Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Ke-13
Hari ke -13
"Kau tahu? Aku iri kepada perempuan yang selalu bersyukur atas pemberian suaminya, bahkan dia menjaga harkat dan martabat suaminya dimanapun ia berada." Kata-kata profesor selalu terngiang di kepalaku.
Benar sekali, harusnya aku bersyukur mempunyai istri yang bahkan bisa membuat orang hebat sekalipun iri, lantas kenapa aku berfikir ingin menggantinya?
Kulihat galeri di handphoneku. Photo-photo keluarga kecilku memenuhi galeri.
Ku pandangi satu-persatu. 13 hari rumah tanggaku retak. Sebabnya jangan ditanya lagi, akulah pelakunya.
Kubuka aplikasi hijau, rasanya seperti lama sekali Limah tidak memberiku pesan. Padahal ia adalah perempuan paling cerewet yang pernah aku temui.
Ku scroll chatku dengan Limah.
[Assalamu'alaikum, Mas, nanti pulangnya jangan kemaleman, ya!] Dia menyelipkan emoticon tersenyum malu-malu.
[Waalaikumsalam, emang kenapa nih?] balasku sambil menyelipkan emoticon bingung.
[Aku ada kejutan, hehe.]
[Apa?]
[Makanya, Mas pulang dulu. Jangan lama-lama di kantornya!] Sifat manjanya mulai keluar walau hanya dari teks pesan.
[Iya deh, Mas pulang habis ashar, ya! Masakin makanan yang enak,] balasku kali itu.
Dia bersorak senang. Mengirimkan emoticon love berderet. Aku ingat betul, ini adalah pertama kali Jingga dititipkan oleh Allah untuk tumbuh di rahimnya.
[Mas, aku mau beli martabak telur yang ada di perbatasan itu. Boleh ya bawakan!] pintanya kali itu.
[Tapikan itu jauh, Dik. Sepertinya Mas akan pulang agak malam,] tolak ku halus.
[Tapi aku mau itu, Mas! Ini bawaan dede bayi, bukan aku yang mau,] kilahnya. Aku senyum-senyum sendiri membacanya lagi.
[Baiklah, tunggu Mas di rumah, ya!] Chat ini adalah pertama kalinya dia ngidam.
Aku ingat sekali dengan permintaan-permintaannya yang konyol itu. Dia memang tak pernah memaksaku untuk memenuhi, hanya saja aku ingin bertanggung jawab kepadanya.
Aku kembali senyum-senyum sendiri membaca chatnya yang lain.
[Mas, lagi apa?] Kadang baru saja aku sampai di kantor, ia sudah mengirimiku pesan.
[Mas, jangan lupa bekalnya dimakan untuk makan siang ya! Aku susah masaknya, loh.]
[Mas, pulang jam berapa?]
Dulu, dia selalu rajin mengirimiku pesan, dan aku selalu membalasnya. Walau hanya sebatas rasa tidak enak semata.
Namun sekarang, harus aku terlebih dahulu yang memulai mengirimkan pesan untuknya. Bahkan sering kali pesanku diabaikannya begitu saja.
Aku harus memperbaiki semuanya sebelum penyesalan benar-benar terjadi. Lalu bagaimana dengan, May?
Aku memikirkan berbagai cara untuk menghentikan drama ini. Aku harus bilang, bahwa kenyataannya aku sudah menikah. Sehebat apapun menyembunyikan bangkai, pasti akan tercium juga.
Bagaimana caranya? Apa harus menunggu waktu empat puluh hari, untuk sekadar berbicara hal ini dengannya? Atau secepatnya saja aku katakan, agar Limah tidak salah faham lagi?
Sudahlah, kupikirkan itu nanti, hari ini harus ku selesaikan tugas-tugasku. Aku sudah terlalu lama melamun tidak jelas, dan membuang waktuku begitu saja.
Aku kembali fokus menatap layar komputer, memasukkan digit demi digit angka di kolom jurnal. Pulang dari sini, aku ingin mengatakan yang sebenarnya kepada Limah. Aku tak sabar melihat raut wajahnya ketika aku memilihnya.
***
Pukul 16.20 WIB, akhirnya pekerjaanku selesai, segera ku bereskan berkas-berkas penting, dan apa saja yang tergeletak tidak sesuai tempatnya di meja ini.
'Limah, aku datang.' Aku segera bersiap pulang, lalu membeli beberapa camilan kesukaan Limah dan Jingga.
Tidak sabar rasanya aku bertemu dengannya. Memberikan hadiah untuknya, lalu berbincang sejenak tentang masalah ini. Limah adalah pilihanku, dan aku yakin itu.
Rumah bercat abu-abu sudah di depan mata, aku segera memarkirkan mobilku.
"Assalamu'alaikum," ucapku bersemangat. Namun kenapa sepi tak ada yang menyahut?
Tiba tiba kudengar sebuah mobil parkir di pinggir jalan. Seorang laki-laki keluar dari mobil dengan tergesa, lalu ia membukakan pintu belakang. Aku memperhatikannya bingung. ‘Mungkin tetangga salah parkir’
Limah keluar, lalu dia membantu memapahnya. Jingga menyusul turun. Siapa lelaki itu? Semakin dekat, dan ... Rasyid? Mengapa dia ada di sini?
Kulihat Limah dipapah olehnya, meski kutahu Limah ku berusaha menolak, tapi sebab dari kondisinya yang lemas dan pucat, ia menerima.
Hatiku panas dibuatnya, padahal aku kesini ingin membuat pernyataan untuk kembali dengannya, lantas hari ini melihat pemandangan yang membuat dadaku memanas. Apakah aku mulai mencintainya?
Segera ku bergegas menghampiri ketiga orang yang sudah berada di depanku. Mereka menatapku heran.
"Limah, kenapa?" Aku bertanya khawatir.
"Nanti dulu nanyanya bisa? Istirahat dulu Limah! Kasian." Mereka melalui ku begitu saja.
"Sini biar aku yang membukakan pintunya!" Ku rebut kunci dari Rasyid, lalu segera membukanya.
"Ayo, Dede istirahat di kamar, ya!" Dede? Panggilan macam apa itu? Lebay sekali.
"Gak usah, Bang. Aku di sofa aja." Limah menolak tawarannya. Seperti sudah kelelahan dan tidak kuat untuk berjalan lagi. Ingin sekali aku membopongnya lalu membawanya ke kamar agar istirahatnya lebih total lagi.
"Beneran?" Raut wajah Rasyid begitu khawatir.
"Iya," jawabnya tersenyum. Aku segera menuju dapur untuk mengambilkan segelas air minum untuknya.
"Dik, sebenarnya kamu kenapa? Darimana?" Ku sodorkan gelas itu, ia menerimanya lalu meminumnya separuh. Limah terdiam lama, mungkin ia belum kuat untuk berbicara banyak.
"Tadi perutku sakit, Mas," ujarnya kemudian.
"Kenapa kamu tidak langsung menghubungiku?" cercaku. Aku merasa bersalah terhadapnya.
"Menghubungimu? Untuk apa?" tanyanya polos.
"Astaghfirullah, jangan seperti itu, Dik! Aku masih suamimu. Bukankah aku tidak pernah mengingkari tanggung jawabku terhadapmu selama ini?" Rasyid segera mengajak Jingga keluar. Nampaknya ia tak mau ikut campur urusan rumah tangga kami. Baguslah jika ia paham.
"Ya, dan itu dulu," tukasnya cepat.
"Aku masih peduli! Tolong jangan keras kepala, Dik!" Air mataku jatuh begitu saja.
"Lantas siapa yang duluan meretakkan kaca yang pernah memantulkan bayangannya dengan sempurna? Apakah ketika kaca itu sudah tak sempurna memantulkan bayangannya lagi, kaca itu sendiri yang dianggap keras? Padahal kau tahu sendiri apa yang menyebabkannya retak," tuturnya.
"Bisakah jika serpihan itu kembali disusun dengan sempurna?" pintaku memohon.
"Apa kau tahu bagian mana saja yang retak, dan bagian mana yang mungkin masih utuh?"
"Jelas aku tahu," jawabku yakin.
"Mas bukan tahu, tapi Mas hanya sok tahu," kilahnya.
"Aku tahu. Semua tentangmu aku tahu, Dik. "
"Lantas bagian mana yang akan kau perbaiki?"
"Ikrarku," jawabku mantap.
"Ikrar apaan, Mas? Ikrar Mahasiswa Indonesia?" Dia terkekeh. Lebih tepatnya meledekku.
"Aku serius," ucapku.
"Pulanglah, Mas! Aku ingin istirahat." Ia memaksakan diri untuk bangun, namun aku menahannya agar tetap duduk.
"Sebentar saja!" pintaku.
"Aku tidak mau," tolaknya.
"Dik, Mas mohon." Aku bersimpuh di hadapannya.
"Katakan segera!"
"Dik, mula detik ini, Mas memilihmu."
"Haha ... Sudahlah, Mas! Mas pulang gih! Aku ingin istirahat." Dia mulai beranjak bangun, meski kesusahan, tangannya selalu menolak uluran pertolonganku. Aku mematung mendengar penolakannya. Sakit sekali rasanya.
"Jingga aku bawa, ya!" Aku menawarkan prihal lain yang bisa meringankan bebannya.
"Gak usah, Mas! Bang Rasyid akan membawanya ke kontrakannya selama kondisiku belum stabil," ucapnya lemah.
"Kalau begitu, aku di sini menemanimu.
Izinkan aku menjagamu selama kamu sakit," kataku tulus. Aku benar-benar tidak tega meninggalkannya dalam kondisi lemah begini.
"Sudahlah, Mas! Jangan menghancurkan mood ku." Lagi-lagi selalu penolakan yang kuterima darinya.
"Mas khawatir, Dik."
"Khawatir untuk apa?"
"Sebab kau istriku."
"Aku dan kamu, hanya dua orang insan yang terikat di atas selembar kertas, Mas. Bukankah Begitu?" Lidahku kelu, kami terdiam.
"Tidak, itu tidak benar," ucapku kemudian.
Membantah semua tuduhannya kepadaku.
"Aku tidak butuh pembenaran."
"Aku membutuhkanmu, aku mohon, kembalilah!" Aku bersimpuh di kakinya.
"Jangan begini, Mas!" Ia berusaha menyingkirkan tanganku dari kakinya.
"Biar saja." Aku mencibirnya dan terus bersimpuh sampai ia memaafkan.
"Mas, awas dulu, berat!" Dia menyingkirkan tanganku lalu kembali duduk di sofa.
"Mas mohon, Dik."
"Kenapa tiba-tiba begini?"
"Karena aku semakin takut kehilanganmu."
"Sudahlah, hentikan sandiwaramu, Mas!"
"Aku tidak sedang bersandiwara."
"Keburukan apa yang sedang kau rencanakan untukku?"
"Tak ada. Percayalah!"
"Kau sudah melamar, perempuan itu!"
"Aku tidak pernah melakukan itu."
"Kau berani bersumpah?"
"Aku berani." Limah berfikir lama.
"Baiklah, hanya sampai bayi ini lahir." Dia bangkit dan meninggalkanku.
"Berarti kita bisa tinggal bareng lagi, Dik?" Aku melonjak senang bukan main.
"Ya," jawabnya singkat.
“Yes!” Aku melompat-lompat senang bukan main, ia pun kaget. Akhirnya dia menerimaku. Air mataku membasahi pipi, ingin segera langsung memeluknya, tapi Limah galak.
“Mas kesambet apaan?” Ia meraba keningku, duh tersetrum!
“Mas lagi bahagia, Dik!” Aku tertawa lagi sambil menangis. Air mata ini entah darimana datangnya.
"Selamanya di sisiku, ya!" imbuhku sambil merangkul bahunya.
"Awas! Mas bau." Dia mendorongku hampir saja aku terjerembab karena tenaganya masih cukup kuat.
"Bau gini tapi sayang, kan?" Aku menaik turunkan alisku menggoda.
"Dih, ganjen." Dia meneruskan langkah kakinya menuju kamar. Aku mengejarnya.
"Ngapain ngikutin?" sambungnya galak sembari melotot.
"Mas ingin menjagamu."
"Gak, Mas pulang!"
"Dik, kenapa harus main dorong-dorongan gini?"
"Mas ngeyel."
"Mas cuma ingin menjaga mu."
"Gak, Mas pulang aja!"
"Mas bikinin bubur, ya!" Setelah mengantarnya ke kamar aku bergegas ke dapur.
"Mas?"
"Apa?"
"Jangan! Aku gak yakin."
"Yakin apa?"
"Aku gak yakin mas bisa masak." Aih, aku kira apa. Syukurlah, setidaknya aku lega.
"Percayakan sama Mas, ya!"
"Jangan rusak dapurku, ya!" pintanya memohon. “Sebenarnya aku gak yakin Mas masuk dapurku. Pasti akan kacau,” imbuhnya khawatir.
"Ya, aku janji. Istirahatlah!" Tak mau membuang waktu, segera ku datangi dapur, lalu mengeluarkan perabotan.
Apa dulu, ya? Oh iya cuci beras. Segera kuambil dua cup beras, lalu mulai mencucinya. Aku menambahkan sabun pencuci piring supaya beras semakin bersih dan enak.
Selanjutnya apa, ya? Segera aku buka youtube, tutorial memasak bubur.
"Lagi ngapain?" Rasyid datang tiba-tiba, ponselku langsung terlempar ke atas, untung saja aku segera menangkapnya. Jantungku aman kan? Duh benar-benar nih orang pengen tak jitak.
"Keliatannya ngapain?" jawabku ketus.
“Haha kaget, ya? Makanya jangan banyak ngelamun!” sindirnya di telingaku.
“Dih, siapa yang ngelamun? Kamu aja yang suka ngagetin orang tiba-tiba,” cercaku. Aku malas ketika dimana pun ada dia.
"Astaghfirullah … kamu mau meracuni Limah, ya?" tanyanya panik. Ia segera mengambil panci yang berisi beras yang sudah ku cuci dengan sunlight.
"Jangan fitnah jadi orang!" kilahku tak terima.
"Ini buktinya!" Dia menunjuk sabun cuci piring yang sudah ku tuang ke dalam wadah pencuci beras.
"Yaelah, itu supaya bersih, higienis."
"Higienis .... Higienis. Makan sendiri nanti, ya!" Ia menyodorkan sabun dan panciku dengan dorongan yang kuat seperti kesal.
"Ada apa si ribut-ribut?" Limah menghampiri kami, wajahnya pucat. Kasian sekali dia.
"Aku hanya ingin memasak. Dia yang mengacaukannya." Tunjuk ku pada Rasyid.
"Dia bohong, dia hanya ingin meracuni mu. Lihatlah sabun itu! Lihat berasnya berbusa, De. Gak salah lagi ia ingin meracuni mu," cerocosnya panjang lebar.
"Mas... Ngapain pake sabun?" tanyanya tak suka. Ia seperti sudah terhasut ucapan Rasyid. Padahal aku sama sekali tidak bermaksud ingin meracuninya.
"Supaya bersih, Dik," jawabku gugup. Aku nyengir. Sepertinya memang sekarang aku salah.
"Masss! Pulang! Aku sudah menduga dari awal kau tak bisa." Ku pandangan ke sekeliling. Panci tergeletak dimana-mana, beras berceceran, air tumpahan sudah tak usah ditanya, ruangan basah karena ulahku. Kulihat berasku berbusa terkena air keran. Aih perasaan aku baru sebentar di dapur. Kenapa bisa jadi se kacau ini? Sudahlah, aku memang tak handal.