Netha Putri, wanita karir yang terbangun dalam tubuh seorang istri komandan militer, Anetha Veronica, mendapati hidupnya berantakan: dua anak kembar yang tak terurus, rumah berantakan, dan suami bernama Sean Jack Harison yang ingin menceraikannya.
Pernikahan yang dimulai tanpa cinta—karena malam yang tak terduga—kini berada di ujung tanduk. Netha tak tahu cara merawat anak-anak itu. Awalnya tak peduli, ia hanya ingin bertanggung jawab hingga perceraian terjadi.
Sean, pria dingin dan tegas, tetap menjaga jarak, namun perubahan sikap Netha perlahan menarik perhatiannya. Tanpa disadari, Sean mulai cemburu dan protektif, meski tak menunjukkan perasaannya.
Sementara Netha bersikap cuek dan menganggap Sean hanya sebagai tamu. Namun, kebersamaan yang tak direncanakan ini perlahan membentuk ikatan baru, membawa mereka ke arah hubungan yang tak pernah mereka bayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masa Lalu dan Masa Kini
Netha duduk di atas sofa empuk ruang tamu, memainkan ujung kaos putihnya sambil menghela napas. “Aish, laki-laki ini.. Membuatku jengkel saja.”
Jantungnya sedikit berdegup lebih cepat ketika Sean Jack Harison, pria tinggi dengan seragam militer yang rapi, berada di hadapannya sedang menatapnya.
“Ada apa? Bukankah kamu ingin berbicara denganku? Cepat katakan.” ucap Netha mencoba untuk baik-baik saja.
Tatapan pria itu begitu dingin, seolah mampu menusuk siapa pun yang berani menantangnya.
“Astaga, biasa saja lihatnya. Ku colok juga kedua matamu itu..” ucap Netha dalam hati.
"Sudah selesai makan?" tanya Sean datar, tanpa melihat ke arahnya.
Netha hanya mengangguk kecil. “Sudah,” jawabnya pendek.
Sean duduk di sofa berhadapan dengannya, menaruh map cokelat di atas meja. Tangannya perlahan membuka map tersebut dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi banyak tulisan dan tanda tangan notaris di bawahnya. Netha melirik sekilas.
“Ini surat cerai,” ucap Sean tanpa basa-basi. Suaranya begitu tenang, seperti sedang membaca laporan rutin.
Netha menatapnya dengan mata sedikit melebar, namun ia cepat menguasai diri. “Cerai?” gumamnya pelan, memastikan dirinya tak salah dengar.
Netha menelan ludah, berusaha menyusun kalimat. Namun dalam hati, ia bersorak kegirangan. “Apa? Cerai? Ya ampun, ini jackpot! Padahal tadi aku hanya berbicara ingin pergi dari sini. Bukankah ini keberuntungan yang hakiki?”
Sean melanjutkan dengan nada tegas. “Aku tidak akan mempersulitmu. Semua sudah dipersiapkan. Aku hanya meminta hak asuh untuk El dan Al. Dan sebagai gantinya, kau akan mendapatkan uang sebesar lima miliar dan rumah ini akan jadi milikmu. Jika setuju, tanda tangani.”
Netha menatap kertas itu, matanya berbinar-binar. “Lima miliar?” bisiknya dalam hati. “Rumah ini juga? Gila, ini rezeki nomplok! Kenapa aku tak setuju, tentu saja. Manusia mana yang menolak rezeki ini dengan percuma. Tak sia-sia pergi melintasi waktu, dapat uang dan rumah sekaligus.”
Dalam benaknya, skenario bahagia mulai terputar. “Dengan uang ini Aku bisa hidup tenang, aku akan jalan-jalan keliling dunia, belanja barang bagus, tas, sepatu, jam tangan, pakaian bermerk, perawatan spa setiap hari. Ini seperti mimpi jadi nyata! Ah aku sudah tak sabar.”
Tanpa berpikir panjang, Netha langsung menyambar pena yang diletakkan Sean di atas meja. Dengan cepat, ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas cerai itu. “Bebas.. Aku bebas dan akan menikmati hidupku yang baru.”
Sean mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan sikapnya yang begitu sigap. “Cepat sekali, apakah ia memang dari dulu ingin berpisah?” gumamnya dingin.
Netha hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa senangnya.
“Kalau memang ini yang terbaik…aku bisa apa..” jawabnya, pura-pura pasrah.
Sean mengambil kembali kertas itu, kemudian menatapnya. Ia menarik napas dalam dan bersiap membubuhkan tanda tangannya sendiri. Namun tepat ketika ujung pulpen menyentuh kertas—
Tringggg… Tringggg…
Suara ponsel Sean berdering tajam. Sean memicingkan mata ke arah layar ponselnya. Nama “Komandan Evans” muncul di sana. Sean segera mengangkat panggilan itu, wajahnya berubah serius.
“Iya?” ucapnya singkat.
Dari seberang, terdengar suara tegas yang hanya bisa didengar Sean. Netha mencoba mendengarkan, namun Sean berdiri dan berjalan ke pojok ruangan. Ekspresi wajahnya semakin tegang seiring waktu.
“Baik, saya segera ke sana,” jawab Sean akhirnya sebelum memutus panggilan. Ia menyimpan ponsel di saku celana, lalu kembali ke meja.
“Kenapa?” tanya Netha penasaran, meskipun sebenarnya ia hanya ingin Sean segera menyelesaikan tanda tangannya.
Sean menatapnya lama sebelum menjawab. “Ada misi penting. Situasi di perbatasan darurat. Aku harus berangkat sekarang juga.”
Apa?! Netha hampir melonjak. “Tunggu… tunggu, tandatangani dulu dong! Kamu mau ke mana? Hei, komandan. Aku sudah menandatangani nya, sekarang giliranmu. Cepat, cepat tandatangan.”
Sean mengabaikan protes Netha. Ia berjalan cepat menuju tangga, mengambil beberapa barang di lantai atas. Tak lama kemudian, ia sudah kembali ke ruang tamu sambil mengenakan jaket dan tas kecilnya.
“Netha,” panggil Sean singkat.
Netha mendongak, masih dengan wajah kesal karena urusannya belum selesai. “Apa lagi?”
“Aku ada urusan. Kau harus menjaga El dan Al selama aku pergi. Ini urgen, aku tidak punya waktu memikirkan pengasuh atau siapa pun saat ini.”
Netha melongo. “Apa? Aku? Nggak bisa! Tinggal tanda tangan aja, aku dan kamu bebas. Kamu kan bisa bawa mereka.”
Sean tak peduli dengan protesnya. Ia merogoh saku jaket dan melemparkan dua kartu plastik ke atas meja, kartu kredit dan kartu debit.
“Pin-nya 112211,” ujar Sean tegas. “Kau bisa gunakan ini untuk membeli keperluan mereka atau apa pun selama aku tidak ada.”
Netha menatap kartu itu, matanya berbinar lagi. Kartu kredit? Debit? Ini makin menarik!
“Tunggu, Sean—”
Sean tak memberi kesempatan. Dengan langkah cepat, ia membuka pintu dan berlalu keluar. “Jaga mereka baik-baik. Jangan bikin masalah,” katanya dingin sebelum pintu tertutup.
Brak!
Netha terduduk di sofa, masih memegang kartu yang diberikan Sean. Bibirnya perlahan melengkung senang. “Ya ampun, uang lima miliar, rumah, kartu kredit… Wah, aku bisa hidup mewah. Tapi tunggu dulu, pria itu belum menandatangani surat nya. Aish.”
Ia tertawa kecil, senyum lebar terlukis di wajahnya. “Sepertinya hidupku di dunia ini nggak seburuk yang aku kira.”
Dari balik pintu kamar, El dan Al mengintip diam-diam. Wajah mereka terlihat muram. Mereka mendengar semua percakapan tadi.
“Papa… Sepertinya sudah mantap berpisah dengannya,” bisik Al dengan suara bergetar.
El hanya diam, menatap kosong ke arah ruang tamu.
“Aku tahu, sebenarnya aku masih ingin bersama nya.. Tapi, sepertinya papa sudah mengambil keputusan bulat. Sebentar lagi, kita pasti hidup bersama papa saja,” lanjut Al lagi. “Tapi kenapa dia nggak bawa kita sekarang?”
El akhirnya bicara, suaranya dingin seperti biasa. “Papa ada misi.”
Keduanya saling berpandangan sejenak. Lalu, dengan langkah kecil, mereka keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Netha masih duduk di sofa, memainkan kartu itu sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Papa mana?” tanya Al tiba-tiba.
Netha mendongak. Ia melihat kedua anak kembar itu berdiri di hadapannya. Wajah mereka polos, namun matanya penuh pertanyaan.
“Oh, pria itu? Papa kalian pergi,” jawab Netha santai, suaranya datar. “Ada misi katanya. Jadi kalian di tinggal disini.”
Al mengerutkan kening. “Kapan papa pulang?”
Netha mengangkat bahu. “Mana aku tahu? Papa kalian buru-buru pergi, jangankan bertanya kapan pulang, urusanku dengannya saja belum selesai.”
El, yang sedari tadi diam, menarik lengan Al. “Ayo masuk.”
“Tapi—” ucap Al.
“Masuk,” potong El singkat.
Al menurut. Keduanya kembali ke kamar mereka dengan wajah muram. Di dalam kamar, Al duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai.
“Kita hanya berdua sekarang,” ucap Al pelan. “Dia pasti bebas memarahi kita nanti. Apa yang akan kita lakukan, kak?”
El duduk di sebelahnya. “Kalau begitu, kita jangan bikin masalah. Jangan pernah ngomong sama dia kalau nggak perlu.”
Al mengangguk kecil, meskipun hatinya masih gelisah.
Di ruang tamu, Netha akhirnya bangkit dari sofa, berjalan menuju balkon. Angin sore bertiup lembut, membuatnya sedikit tenang. Ia bersandar pada pagar balkon, memandang jauh ke langit.
“Hidupku berubah total,” gumamnya pelan. “Wanita ini sebenarnya siapa?”
Ingatan tentang dirinya sendiri, Netha Putri, wanita karir berusia 27 tahun, masih segar di kepala. Namun kini ia terjebak di tubuh wanita lain yang hidupnya berantakan. Istri komandan militer, ibu dari anak kembar, dan sekarang…
“Ah, ini gila,” Netha mengusap wajahnya.
“Bagaimana bisa aku masuk ke dunia ini? Malaikat mana yang salah membuatku reinkarnasi ketubuh ini.”
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia terbangun di tubuh ini. Kerja lembur, kelelahan, dan… tertidur.
“Ini mimpi? Hah ya pasti mimpi. Aku akan mencobanya nanti, mungkin setelah bangun tidur, aku kembali ke kantor ku. Tapi kenapa ini terasa begitu nyata?”
Netha membuka matanya lagi, memandang ke arah halaman depan rumah besar itu. “Tapi kalau ini nyata, aku nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Lima miliar, rumah, kartu kredit…”
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Selagi aku di sini, aku akan menikmati semua ini. Kapan lagi, tanpa bekerja dapat uang banyak untuk bersenang-senang. Apalagi kartu baru yang diberikan pria itu, jangan sia siakan uang ini. Yok kita gas.”
Namun tiba-tiba ia terdiam, jauh di dalam hatinya, ada rasa tak nyaman. Tatapan kosong El dan Al tadi, sikap dingin Sean, dan kenyataan bahwa ia mungkin harus bertahan hidup di dunia yang asing ini…
“Ah, sudahlah. Pikir nanti saja,” ujarnya pada diri sendiri. Ia berbalik masuk ke dalam rumah, membiarkan angin sore membawa kekhawatirannya sejenak.