Sebenarnya, cinta suamiku untuk siapa? Untuk aku, istri sahnya atau untuk wanita itu yang merupakan cinta pertamanya
-----
Jangan lupa tinggalkan like, komen dan juga vote, jika kalian suka ya.
dilarang plagiat!
happy reading, guys :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Little Rii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba-tiba
"Sebentar lagi aku melahirkan, mas." Aryan yang sedang bermain ponsel menoleh ke arah Aira, lalu mengangguk pelan. "Boleh gak nanti mas temenin aku di ruang persalinan," pinta Aira dengan suara pelan.
"Iya, boleh." Aira tersenyum manis, lalu lanjut menata baju-baju bayi yang baru saja selesai di bersihkan ulang.
Saat Aira tengah menyusun baju bayinya di dalam keranjang, saat itu pula ia memekik karena merasa sakit. Aryan pun dengan sigap mendekati Aira.
"Kenapa?" tanya Aryan panik.
"Sakit, mas. Mungkin mau melahirkan, " jawab Aira sembari meringis. Dengan sekuat tenaga, Aryan mengangkat tubuh Aira, membawa istrinya itu ke mobil.
"Bu imas, siapkan semua keperluan istri saya!"
"Iya, pak."
Mobil melaju menuju rumah sakit, tempat Aira akan melahirkan nanti. Aryan menatap istrinya di kursi belakang yang terlihat mengatur nafas, jantungnya berdetak kencang karena takut terjadi sesuatu pada Aira dan anaknya nanti.
"Mengucap, Ra."
"Astagfirullah, Astagfirullah, Ya Allah."
Mobil terus melaju menuju rumah sakit, menembus jalanan yang tidak terlalu ramai.
Sesampainya di rumah sakit, Aira langsung diperiksa oleh bidan yang sudah di pilihkan keluarga Aryan sebelumnya.
Menurut keterangan bidan, Aira belum waktunya melahirkan. Namun, harus di rawat di rumah sakit, karena takutnya akan terjadi hal yang seperti itu lagi.
Sebenarnya ini sudah termasuk telat membawa Aira ke rumah sakit untuk di rawat, tapi ini semua atas kemauan Aira yang tak betah berada di rumah sakit.
"Kamu gak papa?" tanya Aryan menatap istrinya yang sudah berbaring di ranjang rumah sakit. Sekarang mereka sudah ada ruang rawat.
"Iya, gak papa."
Aryan pun menghela nafas lega, lalu pamit untuk menghubungi orang tuannya. Tak mungkin juga ia menemani Aira sendirian di sini.
Setelah menghubungi orang tuanya, Aryan memilih duduk di samping ranjang Aira, sembari menatap istrinya yang sudah tertidur.
Ponselnya berbunyi, membuatnya langsung membuka pesan yang dikirimkan Diana untuknya.
^^^"Aku sakit, Iyan. Badan aku panas, terus kepala aku pusing. Kamu ke rumah ya, temenin aku."^^^
Aryan menghela nafas panjang, lalu mengetikan balasan untuk pesan mantan kekasihnya itu.
"Maaf, Na, Aira bentar lagi melahirkan, sekarang lagi di rumah sakit. Kamu minta tolong ke orang lain aja dulu ya," balas Aryan dengan perasaan tak tega.
^^^"Kamu jahat, Iyan. Kalau terus gini, lebih baik aku mati aja. Aku bakalan loncat dari balkon kamar, kalau kamu gak datang!"^^^
Sontak membaca itu membuat Aryan takut, kalau Diana benar-benar melakukan hal bodoh. Aryan pun mencoba menghubungi nomor Diana, untuk memberikan sedikit pengertian, namun tak kunjung di angkat.
Bunyi notifikasi kembali terdengar dan dengan cepat Aryan membuka pesan dari Diana, berupa sebuah foto dimana Diana sudah berdiri di dekat balkon.
^^^"Kalau kamu bener-bener sayang aku, datang sekarang!"^^^
"Na, tolong jangan kayak gini."
Tak ada balasan lagi, membuat Aryan semakin panik.
"Oke, aku bakalan ke sana, tapi jangan aneh-aneh ya. Aku mohon, Na, jangan ngelakuin hal bodoh kayak gitu."
Lama Aryan menunggu balasan, membuatnya tak sabar dan semakin panik. Ia pun dengan segera beranjak dari tempat duduknya.
Untungnya bu Imas sudah datang, jadi ia bisa meninggalkan Aira sebentar. Toh cuma sebentar saja, setelah itu ia akan segera pulang ke rumah sakit untuk menemani Aira melahirkan.
Beberapa menit kemudian. Aryan sudah tiba di rumah Diana dan langsung berjalan menuju kamar wanita itu, karena memang sedang tidak ada orang di rumah Diana.
"Na," panggil Aryan saat melihat Diana termenung di balkon. Aryan pun langsung menghampiri Diana yang tengah menangis.
"Ayo ke kamar, jangan di sini."
Diana menepis tangan Aryan yang hendak menyentuh tangannya.
"Aku gak bisa gini terus, Iyan. Aku butuh kepastian! Aku gak mau di gantung terus kayak gini," ucap Diana di sela tangisnya, membuat Aryan semakin bingung.
"Kalau kamu memang gak mau lepasin aku, nikahin aku! Kasih aku status yang jelas! Aku gak papa jadi istri ke-dua, Iyan, yang penting suaminya itu kamu."
"Na ,.....
"Kalau kamu memang gak bisa ngelakuin itu, setidaknya lepasin aku. Biarin aku sama laki-laki lain yang lebih bisa ngehargain aku. Jangan peduli seolah-olah kamu bakalan bertanggung jawab sama hidup aku," sambung Diana menangis pilu.
"Aku capek, Iyan."
"Aku gak bisa nikahin kamu. Na. Aku,....
"Kenapa? Karena ada mbak Aira? Bukannya kamu gak cinta sama dia, tapi kenapa sulit buat kamu lepasin dia. Aku gak butuh harta kamu karena aku punya uang, kasih aja ke dia semua harta kamu, yang penting kita hidup berdua."
"Na ,...
"Kalau kamu gak bisa, lebih baik aku mati aja! Aku bakalan loncat!" teriak Diana berdiri lalu menaikkan kakinya ke pagar balkon. Aryan pun langsung mencegah itu terjadi, menarik Diana ke pelukannya.
"Jangan gini, Na!"
"Biarin aku mati! Aku gak bisa liat kamu sama perempuan lain, aku gak bisa!" teriak Diana memberontak. Aryan pun menarik Diana untuk masuk ke kamar, lalu menutup pintu balkon.
"Lepasin aku. Iyan. Aku mau mati aja!"
"Dengerin aku, Na. Aku bakalan bertanggung jawab ke kamu, aku janji. Tapi kamu jangan kayak gini," ujar Aryan memegang tangan Diana dengan erat.
"Beneran kamu bakalan serius sama aku?" tanya Diana masih sesegukan.
"He,em, aku bakalan serius ke kamu, tapi tunggu Aira melahirkan dulu." Diana pun terdiam sejenak, sembari menyeka air matanya.
"Hari ini kamu di sini ya, aku butuh kamu," pinta Diana memeluk Aryan dengan erat.
"Tapi, Na,...
"Aku mohon, Iyan. Nanti malam kamu boleh pergi, tapi hari ini kamu harus sama aku seharian. Kamu harus belajar adil."
"Oke, kalau gitu kamu baring aja di kasur ya, aku bakalan temenin kamu di sini."
"Iya, makasih."
Pukul 15.00
Diana yang tengah makan masakan Aryan, menatap ponsel laki-laki itu yang terus berdering. Aryan sedang di kamar mandi, jadi ia berinisatif melihat siapa yang sedari tadi menghubungi calon suaminya.
"Papa Heri, " gumam Diana pelan. Ia pun menolak panggilan itu, lalu mehghidupkan mode pesawat, agar tak diganggu lagi. Hari ini, Aryan miliknya, bukan milik Aira.
Selamanya akan begitu.
Beberapa jam kemudian, Aryan pamit pulang, karena memang ini sudah sangat sore. Diana pun dengan berat hati mengizinkan.
Di perjalanan menuju rumah sakit, Aryan menyalakan ponselnya. Keningnya berkerut saat melihat ponselnya dalam mode pesawat, dengan cepat ia menonaktifkan mode pesawat itu.
"Papa nelpon? Kok aku gak denger ya?" gumam Aryan pelan. Perasaannya mendadak jadi tak enak.
Sesampainya ia di rumah sakit, ia dikejutkan dengan kabar kalau istrinya sudah melahirkan dari beberapa jam yang lalu.
"Untuk apa lagi kamu ke sini? Kenapa gak sekalian aja kamu hilang dari hidup Aira, " cibir papa Heri saat Aryan baru saja sampai di depan pintu ruang rawat.
"Aryan tadi ada urusan, pa."
"Mengurus mantan kamu ya!" sahut Mama Elisa menatap tajam putranya. Tamparan melayang keras di pipi Aryan, membuat laki-laki itu meringis.
"Waktu kamu cuma 5 menit buat liat anak kamu dan Aira untuk terakhir kalinya! Setelah ini, kami pastikan kamu gak bisa ketemu mereka lagi. Kami yang bakalan ngurus perceraian kalian!" ucap Mama Elisa dengan penuh penekanan.
"Ma ...
"Liat sekarang atau gak sama sekali!"
Aryan pun dengan cepat masuk ke ruang rawat, dimana istrinya tengah berbaring sembari menatap putra mereka.
"Aira,...
"Liat dia untuk terakhir kali, mas. Karena setelah ini kita bakalan hidup masing-masing, " ucap Aira tanpa menatap ke arah Aryan.
"Saya benar-benar minta maaf, saya gak mau cerai." Aryan mendekat ke ranjang, lalu menatap wajah putranya yang sangat mirip dengannya.
"Keputusan aku udah bulat. Mas. Setelah ini, mas bebas nikahin mbak Diana. Kalian bisa punya anak nanti, jadi lupain kami."
"Gak!"
"Jangan egois, mas. Karena kalau aku minta mas buat milih antara aku dan mbak Diana, mas pasti tetap milih mbak Diana. Baiknya mas lepasin aku, demi mbak Diana. "
"Tapi, saya,....
"Waktu habis, keluar kamu sekarang dari sini!" seru papa Heri masuk, membuat Aryan menggeleng cepat.
"Enggak, Aryan gak mau cerai, pa!"
"Tapi Aira mau! Kalian bakalan tetap cerai!"
"Enggak, itu gak bakalan terjadi."
"Sudahlah, mas, kami bahagia tanpa kehadiran mas di sini," seru Aira pelan, kembali membuat Aryan menggeleng.
"Gak, Ra! Kasih saya kesempatan sekali lagi."
"Gak ada kesempatan untuk penghianat!"
"Enggak, Ra!" teriak Aryan bangun dari tidurnya. Keringat sudah membasahi tubuhnya dan jantungnya berdetak dengan kencang.
Aryan menatap ke samping, dimana Aira sedang tidur. Perut Aira tidak sebesar tadi, itu berarti ia bermimpi.
Aira masih ada di sini.
Tadi itu benar-benar mimpi yang buruk dan menyakitkan.
"Maaf," ucap Aryan pelan, sembari mengusap kedua matanya.
Aryan pun melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 malam. Sebaiknya ia pergi shalat, untuk menenangkan pikirannya.
Saat Aryan tengah shalat, Aira ikut terbangun juga. Aira menatap ke arah Aryan yang tengah bersujud. Ia menatap lama suaminya, karena hal itu membuatnya nyaman.
Terlihat suaminya sudah mengucapkan salam, lalu lanjut berdzikir dan kemudian berdoa.
Entah doa apa yang sedang dilangitkan suaminya, karena doa itu terasa sangat panjang.
Setelah Aryan selesai berdoa, laki-laki itu melipat sajadah, lalu menoleh ke arah Aira yang duduk di tepi ranjang sembari menatap ke arahnya.
Aryan berjalan ke arah Aira, lalu mengusapkan kedua telapak tangannya ke kepala hingga ke perut.
"Gak shalat?" tanya Aryan mengagetkan Aira yang tadinya termenung.
"Shalat, ini mau ambil wudhu," sahut Aira lalu berdiri dan pergi ke kamar mandi.
Yang tadi itu benar-benar membuatnya kaget.
Ini adalah pertama kalinya suaminya yang memulai kontak fisik, tanpa paksaan ataupun tujuan lain.
padahal bagus ini cerita nya
tapi sepi
apalagi di tempat kami di Kalimantan,
jadi harus kuat kuat iman,jangan suka melamun
ngk segitunya jgak kali
orang tuanya jgk ngk tegas sama anak malah ngikutin maunya anak
emak sama anak sama aja
si aryan pun ngk ada tegasnya
.