Namanya Erik, pria muda berusia 21 tahun itu selalu mendapat perlakuan yang buruk dari rekan kerjanya hanya karena dia seorang karyawan baru sebagai Office Boy di perusahaan paling terkenal di negaranya.
Kehidupan asmaranya pun sama buruknya. Tiga kali menjalin asmara, tiga kali pula dia dikhianati hanya karena masalah ekonomi dan pekerjaannya.
Tapi, apa yang akan terjadi, jika para pembenci Erik, mengetahui siapa Erik yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Lawan Dua
Di dalam sebuah lorong yang cukup sepi, nampak seorang wanita, sedang berhadapan dengan dengan dua wanita lainnya. Meski mereka bekerja dalam satu perusahaan, namun dia dan dua wanita itu sama sekali tidak saling mengenal.
Wanita berambut lurus dengan panjang hampir satu pinggang itu heran, kenapa dia dipaksa ikut dua wanita yang bekerja di bidang lain, ke tempat sepi, dalam gedung tempat mereka bekerja.
Namun, ketika salah satu dari dua wanita itu mulai berkata, wanita yang akrab dipanggil Naura tersebut, sedikit demi sedikit mulai mengerti, kenapa dia dibawa ke sana.
"Kamu sadar nggak sih? Kalau kamu memang ada niat jadi pelakor, kamu tuh minimal ngaca dulu, kamu pantas nggak buat Tuan Alex," ucap salah satu wanita dengan rambut pendek sepundak.
"Pelakor?" tanya Naura seperti orang bingung. "Pelakor gimana maksudnya, kak?"
Selain karena tingkatan pekerjaan yang lebih tinggi, dua wanita itu juga usianya lebih tua dari Naura. Jadi, sudah sepantasnya Naura memanggil mereka dengan sebutan yang cukup sopan.
"Kamu nggak perlu pura-pura lugu deh. Sikap kamu tuh basi tahu nggak? Menjijikkan," rekan wanita berambut sepundak ikut bersuara.
"Lah, kan, aku memang nggak tahu maksud kakak-kakak ini," balas Naura jujur, namun terlihat menyebalkan di mata dua wanita itu.
"Yakin kamu nggak tahu kalau kamu tuh pelakor?" serang wanita berambut ikal. "Kalau kamu nggak tahu, lalu apa tujuan kamu, sering diam-diam masuk ke ruangan Tuan Alex?"
Naura terperangah. Seketika dia tidak bisa berkata-kata karena cukup terkejut dengan tuduhan yang baru dia dengar. Naura berpikir selama ini tidak ada yang mengetahui tentang hal itu, tapi nyatanya Naura salah mengira.
"Tuh kan, diam!" ucap wanita berambut ikal. "Pasti kamu kaget kan? Kita tahu gerak-gerik kamu. Dikiranya kami itu bodoh apa gimana? Mentang-mentang kamu menggunakan masker, kamu pikir sudah aman? Tidak!"
"Tapi kan, aku sama Tuan Alex tidak ada ..."
"Nggak usah bohong!" hardik wanita yang sama. "Orang udah ketahuan, masih saja mau nyari alasan."
"Lagian, mana ada maling yang mau ngaku," sahut wanita berambut sepundak dengan sinis. "Kita dan yang lain juga denger, Tuan Alex nyebut kamu dengan panggilan sayang. Iya kan?"
Naura kembali terperangah. Jujur, sebenarnya dia ingin tertawa saat itu juga. Namun, Naura memahan diri karena keadaannya kurang tepat.
Naura juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Apa lagi dalam posisi seperti ini, mana mungkin dua wanita itu percaya kalau Naura adalah anak pertama Tuan Alex.
"Aku ngerti, mungkin selera kamu itu pria yang lebih tua. Tapi paling nggak kamu ngaca dong Tuan Alex itu siapa, kamu juga siapa," ujar wanita berambut sepundak.
"Kamu tuh kaya nggak tahu aja. Anak ini kan melakukan semua ini demi harta, gimana sih kamu," celetuk wanita berambut ikal.
"Kalau bukan demi harta dan kedudukan, lalu untuk apa seorang petugas kebersihan, mendekati laki-laki kaya dan terpandang seperti Tuan Alex."
Naura hanya bisa menggelengkan kepalanya. Dia heran dengan pemikiran kedua wanita tersebut. Namun di saat mata Naura mengedar ke arah lain sembari berpikir, wanita itu dikejutkan kala pandangannya menangkap sosok yang dia kenal, berada tak jauh dari tempatnya berada saat ini.
"Tuan muda."
Dua wanita yang menginterogasi Naura spontan menoleh ke arah yang sama dengan mata Naura. Mereka terkejut kala sosok pria yang kemarin mereka kenal sebagai petugas kebersihan, berdiri tak jauh dari mereka.
Sosok Tuan muda sendiri, nampak kaget karena ketahuan sedang menguping tiga wanita itu. Erik penasaran, saat melihat Naura ditarik paksa dua wanita tersebut. Maka itu, Erik memilih mengikuti mereka sejenak.
Karena terlanjur ketahuan, Erik pun sepenuhnya menampakkan diri. Dia mendekat hendak sembari memikirkan alasan yang tepat jika para wanita itu bertanya tentang keberadaannya di sana.
"Apa Tuan muda juga berpikiran yang sama dengan mereka?" Begitu mendekat, Erik dibuat terkejut dengan pertanyaan yang dilempar Naura kepadanya.
"Kalau Tuan muda juga menganggap saya sebagai pelakor, ya silahkan, itu hak anda. Sekalipun saya menjelaskan, saya yakin baik Tuan muda atau kedua kakak ini, tidak akan ada yang percaya dengan ucapan saya, benar kan?" ucap Naura penuh penekanan dengan tenang.
"Silahkan kalian berasumsi sendiri dengan apa yang kalian pikiran, permisi!" Naura langsung pergi begitu saja.
Erik terkesiap dengan tuduhan baru saja dia dengar. Belum sempat membela diri, Naura malah pergi begitu saja tanpa mau menunggu penjelasan dari Erik.
Padahal Erik tidak bermaksud seperti itu. Dia hanya penasaran dengan apa yang akan dilakuan dua wanita itu saat menarik tangan Naura dan membawanya ke tempat sepi.
"Tuan muda, apa sedari tadi anda di sana?" tanya wanita berambut sepundak.
Dia agak gugup karena takut dengan tindakan yang baru saja dia lakukan bersama rekannya.
"Hm, yah, seperti yang kalian lihat," Erik berusaha menunjukan sikap tenang karena biar bagaimanapun, pemuda itu masih belum terbiasa dengan sikap hormat oleh orang-orang yang bekerja di kantor ayahnya.
"Maaf, Tuan muda, apa tadi anda mendengar pembicaraan kami?" tanya wanita berambut ikal untuk memastikan dugaan dalam benaknya.
Kening Erik berkerut sedikit. Namun tak lama setelahnya senyumnya terkembang. "Tidak, kebetulan saja, tadi saya baru datang," jawabnya dusta. "Maaf ya, jika kedatangan saya tadi menganggu kalian."
"Oh tidak, Tuan muda, anda sama sekali tidak menggangu kami," jawab salah satu wanita dengan gugup.
Erik tersenyum. "Kalau begitu saya permisi dulu. Ada yang harus saya kerjakan," Erik pun memilih segera pamit.
Setelah dipersilahkan, Erik bergegas meninggalkan ruang tersebut.
"Sial! Ternyata Erik ganteng banget pakai jas kaya gitu," celetuk wanita berambut sepundak, nampak kegirangan, khas seorang wanita.
"Dari dulu sebenarnya dia tuh ganteng. Cuma karena dia petugas kebersihan jadi gantengnya ilang," sahut wanita berambut ikal.
"Benar juga ya. Seandainya saja aku tahu dari dulu kalau Erik itu anaknya Tuan besar, pasti sudah aku pacarin dia."
"Hahaha ... sama."
Kedua wanita itu serentak terbahak.
Sementara itu, di ruangan presdir Paragon Grup, Namira masih tak percaya, bisa bertemu dengan kedua orang tua dari suaminya. Jujur saja, Namira masih merasa takut, bertemu dengan mereka, terutama dengan Ibunya Castilo.
Namun diluar dugaan, Namira dibuat terkejut kala wanita yang yang biasa dipanggil Eliza itu mendekat dan memeluk Namira dengan erat.
"Nyonya ..." ucap Namira lirih.
"Maafkan saya," balas Eliza dengan nada bergetar.
Semua yang ada dalam ruangan tersebut juga nampak kaget. Namun mereka juga cukup senang menyaksikan momen seperti itu.
"Maaf untuk apa, Nyonya? Nyonya tidak punya salah apa-apa sama saya," dari dulu Namira memang memanggil Ibunya Castilo dengan sebutan Nyonya.
"Jangan bohong!" bantah Eliza masih dengan memeluk Namira. "Dari dulu saya selalu menghina kamu. Maafkan saya, Nak. Saya menyesal. Disaat rumah kamu terbakar, saya justru meminta kamu untuk menghilang dari hidup anak saya."
"Apa!" Castilo terkejut mendengarnya.