"ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton.
"Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun.
Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel.
"Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir.
Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 23 : MENGGEMASKAN
Jam 12 siang, bertepatan dengan azan zuhur berkumandang, sepasang suami istri utu baru terbangun dari tidurnya, awalnya Daniah duluan yang membuka mata. Mata Daniah membulat saat melihat penampakan wajah laki-laki yang begitu tampan dengan mata terpejam berada tepat di depannya.
Deru nafas yang teratur membuat bulu kuduk Daniah merinding, bahkan ia bisa merasakan helaan nafas sang suami di kulit wajahnya, jua di rasakan pula oleh Daniah, tangan laki-laki itu membelit pinggangnya, menyebabkan tak ada jarak lagi diantara mereka.
Daniah memejamkan mata, menghela nafas pelan, kemudian ia bersiap untuk mengeluarkan jurusnya.
Dan......
"Aaaaaaaaa!" laki-laki itu menjerit, merasakan cubitan mau di perutnya karena ulah sang istri.
Tangan yang tadinya membelit pinggang ramping Daniah kini terlepas, membuat jarak diantara mereka. Daniah bernafas lega. Lalu ia duduk.
"Hhhsss......kamu tuh apa-apan sih Daniah!" omel Arrazi sambil mengelus perutnya yang terasa perih.
Daniah berdecak kesal.
"Lagian sih Mas, genit banget, tidur pake peluk-peluk segala!" Daniah balas mengomel.
"Ck! Orang tidur mana ada yang nyadar sih!"
"Ya makanya jangan dekat-dekat."
"Yang deketin kamu siapa Daniah? Yang ada kamu yang malah dekat-dekat saya. Tadi kamu ada di ujung sana, terus kenapa sekarang di coba? Kamu kan yang dekat-dekat saya!" sarkas Arrazi tak mau kalah.
Daniah mendengus kesal dengan pertanyaan Arrazi. Iya. Daniah yang pindah tempat ke dekat Arrazi! Iya Daniah yang salah! Dasar laki-laki galak! Nggak mau ngalah! Tak mau berdebat lagi, Daniah pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.
***
Saat ini Daniah sedang membantu Nenek Dariah dan Bi Intishar menyiapkan makan siang di gazebo belakang rumah. Makan siang di gazebo ini adalah keinginan Kakek Dzaki dengan menu nasi liwet, ikan asin, ayam goreng, lalapan sambal dan kerupuk dalam rangka menyambut kedatangan pengantin baru katanya.
"Ya beginilah Nia, Kakek tuh banyak maunya. Mesti diturutin, kalo nggak, bisa ngambek seharian." Nenek Dariah sedari tadi bercerita tentang kehidupan rumah tangganya dengan Kakek Dzaki. Sebenarnya lebih banyak menceritakan tentang suaminya sih.
Daniah tentu mendengarkan dengan senang hati. Meskipun bari tiga kali bertemu, Daniah sudah merasa nyaman dengan Nenek Dariah, ia seperti sedang bersama Nenek Athifah yang juga suka sekali bercerita sambil melakukan aktivitas rumah tangga.
Kesimpulan Daniah dari kesamaan cerita Nenek Dariah dan Nenek Athifah adalah sama-sama memiliki suami yang semakin tua, semain manja melebihi anak balita. Apakah Arrazi yang galak itu akan manja kepadanya suatu saat nanti?
Hiiiiiiii membayangkan saja membuat bulu kuduk Daniah merinding.
HAP!
Piring berisi ayam goreng yang tadinya berada di tangan Daniah kini berpindah ke tangan Arrazi, baru Daniah ingin berucap, namun laki-laki itu sudah berucap dengan ketus.
"Jangan bengong, kesambet tau rasa!"
Daniah membulatkan mata, tersadar dari lamunannya. Kalimat suaminya itu loh yang membuat Daniah emosi. Bisa-bisanya dia mengatakan hal itu kepada istrinya sendiri. Emang mau kalau istrinya beneran kesambet?
Arrazi pergi membawa piring itu menuju gazebo. Daniah langsung menyusulnya. Susah ada Kakek Dzaki dan Nenek Dariah di gazebo, sementara Bi Intishar pergi ke sawah membawakan makan untuk suaminya. Katanya ia ingin makan bareng suaminya juga yang sedang bekerja di sana.
"Ayo Nia, duduk disini." ujar Nenek Dariah sambil menepuk tempat kosong di sampingnya. Daniah mengangguk lalu duduk di samping Nenek Dariah. Sedangkan Arrazi duduk bersila di samping Kakeknya.
Nenek Dariah mengambilkan makan untuk Kakek Dzaki dengan nasi dan lauk yang lengkap di piring rotan beralaskan daun pisang. Setelah Nenek Dariah mengambil makan untuk Kakek Dzaki, Arrazi hendak mengambil piring, namun Daniah terlebih dahulu mengambil piring dan menyendok kan nasi untuk suaminya beserta lauknya.
Hal itu membuat Kakek dan Nenek mertuanya tersenyum bahagia melihatnya, berbeda dengan Arrazi yang justru mengerutkan keningnya memperhatikan istrinya itu.
Sedang apa istrinya itu? Sedang cari muka?
"Ini makan buat Mas. Silahkan dinikmati." ujar Daniah memberikan piring yang sudah berisi nasi dan lauknya kepada Arrazi di tambah dengan senyum manisnya untuk sang suami. Arrazi menerima piringnya dengan wajah datar.
"Uluh-uluh, pengantin baru sweet banget...." goda Kakek Dzaki.
Daniah hanya tersenyum, sementara Arrazi tetap dengan wajah datarnya.
"Di suapin Nia suaminya biar makin cinta." lanjut Kakek Dzaki sambil terkekeh. Sepertinya Kakek Dzaki ini senang sekali menggoda sang cucu.
Daniah hanya tersenyum kikuk.
"Kang ih, jangan di godain gitu. Kasian tuh muka Arrazi udah di tekuk begitu." canda Nenek Dariah memperhatikan cucunya yang saat ini sedang menyuap nasi liwet buatannya.
"Ah, awal aja malu-malu, pura-pura kesel kayak gitu. Nanti lama-lama malah nggak ada malunya manja ke istri di depan umum." ujar Kakek Dzaki tanpa filter, membuat Daniah malu. Sedangkan Arrazi acuh. Ia lebih menikmati nasi liwet beserta lauknya yang begitu nikmat.
Sambil menikmati makan, dua pasang suami istri saling mengobrol dan bercerita. Hingga makanan yng terhidang sudah habis. Selesai makan, Daniah dan Nenek Dariah membersihkan bekas makan dan mencuci piring kotor dan barang lainnya di dapur.
Sementara Arrazi membersihkan bekas makan di gazebo di bantu oleh Kakek Dzaki. Nenek Dariah meninggalkan Daniah setelah mendapatkan penolakan dari cucu menantunya itu yang menolak bantuannya.
Dengan alasan saat memasak Daniah tidak ikut bantu dan saat ini bagian Daniah yang membersihkan bekas makan. Sementara dapur sudah bersih, karena Bi Intishar sudah membersihkan sebelum pergi.
"Arrazi, nanti tolong ambil pesenan Nenek di rumah Wak Jullanar. Ajak istrimu sekalian ya." ujar Nenek Dariah, di jawab dengan anggukan kepala oleh Arrazi. Saat ini cucunya itu sedang memijit punggung sang Kakek yang meminta untuk dipijitnya.
"Daniah gadis yang rajin ya, Zi." ujar Nenek Dariah sambil memperhatikan Daniah yang sedang mencuci piring di dapur.
Tentu kegiatan perempuan itu terlihat, karena wastafel itu berada di bagian dapur yang menghadap ke arah gazebo, tinggi tembok itu hanya sepinggang orang dewasa dan selebihnya ke atas jendela kaca transparan.
Jadi dapat terlihat apa saja yang ada di dalam dapur itu, beserta aktivitas orang yang ada di dalamnya. Arrazi sempat melihat ke arah istrinya yang sedan mencuci piring itu. Lalu melanjutkan pijitan di punggung Kakeknya, tak menjawab perkataan sang Nenek.
"Kata Basim, cucunya itu rajin, pintar masak, pintar mengerjakan pekerjaan rumah, meskipun fasilitas terpenuhi, tapi gadis itu anak yang mandiri." ujar Dzaki menambahkan, matanya terpejam menikmati pijitan sang cucu.
"*Tapi Daniah malah tidak mengakui semua itu Kek." itulah kata hati Arrazi*.
"Jujur, saat bertemu dengan Daniah, Nenek langsung ngerasa sreg dan yakin kalau Daniah itu jodoh yang tepat untuk kamu, kalau menurut kamu, Daniah gimana, Nak?" kali ini Nenek Dariah yang berbicara dan ingin tahu bagaimana tanggapan cucunya itu mengenai gadis yang baru ia nikahi.
Arrazi terdiam sebentar sambil memperhatikan Daniah. Sejauh ini, Arrazi melihat kalau gadis yang ia nikahi adalah gadis bar-bar, petakilan, periang dan ......menggemaskan.
"Hmmm.....biasa aja Nek." ucap Arrazi lain di hati lain di mulut.
"Ah, kamu mah Zi....Zi....coba deh liat istri kamu itu cantik, baik, periang, liat aja, dia lagi cuci piring masih bisa nyanyi dengan gembira gitu. Kalo anak gadis pada umumnya biasanya akan ngeluh, ngomel-ngomel kalau di suruh ngerjain pekerjaan rumah." ujar Kakek Dzaki yang saat ini memerhatikan keceriaan sang cucu menantu di tempatnya.
"Mungkin Arrazi masih belum terlalu mengenal Daniah ya? Ya, Nenek harap kamu bisa menerima gadis yang sudah menjadi istri kamu itu. Dan kamu harus perlakukan Daniah dengan baik. Ya Arrazi."
Arrazi hanya mengangguk pelan.
***
"Nek, kami pamit ya." ujar Daniah dengan sopan, lalu mencium punggung tangan yang sudah keriput itu.
"Iya hati-hati ya. Arrazi juga bawa motornya hati-hati ya. Jalanan kesana lumayan rusak." ujar Nenek Dariah berpesan kepada cucunya.
Arrazi mengangguk, ia sudah berada di atas motor bersiap untuk pergi ke rumah Wak Jullanar untuk mengambil baju pesanan Neneknya. Setelah berpamitan, Daniah naik motor di bonceng Arrazi.
"Pegangan ke badan suami kamu Nia. Hati-hati jatuh." ujar Nenek Dariah kembali berpesan.
Daniah mengangguk sambil nyengir kaku. Ia memandangi tanganya. Haruskah berpegangan di badan Arrazi? Apa Arrazi mau badannya di peluk Daniah? Tak disangkanya, Arrazi justru menarik tangan Daniah lalu melingkarkannya di badannya.
Gerakan cepat itu membuat Daniah ngelag.
"Peluk yang erat." ujar Arrazi dengan ketus, Daniah membulatkan mata, sadar dengan apa yang terjadi. Jantungnya kini berdegup kencang. Tentu Daniah tidak bisa melihat wajah suaminya itu, karena Arrazi membelakanginya dan tidak menoleh ke belakang.
"Nek kita pergi dulu. Assalamualaikum." ucap Arrazi, lalu melajukan motor.
Daniah masih memeluk tubu suaminya dari belakang. Dengan perasaan yang aneh, juga jantung yang tidak juga berdegup dengan normal.
SREEEEETTTT.....
Arrazi menghentikan laju motor tepat di pinggir jalan, jaraknya sudah agak jauh dari rumah Kakek Dzaki. Daniah yang saat itu mulai merasa nyaman dengan posisi itu, mengerutkan keningnya.
"Lepas." ucap Arrazi dengan ketus.
"Hah?"
Arrazi berdecak kesal. Lalu dengan kasarnya ia melepaskan pelukan sang istri di badannya.
"Kayak gini cuma berlaku di hadapan Nenek dan Kakek. Selebihnya jangan harap!" ketus Arrazi lagi.
"Dih, lagian siapa juga yang mau meluk-meluk!" ujar Daniah tak kalah ketusnya. Mengingat tadi Arrazi yang menarik tangannya untuk memeluk badannya.
"Cepetan ah jalan! Udah tau panas begini!" omel Daniah diiringi geplakan dipunggung Arrazi.
Laki-laki itu kembali melajukan motor. Butuh sekitar 30 menit untuk sampai di rumah Wak Jullanar, yang akhirnya dua sejoli itu sampai di rumah bergaya klasik dengan didominasi warna coklat dan cream.
Daniah langsung turun dari motor setelah Arrazi menghentikan motor di depan rumah Wak Jullanar.
"Wak Jullanar nya masih di ladang jam segini mah. Paling sore atau magrib baru sampe rumah." ujar seorang perempuan tua, tetangga Wak Jullanar yang sedang marut kelapa di teras rumahnya, saat Arrazi menghampiri untuk bertanya keberadaan Wak Jullanar, karena sudah tiga kali Arrazi mengucap salam dan mengetuk pintu tidak ada yang membukakan.
"Oh.....Nuhun Mak." ujar Arrazi dengan ramah.
Arrazi kembali ke motornya saat hendak naik, Daniah menahannya.
"Loh mau kemana Mas? Wak Jullanar nya nggak ada?" tanya Daniah, melirik ke rumah yang terlihat sepi itu.
"Nggak ada."
"Loh, kata Nenek, Wak Jullanar ada di rumahnya. Coba ketuk lagi pintu rumahnya!"
"Nggak ada bawel. Tadi saya sudah tanya ke tetangganya. Wak Jullanar lagi di ladang. Paling sore atau magrib sampai rumah." jelas Arrazi dengan malas.
"Terus kita mau kemana?"
"Pulang."
"Masa mau langsung pulang sih? Nggak asik ah, Mas!" protes Daniah.
Karena ia ingin jalan-jalan juga menikmati Bandung di siang menuju sore ini. Arrazi mengabaikan istrinya, ia menyalakan mesin motor. Namun Daniah buru-buru menahan stang motor.
"Aku nggak mau pulang sebelum jalan-jalan!" ujar Daniah merajuk.
Arrazi memutar bola matanya dengan malas.
"Nggak ada jalan-jalan. Kita pulang. Sore nanti kita balik ke sini."
Daniah menggeleng cepat.
"Nggak mau! Maunya jalan-jalan dulu di sekitar sini Mas, sambil nunggu Wak Jullanar pulang!" Daniah semakin merajuk. Karena saat perjalanan menuju tempat ini, ia melihat begitu indah pemandangan di sekitar.
Pemandangan yang ada di sini mengingatkan Daniah akan rumah Kakeknya yang dahulu pernah ia tempati selama 3 tahun. Meskipun di daerah yang berbeda, namun Daniah merasakan vibes yang tak jauh berbeda.
Dahulu ia sering sekali bermain di kebun-kebun teh, jalanan berbatu, sungai, air terjun, padang rumput yang terbentang luas, ladang, sawah dan yang lainnya. Daniah ingin berjalan-jalan menikmati tempat ini.
Ah, rasanya Daniah sedang bernostalgia dengan kenangan masa kecilnya.
"Ayolah Mas, kita jalan-jalan dulu di sekitar sini, sambil nunggu Wak Jullanar." Daniah merayu suaminya dengan meraih lengan suaminya.
Menggemaskan memang, namun Arrazi tetap mengabaikan istrinya itu dengan wajah datar. Ia malah mengeraskan suara mesin motor. Daniah mencebikkan bibirnya.
"Ya udah aku bilangin ke Nenek kalau kamu nggak mau ajak aku jalan-jalan."
Kali ini sepertinya ancaman Daniah berhasil. Karena Arrazi langsung menoleh ke arahnya dengan wajah yang kesal.
"Ayo!" ketus Arrazi.
"Jalan-jalan dulu ya." ujar Daniah kembali memastikan sebelum ia naik motor.
"Iya bawel."
Ah, Neneknya bisa menjadi senjata yang ampuh menaklukkan manusia galak bernama Arrazi itu, kalau tidak mau menurutinya.
"Mau kemana?"
"Kebun teh!"
ha..ha...ha