NovelToon NovelToon
Mentari Di Balik Kabut

Mentari Di Balik Kabut

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Percintaan Konglomerat / Fantasi Wanita
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Fika Queen

Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.

Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.

Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.

Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 27

Rose menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip, menunjukkan nama "Dylan" di sana. Jemarinya ragu menyentuh ikon hijau di layar, dan pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apa yang ingin dia katakan? Mengapa sekarang, setelah semua waktu yang berlalu?

Dengan tarikan napas dalam, Rose akhirnya menggeser ikon itu. "Halo?" Suaranya terdengar pelan, hampir berbisik, dan sedikit tercekat.

Di sisi lain, Dylan merasa lega sekaligus gugup. Suara Rose yang lembut itu selalu membuatnya merasa sekaligus nyaman dan gelisah. Ia berdehem, mencoba mencari kata-kata.

"Rose... aku... aku minta maaf." Suaranya berat, dan ia berhenti sejenak, seperti mencari keberanian untuk melanjutkan. "Malam itu... makan malam yang kutinggalkan begitu saja. Aku tahu aku salah."

Rose terdiam, dadanya terasa sesak mendengar penyesalan Dylan. Ia ingin memotong pembicaraan, tapi rasa penasaran menahannya.

"Aku tidak punya alasan yang cukup baik," lanjut Dylan. "Hanya... saat itu, aku terlalu pengecut untuk menghadapi perasaan dan situasi yang rumit."

Rose memejamkan matanya. "Kau meninggalkan aku di sana, Dylan. Aku merasa seperti orang bodoh." Suaranya bergetar, penuh luka yang belum sepenuhnya sembuh.

Dylan menahan napas mendengar nada itu. "Aku tahu, Rose. Aku tahu aku sudah menghancurkan hatimu. Aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana sakitnya kau saat itu. Tapi... aku ingin memperbaiki semuanya, jika kau bersedia memberiku kesempatan."

Rose membuka matanya, menatap bayangannya sendiri di cermin ruang ganti. "Kesempatan, Dylan? Setelah apa yang kau lakukan, aku tidak yakin aku bisa memberikannya."

"Aku mengerti," jawab Dylan dengan nada lirih. "Aku tidak berharap kau langsung memaafkanku. Tapi aku harus mencoba. Karena aku tidak bisa terus hidup dengan rasa bersalah ini... dan karena aku masih mencintaimu, Rose."

Kata-kata itu membuat Rose terdiam. Ia tidak menyangka Dylan akan mengakuinya begitu langsung. Tapi di saat yang sama, ia merasa marah, bingung, dan... sedikit lega.

"Aku butuh waktu," kata Rose akhirnya, suaranya lebih tenang namun tetap tegas. "Aku tidak bisa memberikan jawaban sekarang. Jika kau benar-benar serius, Dylan, tunjukkan. Buktikan kalau kau layak mendapatkan kesempatan itu."

Dylan mengangguk meskipun Rose tidak bisa melihatnya. "Aku akan melakukannya. Apa pun yang kau butuhkan."

Panggilan itu berakhir dengan perasaan campur aduk di hati mereka berdua. Rose tahu ia tidak bisa sepenuhnya melupakan rasa sakitnya, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan bahwa Dylan sedang mencoba. Sementara itu, Dylan merasa ia telah mengambil langkah pertama menuju penebusan.

Namun, jalan untuk memperbaiki hubungan mereka masih panjang, dan baik Dylan maupun Rose tahu, tidak ada jaminan mereka akan menemukan akhir yang bahagia di ujungnya.

***

Dylan baru saja memasuki apartemennya ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rose. Ia membuka layar dengan hati-hati, dan membaca setiap kata dengan serius:

Rose:

"Dylan, aku sudah memikirkan ini sejak panggilan tadi. Kalau kau memang serius ingin memperbaiki hubungan kita, aku hanya ingin kau membuat pilihan yang jelas.

Kau tidak bisa terus seperti ini, terjebak antara aku dan keponakanmu. Alia adalah tanggung jawab orang tuanya, bukan tanggung jawabmu sepenuhnya. Aku mengerti kau ingin membantunya, tapi kau juga harus tahu batasnya.

Jika kau masih merasa berat meninggalkan fokus utama pada Alia, aku minta jangan dulu berhubungan dengan perempuan lain. Karena jika suatu saat kau tidak bisa membagi waktu dan perhatian, kau hanya akan menyakiti salah satu dari kami. Dan aku tidak ingin itu terjadi.

Jadi, aku memberimu waktu. Pikirkan baik-baik apa yang kau inginkan, Dylan. Aku tidak meminta kepastian sekarang. Tapi aku perlu tahu kau benar-benar siap sebelum kita melangkah lebih jauh."

Dylan membaca pesan itu berkali-kali. Ada kebenaran yang sulit ia bantah di dalamnya. Selama ini, ia memang terlalu terlibat dengan kehidupan Alia—keponakan yang ia cintai seperti anak sendiri. Tapi Rose benar, Alia bukan tanggung jawabnya sepenuhnya.

Ia duduk di sofa, menghela napas panjang sambil menatap pesan itu. Bagian terdalam hatinya tahu bahwa ini bukan hanya tentang memilih antara Rose dan Alia. Ini tentang keberanian untuk menata hidupnya sendiri dan menentukan prioritas yang lebih jelas.

Setelah beberapa menit merenung, Dylan mengetik balasannya:

Dylan:

"Rose, terima kasih sudah berbicara jujur padaku. Aku mengerti maksudmu, dan kau benar. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Aku tidak ingin menyakitimu lagi, dan aku ingin memastikan aku benar-benar siap sebelum melangkah.

Aku akan membuktikan padamu bahwa aku bisa berubah, tapi aku juga harus memastikan aku mengambil keputusan yang benar untuk semuanya. Beri aku waktu, Rose. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi."

Ia menekan tombol kirim dan merasa sedikit lega. Dylan tahu, ini adalah langkah pertama untuk membuktikan keseriusannya. Tapi ia juga tahu, keputusan yang harus ia buat tidak akan mudah, terutama ketika hati dan tanggung jawab bercampur menjadi satu.

***

Dylan baru saja meletakkan ponselnya setelah mengirim balasan kepada Rose ketika telepon lain masuk. Nama asistennya, Clara, muncul di layar. Ia mengangkatnya dengan cepat, merasa ada sesuatu yang mendesak.

"Clara, ada apa?" tanyanya langsung.

"Pak Dylan, maaf mengganggu malam Anda," kata Clara dengan nada panik. "Tapi kita punya masalah besar. Produk baru yang Anda luncurkan beberapa minggu lalu... sistemnya diretas."

Dylan merasakan dadanya mengencang. "Apa? Peretasan? Seberapa parah kerusakannya?"

"Tim IT sedang menyelidiki. Tapi sementara itu, beberapa data penting bocor ke publik, dan kami menerima laporan pelanggan yang mengalami gangguan saat menggunakan produk itu. Ini memengaruhi reputasi perusahaan kita, dan saya pikir Anda perlu segera datang untuk menangani ini."

Dylan memijit pelipisnya. Masalah ini datang di saat yang paling tidak tepat. Ia baru saja mencoba mencari cara untuk memperbaiki hubungannya dengan Rose, dan sekarang perusahaannya berada dalam situasi krisis.

"Oke," jawab Dylan tegas. "Kumpulkan semua laporan detailnya dan hubungi tim hukum kita. Pastikan mereka siap dengan rencana mitigasi. Saya akan segera ke kantor."

"Baik, Pak," jawab Clara, sebelum telepon terputus.

Dylan berdiri dan segera mengambil jaketnya. Pikirannya bercampur aduk antara tanggung jawab profesionalnya dan kekacauan emosional yang sedang ia alami. Masalah ini bukan hanya soal teknis—ini menyangkut nama baik perusahaan yang ia bangun dari nol.

Dalam perjalanan menuju kantor, Dylan mencoba menyusun langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah. Tapi di sela-sela itu, pikirannya kembali melayang kepada pesan Rose. Kata-kata Rose terus terngiang di kepalanya: "Pikirkan baik-baik apa yang kau inginkan."

Ia sadar, tekanan dari berbagai sisi hidupnya kini semakin membebaninya. Namun satu hal yang ia tahu pasti—ia harus tetap berdiri tegak, untuk perusahaannya, untuk Rose, dan untuk dirinya sendiri.

Setibanya di kantor, suasana sudah tegang. Clara menghampirinya dengan beberapa dokumen di tangan. "Tim IT mengatakan bahwa peretas memanfaatkan celah dalam sistem keamanan. Kami butuh keputusan cepat tentang apakah akan mematikan sistem sepenuhnya atau mencoba memperbaikinya secara bertahap."

Dylan mengangguk, mengambil dokumen itu dan membacanya dengan cepat. "Kita matikan sistem untuk sementara. Pastikan pelanggan tahu bahwa ini langkah untuk melindungi mereka. Setelah itu, kumpulkan semua tim inti—kita harus menemukan akar masalah ini secepat mungkin."

Bersambung

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!