Samuel, pria berusia 38 tahun, memilih hidup melajang bertahun-tahun hanya demi satu tujuan—menjadikan Angelina, gadis 19 tahun yang selama ini ia nantikan, sebagai pendamping hidupnya. Setelah lama menunggu, kini waktu yang dinantikannya tiba. Namun, harapan Samuel hancur saat Angelina menolak cintanya mentah-mentah, merasa Samuel terlalu tua baginya. Tak terima dengan penolakan itu, Samuel mengambil jalan pintas. Diam-diam, ia menyogok orang tua Angelina untuk menikahkannya dengan paksa pada gadis itu. Kini, Angelina terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkannya, sementara Samuel terus berusaha memenangkan hatinya dengan segala cara. Tapi, dapatkah cinta tumbuh dari paksaaan, atau justru perasaan Angelina akan tetap beku terhadap Samuel selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kak Rinn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam pertama penuh drama
Saat melihat Angelina pergi, Samuel segara mengejar Angelina, menarik tangannya dan berkata, "Angeline! Kemana kamu akan pergi, hah!? Apa kau tidak tahu, seberapa sakit yang kurasakan saat ini! Aku telah menunggu mu bertahun-tahun, memilih melajang selama bertahun-tahun hanya untuk menunggumu dewasa!"
Samuel menatap Angelina dengan mata yang berkaca-kaca, emosi bercampur antara kemarahan dan rasa sakit. "Aku memberikan segalanya, bahkan mengorbankan waktuku, masa mudaku... semua hanya untuk hari ini, agar aku bisa memilikimu."
Angelina menatap Samuel dengan tatapan tajam, berusaha menarik tangannya yang digenggam erat. "Dan kau pikir itu alasan yang cukup untuk memaksaku? Kau tidak bisa memiliki seseorang hanya karena kau menunggu mereka! Aku punya hak untuk memilih, Samuel!"
Samuel menghela napas dalam, menahan amarah yang hampir meledak. "Aku hanya ingin kita bahagia. Aku pikir... kau akan mengerti setelah kau berada di sisiku."
"Tidak!" Angelina berteriak. "Kau tidak bisa menciptakan kebahagiaan dengan cara seperti ini."
Samuel melepaskan tangannya dengan berat hati, pandangannya penuh kekecewaan. "Baiklah," katanya pelan. "Jika itu yang kau inginkan, kita akan bicara lagi saat kau tenang. Tapi ingat, Angelina, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja."
Saat itu juga suasana mulai mereda. Melihat Samuel tidak mengatakan apapun lagi, Angelina segera berbalik dan berjalan menuju pintu luar mansion. Namun dengan cepat Samuel berada di depan pintu itu.
Pandangannya menggelap, poni-poni rambutnya menutupi matanya, ia mengepalkan tangannya.
"Kau boleh saja marah, menghancurkan apapun yang ada disini. Tetapi kau tidak akan pergi dari sini, Angelina," ujar Samuel dengan suara rendah, penuh tekad. "Sekarang, ini adalah rumahmu. Kau adalah istriku, dan di sini tempatmu."
Angelina menggigit bibirnya, merasa terpojok. "Apa kau pikir aku akan bahagia di sini? Menjadi istrimu tidak pernah ada dalam rencana hidupku!"
Samuel mendekat, tatapannya tajam dan tak tergoyahkan. "Aku tidak peduli jika kau bahagia sekarang atau tidak, Angelina. Kebahagiaan akan datang seiring waktu, dan aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu melihat itu."
Angelina merasa dadanya sesak, namun dia tahu percuma berdebat lebih jauh. Tatapan Samuel yang keras dan tak kenal kompromi membuatnya menyadari bahwa dia tidak punya pilihan. Dengan enggan, dia mundur, menahan amarah dan rasa frustrasi yang berkecamuk di dalam dirinya.
"Baiklah," bisiknya akhirnya. "Tapi jangan harap aku akan menerimamu begitu saja."
Ekspresi gelap Samuel memudar, ia kembali tenang seperti sedia kala. Kemudian ia tersenyum, seolah tak terjadi apapun.
"Yah kurasa waktunya untuk istirahat," ucap Samuel menatap Angelina dengan penuh arti.
Angelina membuang muka, "Aku tidak akan pernah mau satu ranjang denganmu!" lalu ia menatap keras pada Samuel, menunjuknya. "Dan ingat satu hal! Jangan pernah menyentuhku! Jika kau berani menyentuhku! Maka aku tidak akan segan-segan menghilang dirumah ini!"
Mata Samuel terbelalak oleh ancaman Angelina, ia menghela napas dan melirik dingin sebelum berjalan pergi meninggalkan Angelina, membuat Angelina terpana heran melihat reaksi Samuel yang begitu tenang. Seolah ancaman tadi hanyalah angin lalu baginya. Samuel berhenti sejenak, berbalik menatap Angelina dengan senyum tipis di wajahnya.
"Tenang saja," ucapnya lembut namun tajam. "Aku bukan tipe pria yang memaksa seseorang. Kau bisa tidur di kamar lain, jika itu yang membuatmu nyaman. Tapi ingat, Angelina, aku ingin kau tetap di sini... belajar untuk menerima kenyataan ini."
Angelina menelan ludah, tak menyangka Samuel bisa sedingin itu setelah semua amarah yang ia luapkan. Hatinya masih penuh pemberontakan, namun kini ia merasa tak berdaya, terkurung dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan.
Samuel kemudian melangkah pergi tanpa menoleh lagi, membiarkan Angelina berdiri di tengah ruang besar mansion itu, sendirian dan dikelilingi dinding megah yang kini terasa seperti jeruji.
**
Di tengah malam yang sunyi, Samuel yang sedari tadi bekerja di depan laptopnya setelah pertengkaran hebat dengan istrinya. Ia sejenak melepaskan kacamatanya dan menoleh ke pintu kamarnya.
"Apakah dia sudah tidur?" gumamnya berharap Angelina tidak melarikan diri lagi malam ini. Samuel menghela napas panjang, memikirkan bagaimana hubungan mereka yang penuh ketegangan sejak awal.
Meski sadar bahwa cara yang ia pilih untuk memiliki Angelina mungkin keliru, hatinya tetap bersikeras bahwa ia mampu membuatnya bahagia—jika saja Angelina memberinya kesempatan.
Rasa penasaran membawanya berdiri dan berjalan menuju pintu, membuka sedikit celah untuk mengintip ke lorong di luar kamarnya. Suasana sepi, hanya ada bayangan samar dari lampu koridor yang menerangi pintu kamar Angelina di ujung lorong.
Samuel ragu sejenak, namun akhirnya melangkah pelan mendekati pintu kamar Angelina. Ia berhenti di depan pintu, mendengarkan. Tak ada suara dari dalam, membuatnya sedikit lega.
"Setidaknya, dia masih di sini," gumamnya pelan, mencoba menenangkan pikiran. Namun, hatinya tetap gelisah, penuh harap bahwa suatu saat Angelina akan melihat ketulusan cintanya.
Perlahan ia membuka dengan sangat hati-hati dan pelan pintu kamar tidur di depannya, saat memiliki celah ia mengintip ke dalam kamar dan melihat Angelina terbaring di tempat tidur, tertidur pulas dengan selimut menutupi sebagian wajahnya. Wajahnya yang damai saat tidur membuat Samuel terdiam sejenak, seolah semua amarah dan kebencian yang tadi ia rasakan lenyap begitu saja.
Ia melangkah lebih dekat, berusaha menjaga keheningan. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ada cara yang lebih baik untuk meraih hati Angelina, tanpa harus memaksanya seperti ini. Tatapan lembut tersirat di matanya saat ia memandangnya lebih lama dari yang seharusnya.
Namun, Samuel segera tersadar dan menghela napas. “Maafkan aku,” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. Ia tahu bahwa jalan yang ia pilih ini mungkin membuat Angelina membencinya selamanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia memutuskan untuk pergi dan menutup pintu perlahan, berharap suatu hari Angelina akan bisa memahami perasaannya.
Saat itu juga Samuel kembali ke kamarnya sendiri, duduk di kursi meraih kacamata nya untuk lanjut bekerja di laptopnya. Samuel adalah seorang CEO dari perusahaan besar di bidang teknologi, yang ia bangun dari nol. Pekerjaan itu adalah hidupnya selama bertahun-tahun, namun kini, ia merasa ada yang lebih penting daripada sekadar bisnis atau keuntungan. Baginya, Angelina adalah alasan baru dalam hidupnya—seseorang yang ia harapkan dapat mengisi kekosongan di balik kesuksesan yang ia capai.
Samuel mengenakan kacamatanya dan mulai mengetik kembali, meski pikirannya terus melayang pada Angelina. Di layar, berkas-berkas kerja menumpuk, tapi fokusnya mulai terpecah. Bayangan wajah Angelina yang marah, penuh kebencian, masih terngiang di benaknya. ia berharap suatu saat Angelina akan mencintainya balik, tak peduli seberapa keras Samuel berjuang dan tersakiti.