NovelToon NovelToon
Satria Lapangan

Satria Lapangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: renl

Sinopsis Satria Lapangan
Pahlawan Lapangan adalah kisah tentang perjalanan Bagas, seorang remaja yang penuh semangat dan berbakat dalam basket, menuju mimpi besar untuk membawa timnya dari SMA Pelita Bangsa ke Proliga tingkat SMA. Dengan dukungan teman-temannya yang setia, termasuk April, Rendi, dan Cila, Bagas harus menghadapi persaingan sengit, baik dari dalam tim maupun dari tim-tim lawan yang tak kalah hebat. Selain menghadapi tekanan dari kompetisi yang semakin ketat, Bagas juga mulai menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Stela, seorang siswi cerdas yang mendukungnya secara emosional.

Namun, perjuangan Bagas tidak mudah. Ketika berbagai konflik muncul di lapangan, ego antar pemain seringkali mengancam keharmonisan tim. Bagas harus berjuang untuk mengatasi ketidakpastian dalam dirinya, mengelola perasaan cemas, dan menemukan kembali semangat juangnya, sembari menjaga kesetiaan dan persahabatan di antara para anggota tim. Dengan persiapan yang matang dan strategi yang tajam,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon renl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 10

Mis Rina dan Bagas.

April melangkah keluar dari rumah Bagas dengan wajah yang masih menyimpan kekhawatiran. Di depan rumah, sebuah mobil putih sudah menunggunya. Tak lama, seorang gadis dengan seragam putih abu-abu keluar dari dalam mobil dan menghampirinya.

"Abang, lama banget sih. Capek deh Cila nunggu," omel gadis itu, wajahnya merengut manja.

April tersenyum tipis dan mencubit hidung adiknya dengan gemas. "Udah, ayo pulang. Ntar ngomel mulu kayak gini, siapa yang tahan?" candanya.

"Dih, sakit, Bang! Cila dicubit terus," Cila merengut tapi senyum di wajahnya tak bisa disembunyikan.

"Naik, yuk. Mami udah dari tadi nelpon terus. Nanti kita yang kena marah lagi," ujar April sambil membuka pintu mobil untuk adiknya.

"Siap, Baginda," balas Cila sambil tersenyum nakal.

Mobil Avanza putih itu pun melaju, perlahan menghilang di kejauhan, melewati persimpangan lampu merah dan menghilang dari pandangan.

Sementara itu, di rumah Bagas, ia terbangun dari tidur singkatnya. Rasa sakit menyeruak di sekujur tubuhnya, membuatnya meringis ketika mencoba berdiri. Tanpa diduga, tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai.

"Den Bagas, jangan dipaksakan. Biar Mang Dadang bantu," ujar Mang Dadang sambil membantu Bagas berdiri dan menuntunnya kembali ke sofa.

Bagas menggeleng pelan, tetap berusaha berdiri tegak. "Nggak, Mang. Aku mau ke kamar."

Namun, sebelum Bagas sempat melangkah jauh, suara berat terdengar dari arah pintu depan. "Udah, di sini aja dulu," ucap suara yang sangat dikenalnya.

Bagas menoleh dan melihat ayahnya, Pandu Wijaya, berdiri di sana. "Tuan," sapa Mang Dadang menghormati. Ayah Bagas melangkah mendekat dan memegang lengan anaknya, menatap wajahnya yang penuh luka.

"Papa, tumben pulang cepat," ujar Bagas pelan, mencoba tersenyum walau rasa sakit masih menyelimuti wajahnya.

"Papa dapat telepon dari kepala sekolah. Katanya anak Papa sekarang udah jadi jagoan, ya?" Ayah Bagas tersenyum kecil, meski sorot matanya penuh kekhawatiran.

Bagas terdiam, merasa bersalah melihat tatapan ayahnya. "Papa, aku...," suaranya terputus, menahan sakit dan lelah.

Ayahnya menghela napas panjang, lalu berbicara dengan nada serius. "Bilang ke Papa, anak mana yang bikin kamu begini? Papa nggak akan diam."

Bagas menatap ayahnya dengan mata penuh pengertian. "Nggak usah, Pa. Mereka cuma butuh pendidikan, sama seperti aku."

Ayah Bagas terdiam, menahan amarah yang menggelegak. Ia tahu, jika dirinya ikut campur, para pelaku itu tak akan lolos begitu saja. "Kalau itu maumu, Papa nggak akan bertindak. Tapi kalau ada apa-apa, langsung panggil Papa, ya."

Ayah Bagas meninggalkan ruangan, menutup pintu dengan pelan. Bagas menarik napas dalam dan meraih ponselnya yang tergeletak di samping. Sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar, chat dari Ara.

"Gas, Ara udah sampai di Bandung. Nenek nanyain kamu," tulis Ara.

Bagas tersenyum tipis dan mengetik balasan. "Baru pulang dari sekolah, Ra."

Tak butuh waktu lama, ponselnya kembali berbunyi. "Iya, Gas. Semangat ya, jangan lupa belajar. Main game terus nggak bikin kamu pintar," balas Ara dengan emoji tertawa.

Bagas menghela napas dan membalas singkat. "Iya, Ratu Bawel."

Di antara chat dari teman-temannya yang menanyakan keadaannya, Bagas hanya menggulirkan layar tanpa berniat membalas. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Seorang wanita dengan seragam putih dan stetoskop di saku bajunya masuk, tersenyum melihat Bagas.

"Halo, Bagas. Bagaimana keadaanmu?" sapanya lembut.

"Baik, Miss," jawab Bagas pelan.

"Wah, ponakan Miss sekarang udah jadi jagoan, ya," ujar wanita itu sambil mengamati luka-luka di wajah Bagas.

Wanita itu adalah Dokter Rina, adik dari ayah Bagas, yang biasa ia panggil Miss. "Terakhir Miss periksa kamu waktu kamu sunat. Abis itu nggak pernah lagi," godanya, mencoba mencairkan suasana.

Bagas hanya mengangkat alis, tersipu malu tapi tak berkata apa-apa. Miss Rina tersenyum dan mulai memeriksa luka-luka di wajahnya dengan teliti.

Dokter Rina mengeluarkan peralatan medisnya dan mulai membersihkan luka-luka di wajah Bagas dengan hati-hati. Bagas hanya menatap langit-langit kamar, mencoba menahan perih sambil mendengarkan suara lembut bibi sekaligus dokternya itu.

“Bagas, kenapa sih kamu sampai berkelahi kayak gini?” tanya Dokter Rina, suaranya penuh kekhawatiran. Tangannya terampil membalut luka di pelipis Bagas.

Bagas menghela napas panjang, lalu menjawab pelan, “Nggak ada pilihan, Miss. Mereka yang mulai duluan.”

Dokter Rina menatap Bagas sejenak, kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Tapi, kamu tahu kan, berkelahi itu bukan solusi yang baik? Apalagi kalau sampai begini parah,” ujar Rina, menasihati dengan nada lembut tapi tegas.

Bagas menoleh, menatap wajah bibi yang selama ini selalu perhatian padanya. “Aku tahu, Miss. Tapi ada saat-saat di mana kita harus membela diri. Mereka nggak bakal berhenti kalau nggak dilawan.”

Rina mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi lain kali, lebih baik kamu cari cara lain, ya? Bagas itu pintar. Gunakan kepintaranmu, bukan hanya fisik.”

Bagas tersenyum tipis, meski wajahnya masih terasa nyeri. “Iya, Miss. Aku akan ingat itu.”

Setelah selesai mengobati, Rina menutup kotak medisnya. “Oke, selesai. Kamu harus banyak istirahat, jangan banyak bergerak dulu. Kalau ada yang terasa sakit lagi, bilang sama Papa atau Mang Dadang, biar mereka panggil aku.”

Bagas mengangguk patuh. “Terima kasih, Miss.”

Rina berdiri dan menyentuh bahu Bagas lembut. “Kamu itu kuat, tapi jangan lupa kalau kamu juga manusia, Bagas. Boleh merasa lelah, boleh merasa sakit. Jangan pendam semua sendirian.”

“Baik, Miss,” balas Bagas dengan suara serak.

Setelah Rina keluar dari kamar, suasana berubah sunyi. Bagas meraih ponselnya lagi, membaca pesan-pesan yang menumpuk. Satu pesan dari Daniel muncul, berisi video dari kejadian di luar sekolah tadi siang.

"Bro, lo legend banget! Liat deh, ini video pas lo banting anak itu," tulis Daniel diikuti emoji tertawa.

Bagas menonton sekilas, melihat dirinya yang penuh amarah di video itu. Ada rasa bangga yang samar, tapi lebih besar rasa lelah dan penyesalan. Dia menutup video itu dan meletakkan ponselnya di samping, menatap ke jendela yang memantulkan cahaya lampu kota.

Tiba-tiba, pintu kamar diketuk pelan dan Mama Bagas masuk dengan wajah penuh kekhawatiran. “Bagas, sayang, Mama boleh masuk?” tanyanya.

Bagas mengangguk dan tersenyum kecil. “Masuk aja, Ma.”

Mama Bagas duduk di tepi ranjang, memandang anaknya dengan mata yang berkaca-kaca. “Kamu bikin Mama khawatir, nak. Kalau terjadi apa-apa sama kamu, Mama nggak tahu harus gimana,” ucapnya, suaranya bergetar.

Bagas menggenggam tangan Mamanya, mencoba meyakinkan. “Ma, Bagas nggak apa-apa. Ini cuma luka kecil. Besok juga sembuh.”

Mama Bagas menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. “Mama tahu kamu kuat, tapi ini bukan cuma soal fisik, Gas. Mama khawatir dengan apa yang kamu rasakan. Jangan simpan semuanya sendiri, ya?”

Bagas menatap mata Mamanya yang penuh cinta dan kekhawatiran. “Iya, Ma. Bagas janji nggak akan simpan semuanya sendiri.”

Mereka saling berpelukan dalam keheningan yang penuh kehangatan. Mama Bagas mengelus rambut anaknya, berharap semua rasa sakit yang dialami Bagas akan hilang seiring dengan usapan itu.

Setelah beberapa saat, Mama Bagas berdiri. “Mama masakin sop kesukaan kamu, ya? Biar cepat pulih,” ujarnya dengan senyum tipis yang mulai menghiasi wajahnya.

Bagas mengangguk pelan. “Makasih, Ma.”

Ketika pintu kamar tertutup, Bagas kembali berbaring, matanya menatap langit-langit yang terasa semakin sunyi. Di benaknya, ia memikirkan kejadian tadi siang dan bagaimana ia bisa menghadapi hari-hari ke depan tanpa terjerat dalam lingkaran kekerasan yang sama.

Di luar kamar, Mama Bagas menemui suaminya yang menunggu di ruang keluarga. “Bagaimana keadaannya?” tanya Pandu dengan nada rendah.

“Dia kuat, seperti biasa. Tapi aku khawatir dia memendam semuanya,” jawab Mama Bagas, air matanya menetes perlahan.

Pandu memeluk istrinya, menyalurkan kekuatan dan keyakinan. “Kita akan bantu dia, bersama-sama.”

Mereka berdua berdiri dalam keheningan, hanya ditemani suara malam yang tenang di rumah besar itu, menandakan bahwa badai kecil dalam keluarga mereka mungkin belum berlalu, tapi mereka siap menghadapinya bersama.

1
Aimee
Baca ini karena lihat cover sama sinopsisnya, eh mau lanjut... sesimple itu
Dragon 2345: makasih kakak Uda mampir,
total 1 replies
Cute/Mm
Keren abis nih karya, besok balik lagi baca baruannya!
Dragon 2345: aman kak makasih dah mampir, tmbah semangat aq buat up makasih sekali lagi support nya
total 1 replies
Celeste Banegas
Tersentuh banget dengan kisah ini.
Dragon 2345: makasih kakak sudah mampir,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!