Bismillahirrohmanirohim.
Blur
Ulya sedang seorang gadis muslimah yang sedang menunggu dokter memeriksa ibunya dengan rawat wajah khawatir. Tapi disaat dia sedang terus berdoa untuk keselamatan sang ibu tiba-tiba dia melihat seorang bocah sekitar berumur 4 tahun jatuh tak jauh dari tempatnya berada.
Ulya segera membantu anak itu, siapa sangka setelah bertemu Ulya, bocah itu tidak ingin berpisah dengan Ulya. Anak kecil itu ingin mengikuti Ulya.
"Jadilah pengasuh Aditya, saya akan menyanggupi semua syarat yang kamu mau. Baru pertama saya melihat Aditya bisa dekat dengan orang asing apalagi perempuan. Saya sangat meminta tolong sekali, Ulya agar kamu meneriam tawaran saya." Raditya Kasa Hans.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilmara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Bismillahirohmanirohim.
...Ingatlah, jangan memutuskan sesuatu dengan terburu-buru, pikirkan secara matang-matang. Karean sebuah penyesalan selalu datang diakhir....
Ingatlah, jangan memutuskan sesuatu dengan terburu-buru, pikirkan secara matang-matang. Karean sebuah penyesalan selalu ada diakhir.
Setelah keluar dari ruang kerja Hans, Ulya baru bisa bernafas lega. Menurutnya laki-laki yang entah siapa itu memilik wajah yang terlihat mengerikan.
"Untuk apa dia menyuruhku menjadi babysister Aditya. Lalu tadi dia bilang Aditya tidak gampang dekat dengan orang asing. Tapi aku merasa anak itu malah sangat rama," gumam Ulya.
Gadis itu sepanjang jalan menuju kamar rawat sang Mama terus saja mengoceh sendiri, sampai dia teringat akan satu hal. "inalilahiwainalilahirojiu'n, Astagfrullah ha-adzim!" Ulya menepuk jidatnya sendiri, dia sudah melupakan seorang.
Gadis itu belum memberi kabar pada kakak laki-lakinya, jika mama mereka mengalami kecelakaan. Kadang gadis berparas ayu itu memaki dirinya sendiri, karena terlalu sering melupakan sesuatu bahkan hal penting seperti sekarang ini.
Ulya segera mengambil handphonenya yang dia simpan di dalam tas selempang berwarna hitam miliknya yang sejak tadi berada di pundaknya.
Ibu Rida sendiri sudah dipindah di kamar rawat, selesai memberi kabar kakaknya Ulya sudah sampai di kamar rawat sang Mama mendekati brankar.
"Mama, kapan Mama mau buka mata. Maafkan Lia yang tidak bisa menolong Mama saat kejadian naas itu menimpa Mama," sesalnya menyalahkan diri sendiri.
Rasanya sungguh sesak bagi Ulya mengingat kejadian yang menimpa sang Mama dia lihat secara langusng.
Andai kala itu Ulya dapat menolong sang mama, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Tapi Ulya tidak ingin selalu berandai-andai, dia tahu semua ini sudah rencana sang Maha Kuasa, jika terus berandai-andai sama saja Ulya seakan tidak menerima takdir Allah.
20 menit berlalu, seorang laki-laki bertubuh tinggi tergesa-gesa menuju ruang rawat ibu Rida. Ada guratan khawatir yang terlihat jelas di wajah pria itu.
"Lia, Lia, kenapa coba baru kasih kabar." Kesal orang itu.
Karena sangat terburu-buru laki-laki itu tidak terlalu memperhatikan jalannya.
Bruk!
"Astagfirullah, maaf saya buru-buru," ucap Fahri-kakak Ulya.
Sudah mengucapkan kata maaf pada laki-laki yang hampir ditabrak tadi, Fahri kembali melangkah mencari kamar rawat Mamanya.
Akhirnya Fahri bisa dengan cepat menemukan kamar rawat Ibu Rida.
Ceklek!
Pintu kamar rawat dibuka oleh seorang, Ulya langsung menoleh pada pintu itu, dia tahu pasti kakaknya yang datang.
"Abang," ucapnya segera bangkit menghampiri Fahri yang masih mematung di tempatnya.
Tanpa basa-basi Ulya langsung memeluk kakaknya yang masih mematung di depan pintu. Mendengar suara tangis sang adik Fahri mengelus pucuk kepala adiknya sayang.
"Abang…maaf…hih…maaf…kan…Lia… Lia…nggak…bisa…jaga…mama…" Ucap Ulya terbata-bata karena menangis.
Padahal tadinya Fahri sudah berniat akan memarahi adiknya ini habis-habisan, baru memberi kabar keadaan mama mereka. Tapi melihat adiknya yang menangis tak karuan didekapannya membuat Fahri akhirnya mengurungkan niat untuk memarahi sang adik.
"Sudah jangan menangis lagi, tadi apa yang dokter katakan akan kondisi, Mama?" tanya Fahir melepaskan pelukan keduanya.
"Kata dokter, mama sudah melewati masa kritisnya. Tinggal menunggu mama siuman."
Adik dan kakak itu berjalan mendekati brankar yang di tempati mama mereka. Wanita yang selalu memberi semangat pada kedua orang tersebut.
"Lia, cuman takut kehilangan mama, bang. Lia belum siap, apalagi setelah kepergian, papa," ucapnya tertunduk.
Fahri menatap iba pada adiknya, dia ingat betul seberapa terpuruknya sang adik saat tahu papa mereka sudah tiada. Fahri menarik tangan sang adik lembut untuk memberi ketenangan disana. "Percaya sama abang. Insya Allah semua akan baik-baik saja." Ulya mengangguk.
Ulya dan Fahri memutuskan untuk menjaga mama mereka di rumah sakit sampai besok, Fahri juga sempat pulang untuk mengambil pakaian ganti mereka.
****
Pagi-pagi sekali Aditya sudah berada di depan kamar rawat ibu Rida, dia ingin bertemu dengan Ulya. Aditya tidak bisa menunggu mbak Ulya datang sendiri ke kamar rawatnya, takut mbak Ulya telah lupa akan janjinya.
"Astagfirullah, adik kecil ngapain disini?" tanya Fahri, dia baru saja akan membeli sarapan untuk dirinya dan sang adik.
"Mbak Ulya," ucapnya dingin seakan tidak senang melihat keberadaan Fahri.
"Lia sini, ada yang nyari," panggil Fahri pada sang adik. Tanpa bertanya pada kakaknya siapa yang sedang mencari dirinya, Ulya langsung saja menghampiri Fahri.
"Ada apa, bang?" Fahri tidak menjawab melainkan menunjuk Aditya.
"Masya Allah, Aditya kenapa disini? Mbak Ulya kan sudah bilang, Mbak sendiri yang akan mengunjungi Aditya."
"Aditya, takut mbak Ulya lupa," ucapnya sedih.
"Tidak mungkin lupa, Aditya." Ulya mengelus lembut pucuk kepala Aditya, keduanya sama-sama tersenyum.
"Kalian berdua mengobrol lah dulu tapi nanti jangan lupa sarapan Lia, Abang sudah membelikan sarapan untukmu."
"Iya Bang nanti Lia pasti makan kok," jawab Ulya patuh pada sang kakak.
Kakak laki-laki Ulya itu beralih menatap Aditya dengan senyum khasnya, walaupun anak laki-laki di hadapan Fahri ini menunjukkan wajah datarnya berbeda ketika melihat Ulya.
"Adik manis saya tinggal dulu," ucap Fahri berlalu masuk ke dalam kamar rawat mamanya.
Setelah kepergian Fahri, Ulya mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Aditya menarik pelan boca itu agar berdiri lebih dekat dengannya.
"Kamu ini sudah disini saja, ada apa memangnya? Aditya ingin melihat sesuatu atau ingin bermain bersama Mbak Ulya?"
Aditya menganggukkan kepalanya lalu dia juga menggelengkan kepala membuat Ulya tertawa akan tingkah Aditya.
"Begini Mbak, boleh Aditya jenguk Mama, Mbak Ulya, Aditya mau lihat? Lalu apakah boleh Aditya juga ikut memanggil Mbak Ulya dengan cebutan mbak Lia ceperti kakak tampan tadi."
"Benar Aditya ingin bertemu Mama, Mbak Lia?" tanya Ulya memastikan masih tak bisa membenarkan ucapan Hans yang mengatakan Aditya sudah dekat dengan orang asing.
"Betul Mbak Lia, Aditya ingin melihatnya."
Dari tempatnya berdiri Hans terus memperhatikan interaksi Aditya dan Ulya. Dia merasa tidak salah pilih sudah meminta Ulya untuk menjadi babysiter Aditya, tinggal menunggu persetujuan dari Ulya saja harapan Hans semgoa Ulya menerimanya seperti apa yang dia katakan pada Ulya.
"Hans," seorang menepuk pundak Hans membuat empuhnya menoleh.
"Benar kata Eris, kamu meminta wanita yang bersama Aditya itu untuk menjadi babysiter Aditya?"
Dokter Dika entah datang dari mana sudah berdiri di sebelah Hans ikut memperhatikan interaksi Ulya dan Aditya. Kedua laki-laki dewasa itu memang tidak tahu apa yang Aditya bicarkan pada gadis berbalut hijab syar'i itu yang pasti Aditya terlihat sangat bahagia.
Aditya bersama Ulya masih berada di depan pintu kamar rawat ibu Rida. "Ayo kita masuk ke dalam, tapi tidak boleh lama Aditya juga harus istirahat, mengerti sayang." Ulya mengelus sayang pucuk kepala Aditya.
"Siap Mbak Lia, asalkan Mbak Lia menemani Aditya nanti boleh?"
"Boleh, Insya Allah Mbak Lia akan menemani Aditya."
Akhirnya Ulya membawa masuk Aditya ke dalam kamar rawat ibu Rida atas permintaan Aditya sendiri.