Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 - Via Suara
"Mas berangkat, I'll Miss you, Haura."
Orangnya sudah berlalu sejak beberapa jam lalu, tapi Haura masih terpaku. Tak hanya ciuman di kening, tapi usapan di perut yang Ervano berikan sebelum pergi seolah membuat tubuh Haura berdesir.
Ada sesuatu yang aneh dalam diri Haura, tentu saja tidak bisa dia utarakan dan bingung sendiri. Cara Ervano pamit dan menyebut dirinya sendiri sebagai Mas itu masih sangat asing, tapi begitu hangat.
Haura mengelilingkan pandangan, saat ini dia sendirian dan terasa cukup kesepian. Memang ada beberapa orang yang ditugaskan untuk menemaninya, tapi jelas tidak bisa dijadikan teman.
Selain karena mereka juga tampak membatasi diri, Haura bukan tipe yang mudah dekat sana sini. Dalam kesendirian itulah, Haura seakan punya ruang untuk merenungi sikapnya.
"Apa aku berlebihan ya? Tapi ... ah sudahlah, ngapain aku harus peduli? Inget juteknya dulu gimana, Ra!! Dia jahat, 'kan? Bisa jadi sikapnya yang tadi hanya karena merasa bersalah ... dzalim sih jadi manusia."
Haura memutuskan untuk bangkit dan berlalu segera. Mencari kesenangan yang lain agak tidak melulu dibuat bingung dengan isi pikirannya.
Kamar adalah pilihan utama, Haura merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur sembari menatap langit-langit kamar.
Sejenak, pandangannya beralih menatap jam digital yang terletak di atas nakas. Menghitung kembali sudah berapa lama Ervano pergi dengan jemari sebelum kemudian kembali mengumpat dalam hati.
"Harusnya sudah sampai ya ... tapi kenapa dia tidak mengabari?"
Baru juga beberapa saat lalu Haura menolak untuk peduli. Akan tetapi, begitu sadar berjam-jam tak dikabari dia mulai mencari.
Mungkin karena terbiasa dengan Ray yang apa-apa memberikan kabar, laporan setiap saat walau memang jarang bertemu. Tak heran kenapa kini Haura seperti susah beradaptasi.
"Eh, tapi kan nomornya masih kublokir ya, gimana mau kasih kabar coba?" tanya Haura lagi kepada diri sendiri.
Tak ubahnya bak seseorang tanpa pendirian, Haura dibuat bingung sendiri. Segera dia meraih ponselnya, bermaksud untuk membuka akses Ervano agar bisa menghubunginya.
Namun, baru juga hendak mencari Haura kembali berhenti. "Tapi buat apa? Nan_"
Drrrt Drrrt Drrrt
Ponselnya bergetar, sebuah panggilan dari nomor baru dan tidak dia kenal sebelumnya masuk beberapa kali.
Dan, pertama kalinya Haura bersedia menerima dengan sedikit harapan bahwa penelpon tersebut adalah Ervano, sungguh.
Padahal, biasanya dia paling anti dan cukup sensi dengan nomor baru yang dia yakini sebagai milik Ervano.
Kendati begitu, dia tidak memperlihatkan bahwa dirinya antusias akan hal itu. Sengaja diam dan menunggu yang di seberang sana untuk menyapa lebih dulu.
"Hallo, Bu, selamat siang? Anak Anda bersama kami, berikan lima ratus juta jika ingin anak ini kembali!!"
Raut wajah Haura seketika berubah, harapannya seolah patah tatkala mendengar suara sok berat di balik telepon itu. Heran juga bagaimana bisa nomor ponselnya sampai ke penipu begini.
Haura yang malas dan sudah begitu ahli dalam hal ini hanya diam, tanpa menjawab tapi juga tidak memutuskan sambungan teleponnya.
"Hallo? Hallo, Bu ... Ibu dengar tidak? Dalam waktu 24 jam tidak_"
"Halah udah deh, Pak, ambil aja itu anaknya, terima kasih!!" kesal Haura kemudian memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Jika biasanya dia akan balik memainkan si penipu, hari ini Haura malas setengah mati. Suasana hatinya sedang tidak mendukung untuk menanggapi hal semacam itu.
Sudah kesal, dia semakin kesal saja. Baru saja hendak tenang, ponselnya kembali berdering dan saat itulah Haura meluapkan kekesalannya.
"Heh monyed!! Sudah kukatakan kalau mau ambil saja!! Kamu kira semua orang itu bisa ditipu iya? Anak saya bahkan masih sekecil kacang polong ... cerdas dikit kalau mau nipu, jangan pakai cara kamp_"
"Sayang?"
Gleg
Mata Haura mengerjap pelan, suara penelpon itu tidak lagi sama, terdengar familiar hingga perlahan Haura kembali memastikan nomor tersebut.
Seketika Haura menganga, sungguh baru dia sadari bahwa nomor yang menghubunginya saat ini telah berbeda. Emosi yang tadi meledak-ledak mendadak terganti rasa malu begitu saja.
"Ra? Kamu baik-baik saja?"
"Ah? I-iya baik," jawab Haura merendahkan suaranya.
Tidak lagi dengan menggunakan urat lantaran malu dan terkejut dalam satu waktu.
"Tadi kenapa marah-marah? Siapa yang nipu?"
"Oh, tadi ada penipu yang telepon begitu ... maaf, aku kira dia yang telepon lagi tadi." Kata maaf pertama terlontar dari bibir Haura untuk Ervano kali ini.
Setelah biasanya diam saja walau berhasil menyebabkan bahu Ervano terluka, untuk kesalahan yang kali ini dia meminta maaf karena ada umpatan tidak sopan di depannya.
Terdengar Ervano ber "oh" ria di seberang sana. Tampak tidak membesar-besarkan masalah.
"Oh iya, mau kasih kabar ... aku sudah sampai, sekarang di rumah."
"Rumah?" Haura mengerutkan dahi, jika Ervano di rumah, tidak munafik ada perasaan tak terdefinisi yang menyeruak tepat di ulu hati Haura.
"Hem, mau lihat?"
"Tidak, aku lagi di toilet soalnya," ucap Haura beralasan, hatinya benar-benar menolak dan mengira jawaban itu akan membuat Ervano menyerah.
.
.
Sebaliknya, mendengar Haura di toilet Ervano tanpa basa-basi mengalihkan panggilan telepon ke mode video sembari menggigit bibirnya.
Sembari bersiap mencari posisi untuk membuktikan ucapan istrinya, Ervano sabar menunggu panggilan tersebut diterima.
"Mana? Katanya di toilet?" tanya Ervano begitu sadar dimana Haura berada.
Terlihat jelas wajah istrinya tampak panik, dan Ervano dengan mudah menyimpulkan bahwa istrinya berbohong.
"Ha-ha-ha ketahuan, kamu sedang berusaha menghindariku sekarang?"
"Siapa yang berusaha menghindarimu? Ini baru balik dari toilet."
"Pandai sekali aktingmu, tidak mungkin dalam hitungan detik sudah di ranjang lagi ... kamu dari toilet terbang atau gimana?"
"Ih banyak tanya!! Iya aku bohong, kenapa memangnya?"
Ervano tergelak, emosi Haura yang kerap naik turun begini sungguh hiburan baginya. Lelahnya selama di perjalanan seolah gugur sudah, terlebih lagi Haura bersedia menerima panggilannya setelah selama ini hanya berakhir diblokir.
"Ya sudah, tadi cuma mau ngabarin ... barangkali istriku yang cantik ini khawatir," ungkap Ervano penuh kepercayaan diri walau tahu dia sedang bunuh diri.
"Idih kepedean!! Siapa juga yang khawatir?"
Kembali Ervano terkekeh pelan, ada saja yang lucu dari Haura. "Iya sudah, itu saja ... jangan lupa simpan save nomorku, jangan diblok lagi," tutur Ervano lagi.
"Iya, nanti aku simpan," jawab Haura malas-malasan.
"Kok nanti? Sekarang dong."
"Banyak mau, kusimpan nanti atau kublokir nih?" tanya Haura lagi dan berakhir gelak tawa dari Ervano.
Semakin galak, semakin menggemaskan dan ingin sekali dia makan sekarang, tapi jelas tidak mungkin.
Bahkan, beberapa saat usai panggilan berakhir Ervano masih senyum-senyum sendiri.
"Owh, jadi dia orangnya?"
.
.
- To Be Continued -
Abimanyu: Jeng-jeng!! Ini kah yang ditunggu penduduk bumi?