SIPNOSIS:
Kenneth Bernardo adalah pria sederhana yang terjebak dalam ambisi istrinya, Agnes Cleopatra. demi memenuhi gaya hidupnya yang boros, Agnes menjual Kenneth kepada sahabatnya bernama, Alexa Shannove. wanita kaya raya yang rela membeli 'stastus' suami orang demi keuntungan.
Bagi Agnes, Kenneth adalah suami yang gagal memenuhi tuntutan hidupnya yang serba mewah, ia tidak mau hidup miskin ditengah marak nya kota Brasil, São Paulo. sementara Alexa memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan suami demi memenuhi syarat warisan sang kakek.
Namun, kenyataan tak berjalan seperti yang Agnes bayangkan, setelah kehilangan suaminya. ia juga harus menghadapi kehancuran hidupnya sendiri-dihina orang sekitarnya, ditinggalkan kekasih gelapnya uang nya habis di garap selingkuhan nya yang pergi entah kemana, ia kembali jatuh miskin. sementara Alexa yang memiliki segalanya, justru semakin dipuja sebagai wanita yang anggun dan sukses dalam mencari pasangan hidup.
Kehidupan Baru Kenneth bersama Alexa perlahan memulihkan luka hati nya, sementara Agnes diliputi rasa marah dan iri merancang balas dendam, Agnes bertekad merebut kembali Kenneth bukan karena haus cinta tetapi ingin menghancurkan kebahagiaan Alexa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Ke Brazil
Sejak hari itu. Alexa mendapat pendidikan keras. Bagaimana hidup dibalik megah tembok tapi tidak ada kehangatan dan kasih sayang di dalamnya.
Pagi-pagi sekali, Alexa harus bangun untuk berlari mengelilingi taman keluarga yang luas. Setelah itu, ia dilatih memanah, menembak, dan menggunakan pisau kecil.
Carlson bahkan mempekerjakan pelatih bela diri profesional untuk mengajarkan Alexa seni bertarung.
"Kau harus belajar menghadapi lawanmu, Alexa. Tidak ada yang boleh membuatmu takut. Jika seseorang menyerangmu, kau harus bisa menjatuhkannya sebelum ia sempat melukaimu."
Ada hari-hari di mana Alexa menangis karena lelah atau kesakitan, tetapi Carlson tidak pernah melembutkan sikapnya.
"Air mata tidak akan menyelamatkanmu, Alexa. Hanya kekuatan dan keberanian yang akan."
Namun, di balik ketegasan itu, Carlson sebenarnya menyimpan rasa sayang yang mendalam. la ingin Alexa tumbuh menjadi sosok yang tidak hanya kuat, tetapi juga cerdas dan berani
Selain kekuatan fisik, Carlson juga melatih Alexa dalam seni manipulasi dan strategi. la mengajarkan Alexa untuk membaca lawan, memanfaatkan kelemahan mereka, dan selalu berpikir beberapa langkah ke depan.
"Kau harus tahu kapan harus menyerang, dan kapan harus menunggu. Kemenangan terbaik adalah ketika lawanmu tidak pernah melihat seranganmu datang."
Alexa mulai menunjukkan bakat luar biasa. Di usianya yang masih muda, ia sudah mampu menganalisis situasi dengan tajam dan membuat keputusan yang dingin.
Alexa belajar bahwa dunia tidak memberikan belas kasihan, dan untuk bertahan, ia harus menjadi baja dan besi- keras, tak tergoyahkan, dan mampu menahan tekanan apa pun.
"Jika ini adalah jalan yang harus kutempuh untuk melindungi diriku dan kehormatan keluargaku, maka aku akan menjalaninya." Ucap Alexa dalam hati.
Di usia 18 tahun, Alexa telah menjadi sosok yang menakutkan di dunia keluarga Graham. Bahkan Arthur dan Donald, yang dulu memandangnya sebagai ancaman kecil, mulai merasa terancam oleh kehadirannya. Mereka tahu, Alexa bukan lagi gadis kecil yang bisa mereka singkirkan dengan mudah.
Carlson, meskipun kini telah menua, tersenyum bangga melihat cucunya.
"Alexander dan Clarissa, jika kalian bisa melihat Alexa sekarang, kalian pasti akan bangga. Anak ini akan menjadi penerus yang tidak akan pernah dikalahkan oleh siapa pun."
Dilatih menjadi sesosok baja dan besi tidak mudah lemah, manipulatif, diajarkan menembak menombak memanah dan harus terjun ke dunia gelap menghabisi lawan di depan mata semuanya Alexa lakukan hingga menjadi pribadi yang tegas, dingin dan mencengkam Membangun kepribadian Alexa yang seperti sekarang ini.
FLASHBACK OFF
Pintu rumah utama terbanting keras saat Alexa melangkah keluar dengan langkah cepat. Wajahnya memerah, menahan amarah yang sudah mencapai puncaknya. la menuju mobil hitam yang terparkir di halaman, membuka pintunya dengan kasar, dan masuk sambil membanting pintu mobil dengan suara keras yang menggema di sekitar.
"Persetan dengan mereka!" desisnya penuh emosi. "Kakek sok tahu! PamanDaniel juga, selalu merasa paling benar! Bahkan Paman Parkin pun ikut campur urusan hidupku. Apa mereka semua pikir aku ini boneka yang bisa mereka mainkan sesuka hati?"
Tangannya mengepal di atas paha, matanya menatap lurus ke depan, penuh dengan kebencian pada situasi yang baru saja terjadi. Napasnya terdengar berat, seperti berusaha menahan ledakan emosi yang hampir tak tertahankan.
Sopirnya, yang duduk di kursi depan, menoleh perlahan dengan ekspresi penuh hati-hati. "Nona, mau kemana? Apakah ingin menenangkan diri dulu?" tanyanya, mencoba memecah ketegangan di dalam mobil.
Alexa mendesah kasar, lalu menjawab dengan dingin, "Kembali ke hotel. Malam ini kita pulang ke Brasil."
Sopir itu tak berani membalas lagi. la menyalakan mesin dan mulai mengemudikan mobil, menyusuri jalanan panjang dengan pohon-pohon pinus berjajar di kanan dan kiri. Udara malam yang sejuk masuk melalui celah kecil jendela, tapi itu tidak cukup untuk meredakan kemarahan Alexa.
Setibanya di lobi hotel, Alexa keluar dari mobil tanpa banyak bicara. Langkahnya cepat menuju lift. Setelah masuk ke kamarnya yang luas, ia segera mengambil telepon dan menghubungi asistennya di Brasil.
"Pesan tiket dari Meksiko ke Brasil. Malam ini juga. Aku ingin pulang," katanya tanpa basa-basi.
Di seberang sana, suara asistennya terdengar ragu. "Nona, apakah Anda yakin? Bukankah Anda baru dua hari di sana? Apa tidak ingin beristirahat dulu malam ini?"
"Tidak!" jawab Alexa tegas, hampir membentak. "Aku tidak ada urusan lagi di sini. Malam ini juga aku harus kembali."
Setelah panggilan berakhir, Alexa melempar ponselnya ke atas kasur dengan gerakan kasar, bunyinya terdengar memantul di ruangan. la mengumpat lagi, kali ini lebih keras, sambil mengusap rambutnya dengan frustasi.
"Sialan! Selalu saja mereka pikir mereka tahu apa yang terbaik untukku. Mereka pikir aku tidak bisa membuat keputusan sendiri?" gumamnya sambil berjalan mondar-mandir di kamar, amarahnya belum juga reda.
Alexa berhenti sejenak, menatap dirinya sendiri di cermin besar di kamar itu. Matanya memerah, bibirnya bergetar menahan rasa kesal. la mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, lalu menarik napas dalam, berusaha mengembalikan ketenangannya.
"Mereka akan lihat," katanya pada bayangan dirinya sendiri. "Aku akan buktikan bahwa aku bisa menjalani hidupku tanpa mereka."
Alexa berhenti sejenak, menatap dirinya sendiri di cermin besar di kamar itu. Matanya memerah, bibirnya bergetar menahan rasa kesal. la mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, lalu menarik napas dalam, berusaha mengembalikan ketenangannya.
"Persetan dengan mereka!" katanya dengan suara penuh emosi. "Pokoknya persetan dengan mereka. Aku tidak peduli lagi dengan harta warisan itu."
Alexa berbalik, membuang pandangannya dari cermin, dan berjalan menuju jendela. la menatap keluar ke gelapnya malam, pikirannya dipenuhi oleh kekecewaan dan kemarahan yang terus bergejolak. Sesaat, ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan ledakan emosi yang lebih besar, namun akhirnya memilih untuk membiarkan dirinya tenggelam dalam kekesalan itu.
...────୨ৎ────...
Pesawat jet milik Alexa mulai lepas landas dari landasan yang sunyi, meliuk di udara dengan suara gemuruh mesin yang menggema di seluruh kabin. Di luar jendela, lampu kota mulai memudar, berganti dengan hamparan langit yang gelap.
Seorang wanita duduk di kursi pesawat kelas bisnis, mengenakan setelan hitam elegan yang sempurna menutupi sosoknya yang tegas. Alexa menatap ke luar jendela, matanya kosong, memandang jauh ke luar sana, seolah mencari sesuatu yang tak pernah ia temukan. Pikirannya berkelana pada kehidupan yang baru saja ia tinggalkan-keluarga, ekspektasi, dan dunia yang terus mengatur hidupnya. Keputusan untuk pulang ke Brazil bukan sekadar untuk melarikan diri, tetapi untuk memulai kembali. Tempat di mana dia bisa hidup tanpa terikat oleh beban yang seharusnya tidak perlu ia pikul.
Namun, di tengah kesunyian itu, ponselnya terus berdering. Bunyi dering yang mengganggu ketenangannya. Beberapa panggilan masuk, semuanya dari kakeknya, dan kemudian pesan teks dari pamannya. Alexa menatap layar dengan tatapan datar. Nama kakeknya bersinar terang, diikuti dengan dering lainnya, namun tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab.
Dengan tenang, dia menekan tombol untuk menolak panggilan yang terus datang. Teleponnya berdering lagi-panggilan masuk dari kakeknya yang sudah dikenalinya dengan baik. Bunyi dering yang berulang kali terus mengganggu ketenangan hatinya. Namun, Alexa tidak mengangkat telepon itu. Matanya tetap fokus pada jendela, menikmati ketenangan yang seolah jarang ia rasakan. Panggilan itu terus datang, tapi ia tetap tidak peduli.
Dengan satu gerakan mantap, Alexa mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat:
"Aku sudah di pesawat dan tidak ingin diganggu. Tolong sampaikan pada kakek, aku sudah memutuskan untuk kembali ke Brazil dan tinggal di sana. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan keluarga ini. Jangan coba-coba mengatur hidupku lagi."
" Kau nikahkan saja anak paman atau anak Paman Parkin! Pernikahan dini sudah legal sejak beberapa tahun lalu."
Setelah mengirim pesan itu, Alexa meletakkan ponselnya di atas meja lipat kecil di kursi sampingnya. Tanpa ragu, dia menekan tombol untuk mematikan ponselnya. Tidak ada alasan lagi untuk terus menerima gangguan itu
Ponselnya diserahkan kepada asistennya yang duduk di kursi seberang, sebelum akhirnya Alexa bangkit dan berjalan ke kamar pesawat. Dia ingin menjauh dari gangguan dan menikmati sisa perjalanan panjang ini, yang akan membawanya kembali ke rumah barunya di Brazil. Penerbangan ini membutuhkan waktu berjam-jam, dan dia lebih memilih untuk memanfaatkannya dengan tenang, menjauhkan dirinya dari urusan yang tidak lagi ia inginkan.
Kamar pesawat itu sepi. Alexa duduk dengan tenang, menatap keluar jendela lagi menikmati sebotol anggur merah.
Hening. Beberapa jam kemudian, pesawat itu terus terbang ke arah yang dituju, membawa Alexa lebih jauh dari keluarga dan kehidupan yang selama ini membelenggunya.
Butuh waktu beberapa jam Setibanya di bandara Brazil, suasana yang lebih tenang dan familiar langsung menyambut Alexa. Alexa berjalan keluar menuju area kedatangan. Begitu keluar dari pintu kedatangan, Asistennya, Vigor. sudah menunggunya di luar dengan mobil hitam yang elegan. dengan tenang di sebelah mobil mewah yang sudah disiapkan, segera mendekat untuk menyapa.
"Selamat datang kembali, Nona," kata Vigor dengan sopan saat Alexa masuk ke dalam mobil.
Alexa mengangguk sedikit, menyandarkan tubuhnya di kursi, dan melepaskan penat. "Terima kasih," jawabnya singkat.
Alexa segera masuk ke dalam mobil. Asisten itu menutup pintu dengan hati-hati sebelum menuju ke kursi pengemudi.
Vigor menatapnya lewat kaca spion. "Nona, apakah Anda ingin menginap di hotel atau langsung menuju rumah baru?"
"Langsung ke rumah baru aja. Gak usah repot-repot," jawab Alexa santai, memandangi jalanan yang mulai ramai di sekitar bandara.
"Baik, Nona."
Alexa hanya mengangguk singkat, tak banyak bicara, Begitu mobil mulai melaju meninggalkan bandara, suasana kembali hening, hanya suara mesin mobil yang terdengar. Alexa menyandarkan punggungnya ke kursi, melirik jalanan yang familiar.