Max Stewart, yang merupakan ketua mafia tidak menyangka, jika niatnya bersembunyi dari kejaran musuh justru membuatnya dipaksa menikah dengan wanita asing malam itu juga.
"Saya cuma punya ini," kata Max, seraya melepaskan cincin dari jarinya yang besar. Kedua mata Arumi terbelalak ketika tau jenis perhiasan yang di jadikan mahar untuknya.
Akankah, Max meninggalkan dunia gelapnya setelah jatuh cinta pada Arumi yang selalu ia sebut wanita ninja itu?
Akankah, Arumi mempertahankan rumah tangganya setelah tau identitas, Max yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mafia 22
Arumi tersenyum sambil merapikan alat bekas makan suaminya. Meskipun, masih terbata-bata ketika mengucapkan doa, setidaknya Max mau mematuhi sedikit demi sedikit ajarannya.
Untuk menghadapinya seseorang yang belum pernah mengenal Tuhan sebelumnya, tentu saja Arumi harus sabar dan mengajarkan tentang agama Islam secara perlahan.
"Mas, hari ini kita jadi pulang?" tanya Arumi, sambil memotong buah apel yang di minta suaminya. Max, memang terbiasa menjalani hidup sehat dengan makanan yang sehat. Sehingga, pria itu tak bisa jauh dari yang namanya buah dan sayur.
"Hemm," jawab Max yang sedang menatap layar laptop di pangkuannya. Arumi sudah terbiasa dengan kebiasaan suaminya itu yang kadang menjawab dengan deheman saja.
Arumi menghampiri, Max. Kemudian dia duduk di sebelah suaminya dan mulai menyuapi potongan buah. Arumi sekilas melirik apa yang tengah di perhatikan oleh suaminya sampai serius begitu. Hanya ada grafik berwarna hijau yang terus bergerak naik sehingga membuat mata sakit.
"Sebaiknya, jangan memaksakan diri, Mas. Tanganmu masih kaku," kata Arumi. Mendengar suara yang lembut penuh perhatian padanya, Max langsung melirik.
"Aku tau, apa yang ku lakukan. Kau hanya istriku, jadi jangan melampaui batas!" tekan Max, dengan nada suara dalam dan berat.
Arumi seketika itu juga, menelan ludahnya lantaran kaget. Dia tak mengira, jika suaminya bisa semarah itu hanya karena sebuah nasihat kecil darinya. Apa benar, jika yang dia lakukan melampaui batas? Apa salah, seorang istri khawatir atas keadaan suaminya? Nyatanya, pertanyaan itu hanya bisa Arumi ucapkan dalam hati saja.
"Maaf, Mas," ucapnya pelan dengan kepala menunduk tanda menyesal dan patuh. Arumi yang cerdas langsung mengambil pelajaran, bukannya perasaan. Saat ini dia tau, bahwa suaminya jika sedang serius tidak mau di kata apapun itu. Bukankah tabiat seorang laki-laki memang seperti itu? Salahnya yang bersikap seolah-olah, Max tidak mengerti apa yang dia lakukan. Tentu saja suaminya itu bisa mengukur kekuatan serta kemampuannya.
Sore ini mereka berdua keluar dari markas Utara, yang lebih mirip sebagai sebuah benteng dimana di dalamnya terdapat bagian-bagian ruang untuk merawat para anggota yang terluka. Tempat itu juga memiliki sebuah laboratorium bawah tanah dan juga tempat penyimpanan senjata. Max, bahkan merakit sendiri rudal dan senjata berukuran besar lainnya.
Tak ada yang tau, bahkan para musuhnya. Bahwa black hawk memiliki sarana militer skala kecil. Setidaknya, Max mampu menaklukkan sekumpulan musuh yang berani bermain-main dengan kredibilitasnya. Hanya tinggal penyempurnaan sedikit lagi. Maka bom rakitan buatannya akan segera menemukan korban.
Max bukanlah mafia biasa, maka para musuhnya pun bukan mafia kelas teri. Terkadang, dia harus menghadapi berbagai mafia dari negara lain yang menginginkan kekuasaan di negaranya ini. Tentu mereka tidak bisa masuk kesini tanpa bantuan para pejabat yang rakus.
Arumi kembali ternganga ketika sampai di luar. Max, menyiapkan lebih banyak pasukan untuk mengawal mereka sampai ke tempat kediaman pria itu.
Kali ini, bukan hanya mobil sedan tapi juga pasukan bermotor dan helikopter. Arumi tak bisa berkata-kata apapun untuk menjabarkan kebingungannya saat ini. Sebenarnya, siapa suaminya. Apa itu mafia? Apa Max sepenting itu hingga harus mendapat pengawalan yang menyerupai seorang kepala negara?
Ah, kepala Arumi berdenyut nyeri. Semua hal yang dia lihat dan saksikan saat ini sungguh dia luar bayangannya. Arumi tidak mampu menduga-duga. Namun, meskipun dia bertanya pada suaminya pun, tak akan ada jawaban yang memuaskan. Max, masih menyembunyikan identitas yang sebenarnya. Atau, mungkin pria itu malas menjelaskan secara detail pada Arumi?
Mungkin, Max ingin Arumi nanti paham dengan sendirinya. Bahkan, pria itu yakin kalau Arumi tidak akan bertahan untuk berada di sisinya. Pada saat itu, Arumi pasti menginginkan perpisahan yang, Max harapkan. Jadi, pria itu membiarkan waktu yang akan menjelaskan semuanya pada Arumi. Lagipula, Max mulai merasa kerepotan karena kehadiran istrinya yang cerewet ini.
Barisan mobil mewah dan motor sport pun melaju dengan kecepatan teratur. Tak ada sedikit celah pun untuk kendaraan lain memasuki fomasi mereka. Walau pun, Max dan komplotannya membelah jalan raya di pusat kota.
Tak lama kendaraan tersebut memasuki jalanan sepi dan mulai menanjak serta berkelok. Arumi menghela napas ketika kendaraan yang membawanya tersebut melaju semakin kencang karena keadaan jalanan yang sepi.
Tak lama kemudian, pasukan black hawk telah sampai di tujuan akhir mereka. Saat ini, Arumi melihat pepohonan rambat yang tumbuh dengan lebar di depan kendaraan mereka. Hingga kedua matanya yang bersinar bak batu pualam itu terbelalak sempurna.
Pepohonan rambat itu terbelah dua, bagaikan pintu gerbang tinggi nan lebar yang memberikan jalan bagi pasukan black hawk.
Kepala Arumi terus mengikuti pergerakan dari kendaraan mewah yang membawanya itu. Max,yang sejak keberangkatan tadi diam dan fokus dengan benda berlayar datar di pangkuannya, kini berpaling dengan kening berkerut ketika melihat raut takjub di wajah istrinya itu.
Arumi masih menengok ke belakang hingga bahunya sedikit berputar. Ia melihat bagaimana pepohonan rambat yang lebat itu adalah sebuah kamuflase dari gerbang yang membawa mereka ke suatu tempat. Dimana, kanan kiri jalan yang mereka lalui memiliki pepohonan tinggi yang mungkin berusia ratusan tahun.
Tanpa sadar, Arumi membuatkan kedua matanya dan memandang tanpa kedip. Ada beberapa kamera bagaikan mata burung hantu yang terpasang di antara cabang pohon. Herannya, Arumi dapat menangkap benda yang sebenarnya sengaja di kamuflase itu.
Max, menyeringai tipis melihat antusias istrinya itu. Dia mengangkat bahunya, dan sama sekali tak berniat menegur apa yang saat ini tengah Arumi lakukan. Hingga, Max kembali fokus pada laptopnya. Akan tetapi, posisi Arumi yang mendadak berbalik membuatnya terpaku. Kemudian, Max berbalik. Dan saat ini Arumi tengah melihatnya dengan lekat.
"Apa!" tegurnya dengan nada tegas.
"Ini tempat apa? Sebenarnya kita mau kemana?" cecar Arumi yang nampaknya sudah tidak tahan bertahan dengan segala kebingungannya. Perasaan yang sudah ia tahan sejak tadi. Bokongnya juga panas karena duduk di mobil terlalu lama.
"Lihat saja. Nanti juga kau akan tau. Duduklah dengan benar," jawab Max, tegas dengan tatapan yang dingin. Arumi, sontak diam tak bertanya lagi. Karena tatapan Max saat ini padanya kembali seperti awal perjumpaan mereka.
Arumi memilih untuk patuh. Dia kembali ingat akan pesan sang paman. "Patuhlah apa kata suamimu, selagi dia tidak mengajakmu pada kemaksiatan. Bersabarlah dalam membimbingnya dan temukan maksud dari rencana Allah yang sebenarnya." Kalimat itu terus berdengung di salah satu kotak memory Arumi.
"Pakde, Arum rindu. Apakah pakde makan dengan teratur? Siapa yang menyiapkan air hangat untuk pakde berwudhu ketika hendak solat tahajud?" batin Arumi penuh kekhawatiran. Padahal, baru beberapa hari dirinya jauh dari sang paman.
Sayangnya, Mustafa tidak memiliki ponsel. Pria itu juga tidak bisa menggunakan gadget. Arumi hanya meninggalkan secarik kertas berisikan nomer ponsel yang dia tempel di pintu lemari.
"Sewaktu-waktu, kabari Arumi di nomer ini ya. Nanti pakde pinjam saja ponsel pak RT." Begitu saran dan pesan darinya.
Arumi, kembali menoleh pada sosok pria dingin yang cukup arogan di sebelahnya berharap Tuhan merahmati rumah tangganya dengan pria penuh misteri seperti, Max.
Arumi kembali membulatkan matanya ketika ia teringat sesuatu. "Beberapa hari lagi, masuk bulan Romadhon. Apakah aku bisa menjalankan puasa dan ibadah lainnya nanti? Semoga di kediamannya, tak ada hewan yang termasuk dalam kategori najis," batin Arumi, penuh harap dia tidak menemukan hewan sejenis anjing di rumah Max.
"Mas, apa dirumah mu nanti ada, anjing?"