Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga ketenangan?
Selesai sarapan, Annisa buru-buru naik ke kamarnya untuk bersiap. Dengan cepat dia berganti pakaian dan mengambil ponselnya di atas nakas. Saat Annisa sibuk memeriksa ponselnya untuk memastikan semua dokumen pekerjaan sudah siap, dia merasakan kehadiran Damian di belakangnya.
Dia berbalik dan melihat Damian berdiri di ambang pintu kamar, kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.
Damian tak langsung berbicara, hanya menatap Annisa dari ujung kepala sampai kaki. Annisa yang sedang mengenakan kemeja putih dengan blazer abu-abu, merasa seolah-olah dinilai. Dia tak nyaman, tapi sudah terbiasa dengan sikap Damian yang seperti itu.
“Cepat sekali siap-siapnya. Mau ke mana?” tanya Damian akhirnya, nada suaranya dingin dan datar.
Annisa menahan napas sejenak sebelum menjawab. “Aku harus ke kantor. Ada meeting penting hari ini,” jawabnya sambil memasukkan laptop ke dalam tas.
“Kantor? Lagi-lagi kantor,” Damian mendesis pelan, tapi cukup untuk didengar Annisa. “Apa kau tak pernah berpikir untuk lebih sering di rumah? Clara butuh perhatianmu.”
Annisa tersentak mendengar Clara disebut. Ia menatap Damian sejenak sebelum kembali mengatur barang-barangnya. “Aku selalu ada untuk Clara, Mas. Aku berusaha yang terbaik untuknya, tapi aku juga punya tanggung jawab di kantor,” ucapnya lembut, mencoba tetap tenang meski hatinya teriris oleh sindiran suaminya.
Damian tertawa kecil, tawa yang terdengar lebih seperti ejekan. “Kau selalu punya alasan. Kerja, kerja, kerja. Apa kau benar-benar menikah untuk menjadi istri, atau hanya untuk kariermu itu?” Nada sinis tak bisa disembunyikannya.
Annisa menghentikan gerakannya dan menatap Damian. Ini bukan pertama kalinya Damian meremehkan pekerjaannya, dan setiap kali, Annisa harus menahan sakit di hatinya. Namun kali ini, dia tak bisa menahan untuk tidak membela diri. Meskipun pekerjaan tersebut tidak sebanding dengan Damian yang notabenenya adalah pemilik perusahaan.
“Aku bekerja bukan hanya untuk diriku, Mas. Aku juga berusaha membantu keuangan keluarga. Pekerjaan ini penting bagiku, bukan hanya karena karier, tapi juga untuk kita,” katanya tegas, meski suaranya tetap tenang.
Damian mencibir. “Keluarga? Kau bicara soal keluarga, tapi kau bahkan tak ada saat Clara butuh. Kau hanya datang kalau dia sudah tidur atau terlalu sibuk di kamar. Lagipula, apakah uang yang kuberikan tidak cukup untuk menghidupi mu?”
Annisa mengepalkan tangan di samping tubuhnya, merasakan frustasi mulai memenuhi dirinya. “Aku selalu mencoba menghabiskan waktu dengan Clara, Mas. Tapi kau juga tahu, tidak mudah baginya menerima kehadiranku.”
Damian menatapnya tajam, lalu mendekat beberapa langkah, membuat Annisa sedikit tegang. “Tentu saja tidak mudah. Clara tidak membutuhkan orang asing di rumahnya. Dia butuh ibunya, bukan seseorang yang hanya muncul di waktu senggang.”
Annisa menunduk, rasa bersalah menggerogoti dirinya, meski dia tahu bahwa dia sudah melakukan yang terbaik. Menjadi istri pengganti dan ibu tiri bukanlah hal yang mudah, terutama ketika Damian dan Clara terus-menerus memandangnya sebagai sosok luar.
“Aku tidak pernah mencoba menggantikan Mbak Arum,” ucap Annisa pelan, menahan emosinya agar tidak pecah di depan Damian. “Aku hanya ingin membantu, untukmu dan untuk Clara.”
Damian terdiam sejenak, wajahnya tetap keras. “Kau tidak perlu mencoba. Kau tidak akan pernah bisa menggantikan dia. Jangan lupa posisimu di sini, Annisa.”
Jleb!
Kata-kata itu menohok hati Annisa seperti pisau tajam. Meski sudah menduganya, mendengar langsung dari mulut Damian membuat luka itu terasa semakin dalam. Dia ingin berbicara lebih, menjelaskan bagaimana dia berusaha menjaga semua tetap seimbang—pekerjaan, keluarga, perasaan—tapi dia tahu itu akan sia-sia. Damian sudah memutuskan untuk tidak mendengarnya.
Annisa menarik napas panjang dan berusaha menenangkan diri. “Aku tidak ingin menggantikan siapa pun, Mas. Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk kita semua.”
Damian menatapnya tajam sebelum mengalihkan pandangan. “Terserah. Kau selalu punya alasan,” katanya dingin.
Dia melangkah pergi, meninggalkan Annisa yang masih berdiri di kamar, terdiam dalam kesunyian setelah konfrontasi itu.
Annisa menunduk, merasa lelah. Dia melihat bayangan dirinya di cermin, wanita yang tampak tegar di luar, tapi di dalam hatinya penuh dengan perasaan yang terpendam. Menghembuskan napas pelan, dia mengambil tas kerjanya dan berjalan keluar.
Di depan pintu, Imelda, ibu mertuanya, muncul dengan pandangan yang penuh arti. Tanpa bicara banyak, Imelda hanya menatapnya sekilas sebelum melangkah pergi, seakan mengerti apa yang baru saja terjadi antara Annisa dan Damian.
Annisa tak ingin memikirkannya lebih lanjut. Dia tahu hari ini akan panjang, dan di kantor, setidaknya dia bisa sejenak melupakan masalah-masalah di rumah. Di sana, di bawah bimbingan Swan, dia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang desainer yang diakui, bukan hanya "istri pengganti" yang selalu terjebak dalam bayangan masa lalu.
Annisa membuka pintu dan melangkah keluar, membiarkan udara segar pagi menyapa wajahnya. Hari baru, tantangan baru—baik di rumah maupun di kantor. Tapi dia tahu, tak peduli betapa sulitnya, dia akan terus maju.
Setibanya Annisa di kantor, suasana sibuk sudah terasa. Tim desain sedang bersiap-siap untuk meeting besar hari itu, dan Annisa berjalan cepat menuju ruangannya. Saat dia membuka pintu, seorang pria tinggi berambut pirang dengan senyum lebar segera menyambutnya. Itu Robert, salah satu kolega sekaligus sahabat baiknya di perusahaan.
"Annisa! Tepat waktu seperti biasa," sapa Robert sambil mendekat. "Kau sudah siap untuk meeting besar hari ini?"
Annisa tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa lelahnya setelah percakapan dengan Damian pagi tadi. "Siap, meskipun agak gugup. Swan sangat detail kalau soal proyek kali ini."
Robert tertawa kecil sambil menepuk bahunya dengan ramah. "Itu pasti, Swan memang terkenal perfeksionis. Tapi aku yakin kau bisa menghadapinya. Desainmu selalu jadi andalan, kan?"
Annisa tersenyum lebih lebar kali ini. Robert selalu tahu cara membuatnya merasa lebih baik. "Terima kasih, Robert. Aku memang sudah menyiapkan semuanya, tapi tetap saja, rasanya seperti selalu ada yang kurang."
"Ya, itu wajar. Aku juga merasa seperti itu setiap kali ada proyek besar. Tapi justru di situ tantangannya, kan?" Robert menyandarkan tubuhnya di tepi meja Annisa sambil menatapnya penuh keyakinan. "Lagipula, kalau ada yang kurang, kita bisa mengatasinya bersama. Kau tahu aku selalu siap membantu."
Annisa merasa sedikit lega mendengar itu. "Kau benar, Robert. Kadang aku terlalu fokus pada kekhawatiranku sendiri."
"Yup, dan justru itu yang kadang membuat kita kehilangan perspektif. Kadang aku merasa kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Annisa. Kau sudah hebat, kau harus lebih percaya diri," Robert menambahkan dengan nada serius namun tetap santai.
Annisa tertawa kecil, merasa lebih ringan. "Baiklah, aku akan coba lebih santai. Tapi kau harus janji akan membantuku kalau aku mulai panik."
Robert mengangkat tangannya seolah membuat sumpah. "Janji! Aku akan jadi penjaga ketenanganmu hari ini."
Mereka berdua tertawa sebelum Robert kembali ke mejanya, meninggalkan Annisa dengan perasaan sedikit lebih baik. Di balik segala tekanan dan masalah yang dia hadapi di rumah, setidaknya di kantor ini, dia memiliki teman seperti Robert yang selalu mendukung dan memahami posisinya.
Annisa duduk di kursinya, menarik napas dalam, dan bersiap membuka laptopnya. Meeting besar ini adalah kesempatan penting, dan meskipun hatinya masih berat karena hal-hal di rumah, dia tahu bahwa di sini, dia bisa menunjukkan potensinya sebagai desainer yang andal.
mudah banget ya jenny menyebarkan fitnahan.
Cobaan, cacian, bahkan sakit hati membuat annisa semakin terpuruk. Dia merasa tak dianggap, yang padahal sudah memberikan yang terbaik buat anak Damian, tapi usahanya itu tidak dihargai sama sekali. Damian menganggap annisa belum pantas mengantikan sosok arum. Annisa wanita kuat dan tabah. sudah dicaci maki tetap saja berharap damian bisa menerima status sebagai istri sah
Annisa terlalu cantik, sehingga teman damian saja jatuh hati padanya. Namanya perasaan tidak bisa dipungkiri, namun masih bisa menjaga pertemanan dan bisnis agar tidak putus.
dalam diam dan tangisan, akhirnya damian sedikit ada perubahan sikap. Buah kesabaran mulai membuahkan hasil, walau harus lewat kumpul keluarga. Semoga semua dipermudah dan annisa bisa menjadi bagian hidup damian selamanya. intinya bersabar dalam tiap cobaan, semua akan ada hasilnya.