Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Rindu Tak Terbalas.
Malam telah larut, ketika rinai hujan yang tak berkesudahan mengguyur jalan-jalan di kota ini. Langit seolah menangis, dan di antara butir-butir air itu, rindu yang terpendam di hatiku kian membesar, memecah hening yang melingkupi kamarku. Lampu di meja sebelah tempat tidur berkedip, seolah-olah bahkan benda mati pun mulai jenuh akan keheningan ini.
Aku menggeser tubuhku dari tempat tidur, mengeluarkan ponsel dari saku. Tidak ada pesan baru. Padahal sudah dua minggu sejak aku mengirim pesan terakhir pada Yana, namun dia tak pernah membalas. Setiap notifikasi yang masuk—email pekerjaan, grup obrolan yang ramai—tidak satu pun yang kutunggu-tunggu.
Perasaanku hampa, seolah ada bagian dari diriku yang hilang di antara hujan yang turun di luar. Mungkin itu Yana. Mungkin dia telah benar-benar menghilang dari hidupku. Tapi bagaimana mungkin? Kami telah melewati begitu banyak bersama. Momen-momen kebahagiaan dan kesedihan yang tak bisa dilupakan.
Dengan tangan gemetar, aku membuka kotak masuk percakapan kami. Di sana, percakapan yang dulu selalu penuh dengan canda tawa kini berubah menjadi sunyi yang mengerikan. Pesanku terakhir masih menunggu: "Aku merindukanmu, Yana. Apa kabarmu?"
Tak ada balasan.
Kututup ponselku dengan napas berat dan memandang ke luar jendela. Hujan semakin deras, mengguyur pohon-pohon di jalanan yang lengang. Apakah aku salah? Apakah rinduku terlalu dalam hingga tak lagi mampu diterima?
---
Beberapa bulan yang lalu, aku dan Yana masih seperti dua sahabat yang tak terpisahkan. Kami tidak pernah mendefinisikan hubungan kami—itu mungkin masalahnya. Mungkin terlalu terlambat sekarang untuk berharap akan sesuatu yang lebih. Kami berdua senang dengan kebersamaan tanpa status, sampai akhirnya Yana mulai menjauh secara perlahan.
Pertemuan kami yang biasa terasa hangat menjadi jarang. Dia mulai sibuk dengan dunianya sendiri, menjauh secara fisik dan emosional. Mungkin itu alasannya mengapa rindu ini begitu menyakitkan; ketika seseorang yang kita pedulikan mulai hilang tanpa alasan jelas, meninggalkan kita dengan jutaan pertanyaan tak terjawab.
Semua ini membingungkan, tetapi malam ini, aku memutuskan untuk mencari jawaban.
Aku mengenakan jaket hitam, mengambil payung, dan berjalan keluar ke dalam kegelapan malam. Hawa dingin merayap di kulit, namun tekadku menghangatkan langkahku. Aku akan menemui Yana, apa pun yang terjadi. Dia tinggal di apartemen tak jauh dari sini, dan meski pikiranku penuh dengan keraguan, hatiku merasa ini adalah langkah yang harus kuambil.
Langkah demi langkah, aku mendekati bangunan apartemennya. Rintik hujan mengetuk-ngetuk payungku, seolah ingin memperingatkanku. Apakah ini keputusan yang tepat? Haruskah aku memberinya ruang? Namun, ketidaktahuan ini semakin menggerogotiku. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai di depan pintu apartemen Yana, aku mengetuk dengan ringan. Hanya ada keheningan. Aku mengetuk lagi, kali ini sedikit lebih keras. Tidak ada jawaban. Kegelisahan mulai menyusup.
"Tuhan, apa yang sedang kau lakukan?" gumamku pada diriku sendiri. Tetapi ketika aku hendak berbalik, terdengar suara langkah kaki dari dalam.
Pintu terbuka sedikit, dan di baliknya, tampak Yana, dengan wajah yang tampak pucat dan rambut kusut. Namun, yang lebih mengejutkan adalah tatapannya. Dingin. Kosong.
"Rian?" suaranya terdengar jauh, seperti ia tidak mengenaliku.
"Yana, aku... aku ingin bicara," suaraku sedikit bergetar, tetapi aku mencoba terlihat tegar. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu tidak membalas pesanku?"
Dia tidak menjawab, hanya menatapku dengan ekspresi yang sulit kutafsirkan. Hujan terus turun di belakangku, menciptakan suara yang monoton, menyelimuti percakapan kami dalam aura misteri.
"Yana, tolong... katakan sesuatu," desakku.
Akhirnya, dia membuka pintu lebih lebar dan memberi isyarat agar aku masuk. Ruang tamunya tampak berantakan, jauh dari biasanya yang selalu rapi. Dia berjalan ke sofa dan duduk, menunduk tanpa menatapku.
"Aku... aku sudah memutuskan, Rian," katanya dengan suara serak, "Aku harus menjauh."
"Apa maksudmu? Menjauh dari siapa? Dari aku?" tanyaku dengan bingung.
Dia mengangguk pelan. "Rasanya sudah tidak bisa lagi seperti dulu. Aku butuh ruang, dan aku... aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya."
"Ruang? Apa yang kamu bicarakan, Yana? Kita baik-baik saja sebelumnya, dan tiba-tiba kamu hilang begitu saja. Aku tidak mengerti," jawabku, rasa frustrasi mulai merayap.
Dia menatapku, matanya berkaca-kaca. "Rian, ini bukan soal kamu. Ini soal aku. Aku... aku tidak bisa memberikan apa yang kamu inginkan."
"Yang aku inginkan hanyalah kamu berada di sini, bersama aku," jawabku, mencoba untuk tidak terdengar memelas.
"Tapi aku tidak bisa," katanya, suaranya bergetar. "Aku merasa terkekang. Aku merasa tidak lagi menjadi diriku sendiri."
Aku terdiam, memandangnya tanpa tahu harus berkata apa. Semua hal yang ingin kukatakan tersangkut di tenggorokan. Aku mencoba memahami kata-katanya, tetapi sulit. Bagaimana mungkin seseorang yang selalu ada tiba-tiba merasa terkekang? Bagaimana mungkin perasaan rindu yang kupendam tak bisa terbalas dengan cara yang sama?
---
Malam itu berakhir dengan keheningan. Yana tidak memberikan jawaban yang kumengerti. Dia hanya meminta maaf, berkali-kali, dan meminta waktu untuk dirinya sendiri. Aku pulang dengan langkah berat, hati yang semakin hancur.
Sejak itu, aku menghindari Yana. Pesan-pesan yang sebelumnya kukirim, kutahan. Rindu yang biasanya meluap, kusimpan dalam-dalam. Tetapi rindu tak bisa begitu saja hilang. Semakin aku mencoba melupakannya, semakin sering sosoknya muncul di benakku. Seperti api yang terus menyala meski tersiram hujan.
---
Beberapa minggu kemudian, ketika aku merasa segalanya telah berakhir, sebuah panggilan masuk ke ponselku. Nama Yana tertera di layar. Jantungku berdegup kencang.
"Rian...," suara Yana terdengar lemah di ujung telepon.
"Apa yang terjadi, Yana?" tanyaku cemas. Nada suaranya membuatku khawatir.
"Aku... aku butuh bicara," katanya pelan.
Tanpa berpikir panjang, aku setuju untuk menemuinya. Sekali lagi, aku berdiri di depan pintu apartemennya. Tapi kali ini, suasananya berbeda. Pintu terbuka lebih cepat, dan Yana terlihat lebih tenang, meski ada sesuatu yang ganjil di matanya.
"Ada apa, Yana?" tanyaku begitu aku duduk di ruang tamunya.
Dia menghela napas panjang. "Aku... aku punya alasan mengapa aku menjauh, Rian. Sesuatu yang tidak pernah kuberitahukan padamu."
Aku merasa tubuhku menegang. "Apa maksudmu?"
Yana menatapku, matanya kini dipenuhi air mata. "Aku... aku sakit, Rian. Dan aku tidak ingin kamu ikut terbebani."
Deg. Kata-kata itu seperti petir yang menghantam. Tiba-tiba, semuanya terasa masuk akal—jauhnya Yana, sikapnya yang aneh. Tapi apa yang diucapkannya barusan menghancurkan segalanya.
"Sakit? Seberapa parah?" tanyaku, meski sudah tahu jawabannya dari sorot matanya.
"Parah," jawabnya singkat.
Aku hanya terdiam, membiarkan air mata mengalir perlahan. Rindu yang kusimpan selama ini, ternyata lebih dari sekadar ketidakpedulian. Ini adalah rasa sakit yang tidak pernah kusangka akan datang. Rindu yang tak terbalas bukan karena dia tak ingin, melainkan karena dia tak mampu.
Dalam hening malam itu, aku merasakan kekuatan cinta yang aneh. Meskipun kutahu bahwa akhir dari cerita ini akan lebih menyakitkan dari yang kubayangkan, aku memutuskan untuk tetap di sini. Bersama Yana, meski tahu rindu kami mungkin tak akan pernah lagi terbalas seperti dulu.
Sebab, ada hal-hal yang memang harus diterima, meski tak pernah diinginkan.