Kasih Sayang Untuk Aditya
Bismillahirohmanirohim.
...Kita tidak akan pernah tahu, Musibah akan datang menimpa siapa, entah itu pada kita, orang terdekat kita, maupun pada orang lain....
Disebuah kursi rumah sakit seorang gadis mengenakan pakaian syar'i dengan wajah cemas terus menatap pintu UGD.
Sekitar 30 menit yang lalu Ibu dari gadis bernama Ulya itu mengalami kecelakaan di depan kampusnya Ulya.
"Ya Allah, aku mohon selamatkan Mama," gumam gadis berhijab biru yang terjulur sampai menutupi dadanya.
Cuaca hari sangat terang matahari memancarkan cahaya yang lumanya panas, tidak sesuai hati Ulya sedang gundah. Dia menatap lurus kedepan duduk di kursi lorong untuk menenangkan diri Ulya menarik nafas panjang lalu membuangnya secara pelan, dzikir, istighfar dan shalawat tak berhenti Ulya lantunkan dalam benaknya.
"Astagfirullah." Kaget Ulya.
Dia segera bangkit dari duduknya menghampiri seorang anak kecil yang tadi Ulya lihat terjatuh di lorong rumah sakit tak jauh dari tempatnya.
"Kamu baik-baik saja, Dik?" tanya Ulya memastikan.
Tatapan prihatin dari Ulya membuat anak laki-laki itu tidak suka, dia tahu bahwa dirinya memang seorang yang berpenyakitan.
"Jangan menatapku ceperti itu! Aku baik-baik caja tidak mau dikasihani."
"Eh, maaf aku tidak bermaksud."
Ulya membantu anak kecil itu bangun dari jatuhnya. Perlahan tapi pasti Ulya membantunya dengan sangat hati-hati.
"Kamu tidak apa-apa, sayang?" tanya Ulya lagi setelahnya suara yang semakin lembut untuk yang kedua kalinya.
Anak kecil itu tidak langsung menjawab pertanyaan Ulya, dia menatap Ulya sejenak seakan memperhatikan wajah gadis di depannya ini.
"Aku tidak papa, terima kacih cudah menolongku." Jawab bocah laki-laki itu.
Dia masih susah menyebutkan huruf S. Bukan cedal, hanya masih kaku saja untuk menyebut huruf S.
Ulya tersenyum pada anak laki-laki yang baru saja dia tolong. Jika boleh Ulya tebak, anak laki-laki di depannya ini mungkin berumur sekitar 4 tahun. Parasnya bocah laki-laki di depannya ini sedari kecil saja sudah luar biasa rupanya, hidung bangir, bibir bagus bahkan berwarna hampir merah kedua bola mata yang langkah, rahangnya juga bagus padahal masih begitu kecil.
"Dimana orang tuamu?"
"Tidak tahu!" jawabnya acuh berbeda saat dia mengucapkan terima kasih tadi.
"Apakah kamu tersesat?" tanya Ulya lagi.
"Tidak! Aku hanya cedang jalan-jalan caja di rumah cakit, aku tidak betah di tempat ini."
"Kenapa tidak betah?"
"Aku tidak cuka rumah cakit, aku ingin melihat dunia luar. Capek di rumah cakit terus!" bola matanya berkaca-kaca.
"Hei, sayang jangan menangis." Ulya tak tega melihat bola mata anak laki-laki di hadapanya ini. Sekarang Ulya sudah mensejajarkan tubuhnya dengan anak tadi.
"Baiklah begini saja, kalau boleh tahu siapa nama kamu?"
"Aditya." Jawabnya pendek.
"Nama yang bagus, kamu tahu apa arti Aditya?"
"Matahari, cang curya."
"Masya Allah, kamu pintar sekali Aditya. Sekarang Aditya harus kembali ke kamar rawar Aditya, oke." Suruh Ulya hati-hati.
Anak laki-laki bernama Aditya yang memakai pakaian pasien rumah sakit itu tidak ingin kembali menuju kamar rawatnya, dia menggeleng keras tidak mau. " Tidak mau! Apakah boleh aku ikut denganmu?" pintanya memohon.
Tampak tidak dapat menolak permintaan bocah laki-laki imut di depannya ini. Dia tidak tahu kenapa hatinya terasa sakit melihat tubuh mungil Aditya yang sudah menjadi salah satu pasien rumah sakit. Walaupun Ulya sendiri tidak tahu penyakit apa yang diderita Aditya.
"Boleh, ayo ikut mbak. Tapi nanti janji Aditya akan kembali ke kamar."
"Aku janji."
"Anak pintar." Ulya mengelus sayang pucuk kepala Aditya.
Ulya menggandeng tangan Aditya lembut, hal tersebut membuta Aditya mengembangkan sebuah senyum di kedua sudut bibirnya yang jarang sekali terlihat. Saat Ulya dan Aditya sampai di depan ruang UGD tempat ibu Rida diperiksa kebetulan sekali dokter keluar dari ruangan itu, Ulya langsung menghadap sang dokter.
"Bagaimana keadaan mama saya, dok?" tanya Ulya memastikan, tangannya masih setia menggandeng tangan Aditya.
"Alhamdulillah, ibu Rida sudah melewati masa kritisnya. Kita tinggal menunggu beliau siuman."
"Alhamdulillah. Terima kasih banyak dok." Ulya merasa sangat bersyukur sekali, Allah masih memberikan keselamatan pada sang mama.
"Boleh saya menemui beliau, dok?"
"Silahkan, asalkan tidak mengganggu ketenangan pasien, karena pasien butuh istirahat dengan baik."
Lalu dokter menginjak usia paruh baya itu menatap bocah laki-laki yang masih setia memegang erat tangan Ulya. Aditya balas menatap dokter Dika yang tertera dari name tag beliau.
"Bocah nakal, kenapa kamu disini, kembali ke kamarmu," suruh Dika pada anak dari sepupunya itu.
"Tidak mau pama Dika, aku mau dengan, Mbak Ulya," balasnya dingin.
"Ayolah Aditya, kamu tidak mau bukan mendapatkan ceramahan dari dady, mu." Aditya menggeleng atas perkataan yang terlontar dari mulut Dika.
Jujur saja, Aditya pusing jika sudah mendengar daddynya mengoceh tidak jelas pada dirinya.
"Jadi sekarang ayo ikut bersama, paman."
"Tidak! Ya, tidak!" tegasnya.
Ulya terhenyak melihat Aditya berbicara tidak sopan pada yang lebih dewasa. Berbeda dengan Dika yang sudah biasa dengan tingkah Aditya. Entah keberanian dari mana, akhirnya Ulya mensejajarkan tubuhnya dengan Aditya lalu dia menatap lembut Aditya, tatapan yang selama ini jarang Aditya dapat dari daddynya.
"Aditya, kembali ke kamar oke, mbak Ulya juga harus menemui mama, mbak Ulya lebih dulu. Mbak janji besok akan mengunjungi, Aditya."
"Janji." Ucapnya sambil memperlihatkan jari kelingking miliknya. Ulya dan Aditya menyatukan jari kelingking keduanya..
"Janji." Jawab Ulya.
Akhirnya Aditya dibawa kembali menuju kamar rawatnya bersama dokter Dika, wajah Aditya terlihat lebih baik dari sebelumnya.
Dari tempat yang tak jauh dua orang sedang memperhatikan interaksi Aditya dan Ulya. Laki-laki itu terlihat bingung karena Aditya bisa dekat dengan orang asing.
"Eris, cari tahu apa yang terjadi pada Aditya dan gadis itu. Lalu suruh dia menemuiku di ruang kerja."
"Baik Tuan," sahut laki-laki bernama Eris itu.
Dalam waktu kurang dari satu jam Eris sudah mendapatkan semua apa yang bosanya inginkan, bahkan Ulya kini sudah duduk di depan Hans. Gadis itu jelas masih bingung kenapa disuruh menghadap direktur rumah sakit ini langsung, bukankah dia tidak mengenal orang-orang di rumah sakit.
"Langsung saja, kamu tahu siapa anak laki-laki bersamamu tadi?"
"Aditya," jawab Ulya pendek.
"Kenapa bisa Aditya bersamamu, diabukanlah anak kecil yang bisa kenal dekat dengan orang asing."
"Mana saya tahu Pak!" jawab Ulya kesal juga.
Hans menghela nafasnya, tadi dia sudah mendapatkan usulan dari pamanya, Dokter Dika untuk menjadikan Ulya babysiter Aditya.
"Saya ada tawaran untuk kamu," ucap Hans berusaha tetap tenang.
"Apa?"
"Mau, kah kamu menjadi babysiter untuk Aditya? saya akan menawarkan apapun untuk kamu asal mau menjadi pengasuh Aditya."
"Harus saya kenapa?"
"Karena saya belum pernah melihat Aditya bica dekat dengan orang asing."
Ulya tampak diam sejenak untuk memikirkan keputusan yang harus dia ambil, dirinya memang baru mengenal Aditya. Tapi mengingat mata berkaca-kaca Aditya hati gadis itu terasa sakit.
"Boleh beri saya waktu 3 hari untuk memikirkan semua ini."
"Tentu saja tapi saya harap kamu akan menerima tawaran ini," ucap Hans penuh harapan. Hans hanya ingin putranya baik-baik saja dan bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Neulis Saja
ulya, maybe Hans is your soul mate ? God's plan is truly beautiful
2024-05-11
0
Hasrie Bakrie
Assalamualaikum salam santun malam, aq hadir ya
2023-12-24
2
H@£w∆ ©
Kdng penempatan tanda baca tak sesuai tempat 🙏
2023-12-03
0