangan kanan. Waktu mendorongnya keluar untuk menjalankan permintaan seorang Suho Kim yang katanya ingin dibuatkan lukisan dinding untuk putrinya.
Dari rumah galeri, Gun melaju bersama sebuah sepeda motor yang dibelinya dari O-sung, seorang teman yang bergelut dengan dunia balap dan otomotif.
Satu jam lebih setengah, waktu yang dimakan untuk sampai di istana megah kediaman presiden. Gun menunjukkan sebuah benda sejenis kartu yang diberikan Suho pada penjaga untuk mempermudah akses masuk ke istananya.
Setelah memastikan motornya terparkir dengan baik, lelaki muda itu berjalan memasuki area halaman dengan tas di balik punggung, melangkah tanpa canggung. Pandangan disapukannya ke sekitaran, ada banyak penjaga mengisi beberapa titik.
Melihatnya berjalan, para penjaga itu memasang kewaspadaan tinggi, berpikir dirinya mungkin saja seorang penjahat, atau terburuknya dianggap orang gila yang meminta segigit apel.
Tapi kemudian seorang pria dengan usia mungkin setengah abad atau lebih, datang dari dalam rumah dan menghampiri.
"Apakah kau yang bernama Gun?"
Angguk dan jawaban 'iya' dari Gun langsung dibalas cepat dengan gestur mempersilakan untuk masuk ke dalam rumah oleh pria itu.
Para penjaga kembali ke posisi tegak, mematahkan kewaspadaan mereka terhadap pemuda yang dilihat dari sisi mana pun tidak ada pantas-pantasnya sebagai tamu keluarga naratama, dia datang dengan sebuah motor butut. Dari segi penampilan, Gun juga terlalu apa adanya, jeans panjang dipadu kemeja putih, hanya itu.
"Panggil aku Paman Jang."
Mendengar perkenalan dari pria tua itu, Gun mengangguk diiringi senyum. "Baik, Paman."
Perjalanan Gun bersama si pria tua sudah sampai di sebuah koridor setelah melewati tiga ruangan luas. Ada sepasang pintu elevator, mereka berdua memasuki kotak logam itu bersamaan, sampai berakhir di lantai empat.
"Ini adalah dinding yang disiapkan Tuan Presiden untuk kau lukis, Nak." Paman Jang menunjukkan dengan tangannya. Sebilah dinding di sebuah ruangan yang luasnya berkisar lima kali lima meter, sudah tersaji dengan cat polos seputih salju. “Dan ini adalah foto yang harus kau lukis.”
Gun mengecilkan mata saat melihat sebingkai foto di atas meja kecil yang di dalamnya berisi potret seorang gadis dengan senyuman lebar tak dibuat-buat. "Kenapa aku merasa tak asing dengan wanita itu," kata hatinya, naik ke kepala lalu memikirkannya.
"Nona Suzi Kim, putri satu-satunya Tuan Presiden." Pak Tua Jang memberitahu seolah bisa membaca apa yang ada dalam pikiran pemuda itu.
"Oh," Gun mengangguk kecil. Dia tahu presiden memiliki seorang putri, tapi baru tahu jika sosoknya seperti itu--yang ada di foto. "Lalu di mana Tuan Presiden?" tanyanya mengesampingkan pikiran tentang sosok seorang Suzi.
“Tuan Presiden ada pertemuan dengan para menteri. Beliau menyerahkan semua bagian ini padaku," jelas Paman Jang. Terang saja, pria itu dalah orang kepercayaan Suho untuk mengurus segala hal mengenai rumah.
Gun mengangguk paham tanpa bertanya lagi.
Meja berisi vas foto Suzi tadi diluruskan Paman Jang untuk mempermudah lingkup pandangan Gun. "Lukislah sebaik mungkin, Nak. Jangan kecewakan Tuan Presiden, karena ini disiapkan sebagai kado ulang tahun Nona. Aku akan suruh pelayan mengantarkan makanan dan minuman untuk menemani pekerjaanmu."
Gun mengangguk dipulas senyuman tipis. “Aku akan berusaha, Paman. Terima kasih.”
maaf ya thor 🙏 aq slow respon baca novelmu karena aq tepar euy udah 4 hari ini, thor jangan lupa jangan kesehatan ya 💪😍 & semoga lancar rejeki bwt dirimu thor 🤲
seneng bgt 👍👍👍👍
🙏🙏🙏🙏🙏🙏.
bilamana memang pembaca suka dan sllu menantikan update anda thor...pasti walaupun boom update juga pasti like...itu pasti...
Oiya kabar Archie gimana? Masih koma kah? Kangen sama aksi² Archie yang heroik, Archie dimana kau ❤️