NovelToon NovelToon
Obsesi Sang CEO

Obsesi Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: QurratiAini

Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.

Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.

Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.

Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sepuluh

Mobil SUV hitam itu melaju perlahan memasuki kawasan elite yang dipenuhi rumah-rumah mewah. Bambang, Wati, dan Laras tidak bisa menyembunyikan rasa takjub mereka saat mobil melewati gerbang besar dengan ukiran artistik dan penjagaan super ketat dari para pengawal berseragam rapi. Gerbang itu terbuka perlahan, dan di baliknya tampaklah sebuah mansion megah yang seakan berdiri seperti istana di tengah lahan yang luas.

"Gilaaa… ini rumah atau istana?" Wati bergumam, matanya tak berkedip memandang bangunan yang menjulang di depannya. Pilar-pilar marmer putih berdiri kokoh, dengan taman luas yang dihiasi air mancur berlapis emas di tengahnya.

"Bu Sintia tinggal di sini?" Laras bertanya dengan nada tak percaya sambil menatap mansion itu dari jendela mobil.

Bambang hanya diam, terkesima dengan kemegahan yang terpampang di depan matanya. Namun, perhatian mereka bertiga segera tertuju pada sebuah tugu besar di sisi kiri mansion. Tugu itu berdiri megah dengan ukiran nama besar yang tak mungkin dilewatkan: "Keluarga Handoko."

Ketiganya serentak menganga, mulut mereka terbuka lebar dalam kekagetan yang tidak bisa disembunyikan.

"Keluarga Handoko?" Bambang akhirnya bersuara, suaranya bergetar antara takjub dan ngeri. "Keluarga konglomerat itu?"

Wati mengangguk pelan, mencoba mencerna kenyataan di depannya. "Iya, Pa. Keluarga Handoko itu… keluarga terkaya di negeri ini. Mereka yang disebut-sebut penguasa di balik layar pemerintahan. Banyak pejabat besar yang naik jabatan berkat bantuan keluarga ini."

"Astaga…," Laras ikut menimpali, nadanya antara takjub dan tidak percaya. "Jadi, laki-laki yang akan dijodohkan sama aku… dari keluarga ini? Kenapa Mama nggak bilang dari awal?"

Wati menoleh ke Laras dengan ekspresi bingung. "Mama nggak tahu, Laras. Mama cuma tahu calonmu dari keluarga kaya, tapi Mama nggak tahu kalau ternyata itu keluarga Handoko."

Bambang menyandarkan punggungnya ke kursi mobil, mencoba menenangkan diri. "Ini di luar ekspektasi kita. Keluarga Handoko… mereka bukan sekadar kaya. Mereka itu… penguasa."

Laras menelan ludah, perasaan gugup dan bangga bercampur menjadi satu. "Jadi… aku dijodohkan sama siapa, Ma? Bukannya Bu Sintia bilang aku dijodohkan sama putra sulungnya?"

"Iya," jawab Wati cepat. "Bu Sintia bilang begitu. Putra sulungnya, artinya… Abraham Handoko, kan?"

"Abraham Handoko?" Bambang berseru, matanya melebar. "Dia itu… yang terkenal di mana-mana. Orang-orang hormat banget sama dia. Dia juga orang yang membeli Firda seharga satu miliar ke Papa."

Wati mengangguk lagi, benar-benar tak percaya. Kini suaranya penuh semangat. "Berarti kalau Laras menikah dengan dia, kita bukan cuma masuk keluarga kaya, tapi keluarga paling berkuasa di negeri ini!"

Laras terdiam, tubuhnya bergetar ringan. Perasaan senang, bangga, dan gugup bercampur menjadi satu. Dia tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah sedrastis ini. "Abraham Handoko…" gumamnya pelan. "Aku akan menikah dengan Abraham Handoko?"

"Kalau benar dia, Laras," Bambang berkata sambil tersenyum lebar, "hidupmu akan berubah sepenuhnya. Kamu bakal jadi istri dari pria paling berpengaruh di negeri ini."

Wati mengangguk setuju. "Laras, ini kesempatan yang nggak semua orang dapat. Bu Sintia benar-benar baik banget sama kita. Dia nggak cuma ngasih uang, tapi juga calon suami yang luar biasa untuk kamu."

Mereka bertiga saling bertukar pandang, lalu tersenyum lebar. Perasaan senang memenuhi mobil itu. Laras mencoba menenangkan dirinya, tetapi jantungnya berdebar kencang. Pikirannya melayang membayangkan seperti apa kehidupannya nanti sebagai istri Abraham Handoko. Sebuah kehidupan yang mewah dan penuh pengaruh sudah menanti di depan mata.

Saat mereka melangkah keluar dari mobil, seorang wanita anggun dengan gaun elegan keluar dari mansion, diiringi pelayan-pelayan. Sosok itu adalah Sintia. Senyum kecil tersungging di bibirnya yang merah sempurna, tapi auranya membuat siapa pun merasa harus menunduk hormat.

“Selamat datang,” kata Sintia singkat, suaranya tenang namun penuh wibawa.

Bambang, Wati, dan Laras sedikit membungkukkan badan, tidak tahu harus berkata apa. Sintia melirik mereka sejenak, lalu langsung bertanya, “Jadi, kalian sudah siap?”

“I-iya, Bu,” jawab Bambang tergagap. “Kami sudah siap.”

“Bagus,” balas Sintia sambil berbalik. “Ikuti saya.”

Mereka bertiga mengikuti langkah Sintia menuju halaman belakang mansion, melewati koridor besar dengan langit-langit yang dihiasi lukisan klasik dan lampu gantung kristal. Laras terus memandangi sekeliling dengan mata berbinar. Dia merasa seperti sedang berjalan di dalam istana di film-film kerajaan.

Ketika mereka sampai di halaman belakang, napas Laras nyaris terhenti. Sebuah taman luas terbentang dengan meja makan panjang yang dikelilingi lampu-lampu kecil yang berkelap-kelip. Hidangan mewah tersusun rapi di atas meja, lengkap dengan peralatan makan berbahan emas dan perak.

“Ini... luar biasa,” bisik Laras pelan.

“Laras, jaga mulutmu, Nak,” tegur Wati dengan nada rendah, tapi matanya juga tidak bisa berhenti mengagumi pemandangan itu.

Di ujung meja, dua pria sedang menunggu. Salah satunya adalah Tono Handoko, kepala keluarga yang terkenal dengan kekayaannya. Dengan jas hitam yang sempurna, wajahnya memancarkan wibawa seorang pemimpin. Di sebelahnya duduk Ramon, putra bungsu keluarga Handoko, yang mengenakan pakaian kasual dengan senyum santai di wajahnya.

Tono berdiri dan mengulurkan tangan. “Selamat datang di kediaman kami,” katanya ramah. “Silakan duduk dan anggap ini rumah kalian sendiri.”

Bambang langsung menjabat tangannya dengan gugup. “Terima kasih, Pak... eh, Tuan... eh...” Dia terdiam, tidak tahu harus memanggil bagaimana.

Tono terkekeh kecil. “Santai saja. Panggil saya Tono.”

Sikap hangat Tono sedikit meredakan ketegangan Bambang. Ramon kemudian berdiri dan menyapa dengan senyum lebar. “Saya Ramon. Senang bertemu kalian.”

Laras hanya bisa tersenyum canggung. “Laras,” katanya pendek, suaranya hampir tak terdengar.

“Laras, kan?” tanya Ramon sambil tersenyum. “Calon kakak ipar saya yang katanya sangat cantik.”

Laras hanya tersipu malu, sementara Wati dan Bambang saling melirik penuh kebanggaan.

"Silakan duduk," ujar Sintia dengan sopan mempersilakan mereka. Ketiganya mengangguk hormat sebelum mendudukkan diri dengan canggung di kursi mewah itu.

Makan malam di kediaman keluarga Handoko berlangsung dalam suasana formal yang elegan. Di meja makan panjang yang dihiasi lilin beraroma mawar putih, hidangan mewah berupa lobster termidor dan beef wellington terhidang rapi. Laras duduk di antara orang tuanya, sementara Sintia berada di samping Tono. Ramon duduk di seberang mereka dengan senyum santai yang tidak pernah hilang dari wajahnya.

Tono memulai percakapan, mencoba mencairkan suasana dengan nada ramah. “Jadi, Laras,” ucapnya seraya meletakkan garpunya setelah memotong steak, “aku dengar dari Sintia, kamu lulusan Universitas Columbia, jurusan psikologi. Itu universitas yang luar biasa. Bagaimana rasanya belajar di sana?”

Laras yang tengah mencoba menahan gugupnya, langsung membeku. Ia mendadak lupa cara bernapas. Jantungnya berdegup kencang, sementara tangannya yang berada di bawah meja mencengkeram erat serbet. Ia berusaha mengingat-ingat apa pun tentang Universitas Columbia, tapi tidak ada informasi yang muncul di kepalanya.

1
Heulwen
Bagaimana cerita selanjutnya, author? Update dulu donk! 😡
Qurrati Aini: ditunggu yaaa, author bakal update setiap jam 10 malam, okeyy.
total 1 replies
Azure
Author-im, kalau tidak update cepat, reader-im bakal pingsan menanti T.T
Qurrati Aini: duh di tunggu ajaa ya hehe, author bakal update setiapp jam 22:00 WIB yaa.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!